Bab 15

190 30 0
                                    

“Wasana, kemarilah.” Nyonya Dara memanggil. Kukunya yang merah melambai.

“Iya, Nyonya.”

Asem. Padahal Yuwa baru saja beranjak dan ingin pamit malah disuruh mendekat ke samping Nyonya Dara. Ada apa gerangan? Aduh! Yuwa merasa ada bau-bau firasat buruk.

“Duduklah di sini. Temani aku nonton sinetron.”

Tuh, 'kan, firasat buruk Yuwa langsung terlaksana! Kalau boleh memilih, Yuwa lebih senang mencuci segunung baju kotor daripada menemani Nyonya Dara nonton sinetron. Alasan sederhana. Kebanyakan Mak-mak ketika nonton sinetron pasti mulutnya ikut berkomentar. Nah, Yuwa tidak suka bagian itu.

“Ma, Wibowo sama Wasana mau main basket lagi.”

Cukup satu bagian dari tubuh Nyonya Dara, yaitu mata yang bergerak, sudah bisa membungkam mulut Wibowo. Pemuda itu pergi begitu saja dengan wajah dongkol. Remaja begitulah, tidak bisa menyembunyikan perasaan yang ada. Terlalu meluap hingga siapa saja paham isi hatinya.

Yuwa menunduk dan duduk manis menanti kepastian, antara telinga yang pekak atau mulut Nyonya yang menebal.

“Ini sinetron baru tayang dua hari yang lalu. Ampun. Rasanya aku pingin remuk, tuh, si Genderuwo. Suami, kok, suka main belakang. Kayak suamimu, Was, Was!"

Kaget, Yuwa tidak menyangka akan tersindir. Tidak ada pertanda soal ini.

“Aku heran sama kamu, Was. Kok, masih bertahan sama lelaki macam demit kayak gitu. Tampan, sih, tapi kalau kelakuan kayak demit buat apa?"

Tungku pembakaran dalam hati Yuwa tengah diguyur bensin dari kata-kata Nyonya Dara. Membara, membakar, dan memicu kedengkian. Kenapa orang ini tahu soal masalah rumah tangga Yuwa? Jangan-jangan Wasana suka bercerita.

“Pulang cuma tidur, makan, ngilang lagi. Tengah malam baru balik. Suami macam apa itu?”

Yuwa bertahan dengan debar jantung menahan kesal, alih-alih angkat kaki dan pulang. Diremasnya rok dengan kuat. Bibir lelaki itu mengatup. Hidungnya kembang kempis seperti banteng siap menyerang.

“Dan aku yakin kamu enggak pernah merasakan malam pertama, 'kan? Orang kasurnya saja dibatasi alias disekat.”

Kelopak mata Yuwa melebar. Sampai sedetail itu, Nyonya tahu?! Yuwa berjanji pada diri sendiri, pulang nanti dipastikan Wasana akan habis dicecarnya. Berani sekali istrinya itu menceritakan masalah pribadi rumah tangga mereka.

“Kamu pasti bertanya-tanya dari mana aku mendapat informasi yang akurat itu?”

Pernyataan Nyonya Dara serta merta meruntuhkan pemikiran negatif terhadap Wasana.

“Jadi, bukan Wasana yang cerita?”

“Kamu ngomong apa?”

Astaga. Yuwa keceplosan bicara. Dia merutuki omongannya.

“Ah, bukan apa-apa, Nyonya. Maaf.”

“Wasana, kamu itu orang baik, kenapa harus berjodoh dengan orang seperti itu?”

“Maaf, Nyonya. Orang seperti itu maksudnya apa, ya?” Yuwa sudah kehilangan kesabaran. Ada nada meninggi waktu dia berkata.

“Dengar Wasana. Seorang suami yang doyan selingkuh enggak akan pernah bisa membahagiakanmu. Untuk apa kamu bertahan?” Tawa ejek menyela. “Apa demi ibu mertua? Aku rasa kesehatannya sudah baik-baik saja jika kalian bercerai. Jangan bilang cinta. Cinta ada batasnya, Wasana. Aku sudah kenyang makan pahit manis cinta.”

Bibir Yuwa sudah geram ingin membalas perkataan Nyonya Dara. Ya ampun! Jiwa mana yang akan tenang jika digosipkan di depan muka? Tidak ada. Begitu pun Yuwa. Jadi, demi harga diri yang sudah dicabik-cabik sampai akar, Yuwa izin pamit. Percuma juga harus membela diri. Dicap buruk, mau diceritakan baik-baiknya juga tidak berguna.

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now