16. Cape

26.9K 4.2K 744
                                    

Berkali-kali Maudy meringis karena rasa perih di punggungnya.

Kakinya saja masih belum dia beri salep namun, sudah bertambah lagi luka di tubuhnya.

Tadi, sewaktu Maudy tengah mengompres kakinya, Bagus datang dengan membawa ikat pinggang.

Dan tanpa basa-basi, cowo yang merangkap sebagai kakaknya itu mencambuk Maudy 3 kali, lengkap dengan kaki kanannya yang mendapatkan satu pijakan kuat.

Maudy tak menangis, karena menurutnya luka-luka itu adalah hal biasa.

Bagus berhenti menyakiti adiknya, setelah Argan datang ke kamar Maudy.

Argan marah bukan main, bagimana tidak marah melihat adiknya mendapatkan kekerasan dari adiknya yang lain.

Adik bungsunya.

Adik yang dari dulu tak pernah dia perhatian.

Adik yang sangat dia yakini kurangnya kasih sayang.

Argan tak tahu, sejak kapan adiknya berhenti mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Karena setahunya, dulu, Maudy adalah anak yang sangat-sangat Dimas dan Anggun nantikan kehadirannya.

Dirinya memang terlalu cuek pada sekitar, karena menurutnya, mengurusi hidup diri sendiri lebih baik dari pada mengurusi hidup orang lain.

"Dy?"

Maudy menoleh.

Argan

Kapan kakak tertuanya itu masuk ke kamar?

Perasaan, Maudy tak mendengar suara pintu terbuka.

"Kenapa Bang?" Maudy duduk di pinggiran kasur, dengan kakinya yang dia biarkan menjuntai di atas lantai.

Argan jongkok di depan Maudy, dilihatnya kaki adiknya itu yang terkena luka bakar.

"Sakit?"

"Enggak," jawab Maudy dengan gelengan.

"Udah diobatin?"

"Belum, tapi udah dikompres." Argan mendongak, melihat dengan jelas wajah adiknya yang penuh dengan luka tamparan.

Dibelainya pipi Maudy lembut. "Ini juga. Sakit gak?"

Maudy menggeleng. Bekas tamparan di pipinya, tak ada apa-apanya dengan kondisi pipinya dulu kala jatuh dari genteng.

"Maafin abang ya." Argan mencium sekali tangan adiknya.

Romantis.

Maudy hampir baper.

Sekalipun Argan adalah abangnya, namun tetap saja, sulung Barganta itu bukan abang kandung Maudy Putri.

"Abang gak salah." Maudy tersenyum. Suasana kamar menjadi mellow, dan Maudy tak menyukai suasana sedih seperti ini. "Akunya aja yang kurang kuat," sambung Maudy.

Argan tersenyum kecil. "Adik abang hebat. Kuat banget," pujinya pada Maudy.

Maudy tersenyum lebar. "Woy iya dong. Ya kali wanita sholehah kek gini gak kuat."

Argan terkekeh, adiknya benar-benar menggemaskan.

"Abang mau pergi, mau nitip sesuatu gak?"

Maudy cengengesan. "Boleh dong."

"Apa?"

"Abang Mau kemana emangnya?" tanya Maudy. Karena, jika tak satu arah dengan apa yang dia inginkan, lebih baik tak usah sekalian.

Ngerepotin.

"Mau ke Cafe deket alun-alun." Maudy mengangguk.

Jalan besar menuju alun-alun melewati tempat-tempat yang Maudy hendak beli barangnya.

Mendadak Jadi UkhtiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ