Bab 8 Kena Komplain

276 38 3
                                    

Wasana sesenggukan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Wasana sesenggukan. Sesekali ingus keluar, tapi secepatnya disedot kembali. Sisanya yang masih menempel di antara hidung dan bibir, dilap begitu saja dengan ujung lengan baju. Tidak peduli jijik atau kotor. Kalau belum puas, dia juga mengusapnya pada kerah baju bagian dalam.

Kenapa hidupnya semenyedihkan ini? Kalau dipikir-pikir, Wasana selalu menjadi tempat caci maki. Bukan suaminya, bukan empat orang ibu-ibu tadi, bukan juga dirinya sendiri. Ternyata mentalnya memang tidak sanggup untuk dicela. Hatinya terlalu rapuh untuk menerima itu semua.

Wasana mengingat kembali kejadian yang beberapa menit lalu terjadi.

“Pak Yu, saya mau komplain,” kata si Ibu berkaca mata hitam begitu Wasana menyapa.

Kemudian disusul Ibu berkonde. “Saya juga mau komplain.”

Lalu Ibu yang membawa kipas serta Ibu bergelang emas juga berkata hampir bersamaan. Dan kata-katanya juga sama yaitu, “Saya juga mau komplain.”

Saking cerewetnya, bahkan suara mereka menyerupai suara knalpot modifikasi anak belajar jadi berandalan.

“Saya duluan, dong, Bu.”

“Eh, saya yang datang duluan.”

“Saya sibuk, jadi saya duluan.”

“Semua juga sibuk, jadi saya duluan.”

Keempatnya tidak mau saling mengalah. Wasana langsung terserang pening. Kupingnya terasa pekak. Bingung pada keempat ibu-ibu ini. Mereka bukan ahli sabar.

“Sabar-sabar, Bu.” Wasana mencoba menenangkan. Sayangnya keempatnya malah membentak kompak, “DIAM!!” lalu kembali beradu argumen. Nyali Wasana langsung kisut.

“Saya cuma mau komplain soal gaun yang kepanjangan, ” kata Ibu berkonde.

Ibu berkacamata menyahut, “Saya justru komplain karena gaun saya kurang panjang.”

“Saya kurang besar di bagian perut!” seru Ibu bergelang emas.

“Saya kurang kecil di bagian pinggang!” Tak mau kalah, Ibu pembawa kipas berseru juga.

Setelah berdebat, keempatnya memalingkan wajah sepenuhnya ke Wasana dan berucap, “Jadi bagaimana, Pak Yu?!”

Wasana mengamati mimik muka keempatnya bergantian. Dia menelan ludah kesusahan seakan ada batu yang dibawa air ludah masuk ke tenggorokan dan tersangkut di sana.

“Maaf, Ibu-ibu.” Tanpa sadar hanya kalimat itu yang keluar dengan nada cicit pula. Wasana tidak berani berkata lagi.

Bukannya amarah mereda, Ibu-ibu itu semakin gencar mengeluarkan unek-uneknya. Mereka berbicara bersamaan layaknya ada demo turunkan harga bawang.

“Kok, maaf aja, sih, Pak Yu?”

“Iya. Jadi, gimana, Pak Yu?”

“Ya harusnya gimana, Pak Yu?”

Jiwa yang Tertukar (TAMAT)Where stories live. Discover now