9. Luka dari Bunda

42.4K 3.7K 74
                                    

"Mungkin lukanya bisa kering, tapi bagaimana dengan memori yang selamanya melekat di ingatanku?"
-Kanaya Belva Anastasya

"Mungkin lukanya bisa kering, tapi bagaimana dengan memori yang selamanya melekat di ingatanku?"-Kanaya Belva Anastasya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Masih di sini?" tanya Ana dengan nada tidak suka. "Kamu tuli atau apa? Kamu gak denger saya bilang apa tadi?"

Naya mendengar ucapan Ana, tapi ia benar-benar lelah berdebat dengannya lagi. Naya hanya tidak ingin menjadi anak yang durhaka karena melawan orang tua.

"Ternyata kamu benar-benar tuli."

Ana menjambak rambut Naya, memaksa gadis itu mendongak dan menatapnya.

"Anak sialan!" bentak Ana.

Naya menghela napas dalam lalu memberanikan diri menatap Ana yang menatapnya penuh marah.

Hanya karena Raina kelaparan Naya harus di pukuli seperti ini?

Jika hal itu terjadi pada Naya bisakah Ana juga memarahi Raina? Rasanya sangat mustahil, bahkan Ana tidak pernah sedikitpun membentak Raina apalagi sampai memukul.

Tapi kenapa jika Naya yang melakukan kesalahan sedikit saja, Ana langsung marah-marah sampai main tangan seperti sekarang?

Raina hanya dimanja dan terus dimanja. Apapun permintaan gadis itu pasti selalu dituruti oleh kedua orang tuanya. Lalu bagaimana dengan dirinya?

Naya juga ingin seperti Raina yang selalu di perhatikan Ana. Naya juga ingin merasakan apa yang selama ini Raina rasakan.

Salahkan jika Naya menginginkan hal itu?

Menginginkan perhatian kecil dari Ibu kandungnya sendiri, salahkan?

Naya tidak pernah tahu, apa itu kasih sayang orang tua pada anaknya. Ia tidak pernah tahu, sehangat apa kasih sayang seorang Ibu.

Plakk

Tamparan itu menyadarkan Naya dari lamunannya. Pelaku yang tidak lain adalah Ana yang saat ini dikuasai amarah.

"Raina sakit gara kamu, anak sialan!"


"Bunda, aku gak tau kalau Kak Raina belum makan. Aku kira Kak Raina pasti udah delivery makanan," jawab Naya lemah.

Ana benar-benar tidak habis pikir dengan Naya. Sudah salah bukannya mengakui tapi malah dengan berani menjawabnya.

"Gak usah ngejawab. Ini semua tetap salah kamu. Raina sakit itu juga salah kamu!"

"Kenapa harus salah aku, Bunda?" tanya Nama tidak mengerti.

"Kak Raina itu bukan anak kecil yang pikirannya masih labil. Kakak udah dewasa dan dia harusnya bisa mikir, kan, Bunda? Harusnya dia bisa pesan makanan, nggak harus nungguin aku." Entah mendapat kekuatan dari mana, Naya bisa mengatakan hal itu tanpa rasa takut.

"LANCANG KAMU BERBICARA SEPERTI ITU!" Ana berteriak dengan urat-urat yang terlihat jelas. Kesabaran nya benar-benar habis menghadapi anak pembangkang seperti Naya.

"Sekarang kamu harus merasakan apa yang Raina rasakan. Kamu juga harus menderita, Naya!"

Setelah mengatakan itu Ana mendekati Naya dan langsung menjambak rambutnya. Dia menyeret putri keduanya itu menuju lantai atas, ke kamar Naya.

Naya meringis merasakan sakit di permukaan kulit kepalanya. Perih bercampur rasa nyeri.

"Bunda, sakit... lepas...," rintih gadis itu berusaha melepaskan.

"Sakit, Bunda... Sakit..."

"Ahh, Bunda, sakit...," ringis Naya, mengimbangi langkah cepat Ana.

Ana tidak menghiraukan rintihan Naya. Dia tetap menyeret gadis itu memasuki kamarnya.

Saat sudah di depan pintu, Ana membuka kamar Naya, tujuannya adalah kamar mandi.

Brukkk

Ana menghempaskan tubuh ringkih Naya ke dalam kamar mandi, dan secara tidak sengaja kepala gadis terbentur dinding.

"Ahhh... Bunda sakit... Kepala aku sakit banget..." Naya memegangi kepalanya yang berdenyut sakit. Bahkan ia rasa kepalanya juga berdarah.

Naya memejamkan mata. Kepalanya sangat-sangat sakit. Pelipisnya juga mengeluarkan darah.

Naya merasakan pusing yang sangat hebat, bahkan untuk membuka matanya Naya sudah tidak sanggup.

Byurrr...

Ana kembali mengguyur Naya dengan air dingin di kamar mandi. "Bangun! siapa yang suruh kamu tidur!"

"Bunda, kepala aku sakit banget. Pusing bunda, aku juga kedinginan," racau Naya dengan mata terpejam. Tubuhnya mulai menggigil karena suhu air yang benar-benar sangat dingin.

Naya mendongak, menatap Ana. "Dingin, Bunda..." Bibir Naya mulai pucat. Kepalanya terasa berputar-putar.

Ana hanya menatap datar ke arah Naya. Dia tidak perduli sedikitpun pada anaknya.

Karena ulah Naya, Raina, putrinya sekarang harus jatuh sakit. Ana tidak bisa membiarkan Naya begitu saja. Ia harus membuat Naya merasakan sakit juga, sama seperti Raina.

"Kamu gak boleh keluar sampai besok pagi. Sebelum saya buka pintu, jangan coba-coba buat keluar dari sini!" Ana menutup pintu kamar mandi dan keluar dari kamar Naya.

Wanita paruh baya itu tersenyum karena sudah berhasil membuat Naya kesakitan. Rasa kesalnya sedikit terbayarkan melihat Naya yang merintih kesakitan sepeti tadi.

"Ini akibatnya jika kamu berani melawan saya, Naya."

Sekarang Ana harus memeriksa keadaan putri tercintanya, Raina. Ana harus selalu siaga di samping Raina.

Ana membuka pintu kamar Raina, dia melihat Raina yang tertidur pulas di atas ranjang. Ana mendekat lalu mencium kening gadis itu.

"Tidur yang nyenyak, sayang," ujarnya kemudian.

🌻

See you ❤️

NAYANIKA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang