18

52.7K 6.7K 374
                                    

Happy reading
.
.
.

Sinar matahari mencoba memasuki cela-cela jendela di sebuah kamar hotel.

Disana terdapat dua orang berbeda gender yang masih bergelung dibawah selimut tebal dengan keadaan saling memeluk.

Alfaro mulai terbangun dari tidurnya, dia mengerjap menyesuaikan cahaya yang masuk kedalam bola matanya.

Setelah kesadarannya seratus persen kembali, dia melepaskan pelukannya dari wanita yang berstatus sebagai kekasihnya.

Dengan hanya menggunakan boxer tanpa atasan pria itu turun dari ranjang menuju kamar mandi.

Setelah membersihkan tubuhnya, Alfaro keluar dengan menggunakan celana jeans hitam panjang dan kaos lengan pendek warna biru tua.

Dia melirik sebentar pada wanita yang masih menjelajah mimpi tersebut. Tanpa berniat menghampiri, Alfaro berjalan keluar dari kamar hotel.

Niatnya dia akan makan di restoran yang ada dilantai bawah hotel ini.

Dalam diam Alfaro masuk kedalam lift yang berisi lima orang dan enam orang bila dia ikut dihitung.

Dari dia mandi hingga sekarang duduk di kursi dengan makanan yang sudah tersaji pria itu sama sekali tidak membuka suara apalagi tersenyum.

Alfaro hanya memasang wajah datar dengan otak yang memikirkan kejadian kemarin.

Dia masih tidak terima jika Lesya membawa pria lain kerumah apalagi kedalam kamarnya.

Bilang saja dia egois karna dia berselingkuh tapi tidak ingin diselingkuhi oleh istrinya.

Rasanya kepala Alfaro ingin meledak memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi suatu saat nanti.

Entah mengapa dia jadi tidak ingin ditinggalkan oleh Lesya begitu saja. Dia tidak ingin bercerai dan berpisah dengan gadis itu.

Tapi Alfaro juga tidak mau melepaskan Clarisa dan membuang wanita itu dari kehidupannya. Dia butuh Clarisa, dia masih sayang dengan kekasihnya itu.

Pria itu menyelesaikan acara makannya sambil melamun.

Setelah membayar makanannya dan meminta pada salah satu pelayan untuk mengantarkan makanan tersebut untuk Clarisa, Alfaro segera melangkah pergi dari sana menuju kamar.

"Ceklek"

Wanita yang baru saja selesai menyisir rambutnya itu berbalik melihat ke arah pintu.

"Darimana Al?" Tanya Clarisa.

"Makan dibawah." Jawab Alfaro seadanya.

"Ya? Terus aku gimana kalo kamu udah makan?"

"Aku udah pesen ke pelayan untuk bawain kamu makanan dan dianter ke kamar. Sebentar lagi juga sampe."

"Oh oke."

Wanita itu lanjut memberikan make-up pada wajahnya. Dia menggunakan dress lumayan ketat diatas lutut berwarna biru dongker.

Saat melihat Alfaro yang mengambil jaketnya Clarisa menyengit bingung.

"Mau kemana sayang?" Tanyanya.

"Mau ke kantor, udah jam sepuluh aku telat."

"Pake baju itu?"

"Iya, nanti aku ganti di ruanganku. Sekertarisku udah nyiapin jasnya ko. Kamu pulang pake taksi gapapa kan?"

"Gapapa, kebetulan abis ini aku ada arisan tepat temen."

"Yaudah aku berangkat."

"Jangan lupa transfer uang belanjaku nanti ya. Jangan sampai lupa, awas aja lupa."

"Iya sayang."

Sebelum keluar, Alfaro menyempatkan diri untuk mengecup kedua pipi Clarisa yang dibalas senyum lebar dari wanita itu.

Alfaro mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Saat berhenti di lampu merah pria itu tak sengaja melihat seseorang yang sangat dia kenali.

Jendela mobil disampingnya itu terbuka lebar hingga memperlihatkan seorang gadis yang tak lain adalah Lesya dengan seorang pria yang semalam Alfaro lihat dirumahnya.

Kedua orang tersebut sedang tertawa riang didalam mobil dengan tangan Lesya yang memegang sebuah coklat.

Entah apa yang lucu hingga membuat mereka tertawa, Alfaro sama sekali tidak peduli akan hal itu.

Yang dia pedulikan adalah pria itu sama sekali tidak suka melihat Lesya yang tertawa bahagia seolah tidak ada beban bersama pria lain.

Hatinya tiba-tiba terasa perih dan dadanya sesak.

Alfaro mengeratkan genggaman tangannya pada kemudi. Rahangnya mengeras dan otot-otot disekitar lengannya terlihat.

Saat lampu berganti warna menjadi hijau, dengan kecepatan diatas rata-rata Alfaro membelah jalanan ibu kota.

Beruntung saat ini jalan yang dia lewati tidak macet meskipun banyak pengendara lain yang mengumpatinya dengan beragam kata merah hijau hitam atau apalah itu tapi Alfaro sama sekali tidak terusik.

Mobil tersebut akhirnya terparkir dengan sempurna di depan kantor besar itu.

Dengan kemarahan yang belum juga reda, pria itu berjalan masuk kedalam gedung lalu melangkah menuju ruangannya.

Selama perjalanan banyak yang menyapa Alfaro baik di lobi ataupun di dalam lift, namun sayang tidak ada respon darinya. Pria itu hanya memasang wajah dingin yang memancarkan aura permusuhan dan kemarahan.

"Jangan biarkan satu orangpun memasuki ruanganku, aku ingin sendiri."

Dan

"Brakk"

Wanita yang bekerja sebagai sekertaris CEO itu menelan saliva dengan susah payah mendengar suara pintu tertutup dengan kasar. Dia hanya mengangguk kaku sebagai jawaban meskipun sang atasan sudah tak melihatnya.

Wanita berumur sekitar dua puluh delapan tahun itu sudah menyiapkan mental untuk melihat segala bentuk kerusakan diruangan bosnya nanti.

"Huhh padahal abis ini ada rapat eh malah tu bos mood nya anjlok gitu. Kalo gini kan saya lagi yang harus turun tangan." Gumamnya.

"Nasib nasib, gini amat jadi sekertaris CEO macam banteng."

Dengan lesu wanita itu mengambil map-map yang ada di mejanya lalu pergi menuju ruang rapat.

-
-
-
-
-

Bersambung...

Beda Raga [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang