29

45.2K 5.9K 744
                                    

Happy reading
.
.
.

"Plak"
Suara tamparan terdengar di telinga.

Alfaro memejamkan matanya saat merasakan panas menjalar di pipi bagian kanannya.

Bukan, bukan Gara yang menampar Alfaro. Tangan itu milik ibunya sendiri yang tak lain adalah Gea.

Gea yang baru saja turun di anak tangga terakhir matanya tak sengaja melihat Alfaro yang membuat emosinya naik hingga menampar pipi tersebut.

"DASAR ANAK TIDAK TAU DIRI."

Pria itu menatap ibunya yang sedang marah dengan sebelah tangan bertengger memegang pipi.

Gara yang melihat mata istrinya yang mulai memerah segera menariknya kedalam pelukan.

Gea menumpahkan tangisnya, dengan sesenggukan dia berucap pada Gara.

"Dia jahat mas hiks. Padahal selama ini hiks aku gak pernah ngajarin dia jadi pria yang tidak bertanggungjawab hiks."

Tangan wanita itu meremas ujung baju belakang suaminya.

Gara mengatur emosinya yang masih mendidih, dia ingin menenangkan istrinya terlebih dahulu. Kalau urusan Alfaro nanti menunggu sang istri pergi dan tidak melihatnya marah.

"Hiks gara-gara dia aku jadi tidak punya muka untuk berhadapan dengan Lesya lagi. Dia membuat hatiku sakit mas hiks."

Hati Gea merasa nyeri mengingat perlakuan anaknya, jika Alfaro mengingat bahwa dia masih memiliki ibu tidak mungkin pria itu menyakiti istrinya.

Mungkin saja Alfaro tidak mengingatnya sebagai ibu hingga berani menyakiti Lesya.

Gara menatap Alfaro yang sendaritadi hanya menunduk dengan pandangan seperti hendak membunuh.

Dia sangat marah pada anaknya itu. Bukan hanya karna kesalahan pada Lesya tapi juga karna Alfaro berani membuat istrinya menangis.

Padahal selama ini Gara selalu berusaha membuat Gea bahagia dan tidak mengeluarkan setetespun air mata kesedihan.
Tapi dengan mudahnya Alfaro menyakiti hati Gea hingga menangis seperti ini.

Ah Gara jadi semakin bingung, hukuman apa kira-kira yang pantas Alfaro dapatkan.

"Hei sayang udah ya nangisnya, jangan pikirin anak itu lagi. Sekarang kamu ke kamar istirahat yang cukup kalo butuh apa-apa panggil maid aja, jangan sampe kecapean apalagi mikir macem-macem yang bisa buat tubuh kamu drop. Kalo urusan Alfaro biar aku yang pegang." Ujar Gara.

Dia mengelus pelan rambut Gea.
"Bibi Bibi." Panggilannya.

Seorang wanita datang menghampiri mereka dengan terburu-buru. "Iya tuan."

"Antar istri saya ke kamar dan siapkan apapun yang dia inginkan." Titahnya.

Wanita itu mengangguk dan menuntun Gea yang masih sedikit sesenggukan dengan pelan.

Gara menatap punggung istrinya hingga menghilang, matanya beralih menatap tajam putranya.

"Ikut ke ruang kerja." Tegas pria itu.

Dia berjalan ke arah ruang kerjanya diikuti Alfaro yang masih saja diam dengan pikirannya.

"Karena kamu sudah membuat kami kecewa, jadi mulai sekarang kamu saya pecat dari perusahaan."

"Yah gak bisa gitu dong."

"Kenapa harus gak bisa? Perusahaan perusahaan saya jadi terserah saya dong."

Gara menggedikkan bahunya acuh, sudah tidak ada lagi rasa belas kasihan untuk Alfaro.

"Yah tapi gadis itu bukan siapa-siapa kita jadi kenapa ayah sama ibu harus belain dia."

"Dia menantu saya sampai kapanpun sekalipun kamu sudah bercerai dengannya. Lagipula dia sudah saya anggap sebagai anak saya sendiri."

"Tapi aku yang anak ayah bukan dia!"

"Apa? Kamu anak saya? Kapan saya membuat kamu ya? Kok saya bisa lupa."

"AYAH."

Alfaro yang sudah geram akhirnya membentak Gara.

"Berani kamu membentak saya heh? Siapa kamu?"

Gara berujar dengan nada sinis, matanya menatap tubuh tegap Alfaro yang sudah berdiri dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Dasar anak tidak tau diri. Kamu sudah saya dan istri saya besarkan tapi dengan mudahnya kamu membuat kami marah, padahal istri saya menyayangimu seperti anak kandungnya sendiri tapi apa balasanmu? Kamu malah membuatnya sakit hati."

Tangan Gara meremas sebuah kertas yang berada di atas meja kerjanya.

"Itu memang kewajiban kalian untuk merawatku karena aku anak kalian."

"Anak? Anak darimana? Kapan istri saya melahirkan kamu."

"A-apa maksud ayah?"

Alfaro tergagap, apa maksud ayahnya?
Tidak mungkin kan kalau dia bukan anak dari kedua orangtuanya. Huh tidak mungkin, ini pasti hanya gertakan untuknya karena telah membuat kesalahan yang sangat besar.

"Hahaha apa kamu bodoh hingga tidak mengerti perkataan saya?"

Gara terkekeh kecil, tangannya membuang gumpalan kertas tak beraturan ke sembarang arah.

"Aku bukan anakmu?"

Gara mengangguk dengan senyum miring.

"ENGGAK, INI GAK MUNGKIN."

Alfaro berteriak, matanya menyorot tajam pria didepannya.

"Enggak hahaha, kamu pasti hanya menggertakku."

"Untuk apa aku menggertakmu? Tak ada untungnya untukku bukan?"

Tubuh Alfaro seketika merasa lemas.
Bagaimana jadinya jika dia benar-benar bukan anak dari seorang Gara dan Gea.

Selama ini dia mendapatkan apapun dari kedua orang itu dan jika dia bukan anaknya otomatis karena kesalahan fatal yang dia perbuat akan membuat dia didepak dari kehidupan keluarga Bramstya.

Lalu bagaimana dengan kehidupannya di masa mendatang?
Dia akan tinggal dimana?

Uang yang selama ini dia dapat dari pekerjaannya dikantor sudah habis untuk belanja Clarisa dan dirinya selama ini.

Bahkan apartemen yang sekarang Clarisa tinggali adalah apartemen milik Gara.

Hanya rumah hadiah pernikahannya dan Lesya lah yang setengahnya atas namanya.

Maid dan bodyguard dirumah itupun milik Gara dan Gara yang menggajihnya.

"Ayah bilang kalo itu semua bohong. Bilang yah!"

"Buat apa saya bicara seperti itu jika kenyataannya memang benar kamu bukan anakku dan Gea?"

"Ayah bohong, ayah pasti bohong sama aku hanya untuk membuatku menyesal."

"Jangan panggil saya Ayah karena saya bukan ayahmu lagi mulai sekarang. Oh ya kalau kamu tidak percaya tinggal tes DNA aja."

-
-
-
-
-

Bersambung...

Beda Raga [End]Where stories live. Discover now