18. Hidup seperti mati

35.4K 3K 79
                                    

"Aku tidak pernah mau dilahirkan, jika akhirnya kalian akan menyiksaku sepeti ini"
-Kanaya Belva Anastasya

Saat hari sudah pagi, Ana memutuskan untuk pulang ke rumah dan mengambil beberapa perlengkapan Raina selama di rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Saat hari sudah pagi, Ana memutuskan untuk pulang ke rumah dan mengambil beberapa perlengkapan Raina selama di rumah sakit.

Ketika sampai di anak tangga teratas, Ana menghentikan langkahnya dan berbalik menatap pintu kamar Naya.

Ana masih belum bisa melupakan kejadian semalam. Dan sekarang ia harus memberikan Naya pelajaran.

Enak sekali gadis itu santai-santai, sedangkan Raina harus terbaring tak berdaya di rumah sakit. Raina harus kehilangan ingatannya, karena Naya! Ini semua karena Naya!

Ana berjalan mendekat ke kamar Naya. Sepertinya ia harus memberikan pelajaran yang setimpal pada gadis pembawa sial itu.

Naya harus merasakan rasa sakit yang Raina rasakan. Itu akan jauh lebih adil menurutnya.

Dorrr...

Dorrr....

"Naya bangun! Jangan enak-enakan tidur!"

"Bangun anak sialan!!"

Ana mengerahkan seluruh tenaganya dengan menggedor-gedor pintu kamar Naya agar gadis itu bangun.

Sedangkan di dalam kamar Naya memang tidak tidur. Ia sudah bangun sejak subuh tadi dan berniat akan ke rumah sakit untuk mengetahui kondisi Raina.

Naya sengaja tidak ikut Ana semalam ke rumah sakit karena takut akan memperburuk suasana. Ia takut Ana akan berbuat keributan jika ada dirinya di sana.

Naya berdiri dan berjalan ke arah pintu. "Sebentar Bunda."

Ceklek

"Ada apa Bunda? Kondisi kak Raina gimana? Dia baik-baik aja, kan?" tanyanya khawatir.

"Gak usah pura-pura perduli! Raina seperti ini karena kamu sialan!" sarkas Ana.

"Harusnya kamu yang kecelakaan dan mati!"

mati?

Seolah sebuah batu besar menghantam dadanya. Naya merasakan sakit yang luar biasa. Perkataan Ana sangat melukai hatinya.

Naya tidak mau dilahirkan, jika Ana mengharapkan kematiannya.

Sebenci itukah Ana hingga berharap Naya cepat mati?

"Kalau itu kemauan Bunda, Naya akan melakukannya Bunda, tapi tidak sekarang, belum waktunya. Jika saatnya sudah tiba nanti, tanpa Bunda minta pun Naya akan pergi."

"Suatu saat Naya akan pergi selamanya dari hidup Bunda."

"ANAK SIALAN! NGEBANTAH TERUS!"

Ana menjambak rambut putrinya dan menyeret gadis itu ke gudang rumah mereka.

Ana seperti seseorang yang sedang kesetanan, menyeret Naya secara kasar.

Brakkk

"Ini hukuman buat kamu karena sudah melukai Raina."

Ana tidak segan menghempaskan tubuh Naya begitu kasar. Tidak perduli Naya akan kesakitan atau tidak. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah membalaskan rasa sakit Raina.

"Maaf, Bunda. Aku gak sengaja. Jangan pukul, aku," ujar gadis itu sembari terus menangis.

Naya mengatupkan kedua tangannya sembari menggeleng. "Jangan pukul aku, Bunda...."

"Saya tidak perduli!"

"Gara-gara kamu Raina harus mengalami amnesia. Dia harus kehilangan ingatannya! Bahkan bahkan jantung Raina juga rusak!

"Ini semua salah kamu, Naya, dari awal kehadiran kamu hanya mempersulit hidup saya!"

Ana kembali menjambak rambut Naya dan langsung membenturkan kepalanya ke dinding.

Dughh

Dughh

Ana menghentikan kegiatannya. Beralih mantap Naya datar. Tidak ada sedikitpun rasa kasihan. Semua lenyap hanya karena Ana memikirkan putri pertamanya, tanpa memikirkan Naya yang juga putrinya.

Naya merasakan pening di kepalanya. Ia menyentuh keningnya yang sudah berdarah. Bahkan hidungnya juga mengeluarkan darah.

"Sakit, Bunda...."

Matanya mulai kabur. Padangan Naya semakin tidak jelas. Kepalanya benar-benar seperti akan pecah.

"Ini gak ada apa-apanya dibanding sakit yang di rasain Raina saat jatuh dari tangga!" ujar Ana semakin tersulut emosi. Merasa tidak puas, Ana kembali menyiksa gadis di depannya.

Dugghh

Dugghh

"Bunda ampun.  Sakit Bunda... Kepala aku sakit banget...." Naya meraung kesakitan, tetapi Ana tak kunjung mengentikan kegilaannya.

"Jangan lebay! Raina jauh lebih sakit dari kamu!" ucapnya tanpa rasa bersalah.

Ana melepaskan Naya sebentar. Napasnya naik turun menandakan dia benar-benar marah.

Naya ingin sekali melawan Ana, namun ia tidak memiliki kemampuan untuk itu. Untuk bediri saja Naya tidak mampu. Seluruh saraf-saraf nya seperti mati rasa.

Melihat Naya yang kesakitan, Ana kembali menyiksa gadis itu dengan menginjak tangan Naya yang berada di lantai. Ana menginjak tangan kecil dengan heels sangat kuat hingga tangan Naya berdarah.

"Bunda sakitt!!!" teriak Naya sekerasnya. Rasanya perih sekali.

Dengan air mata yang tak terbendung, Naya terus merintih kesakitan. "Ampun Bunda, ampun... Sakit... Sakit, Bunda...."

"Sakit...." Naya berusaha menggerakkan tangannya, tapi tidak bisa. Tangan kirinya sudah lebam dan penuh darah.

"Sakit, Bunda...." Itu kalimat terakhir sebelum akhirnya Naya tidak sadarkan diri.

Plaak

Ana melayangkan tamparan di pipi Naya. Namun tidak berasa apapun, karena Naya sudah mati rasa. Gadis itu meringkuk dengan darah yang mengalir dari pelipis dan juga dari tangannya.

Bajunya kusut karena kotornya lantai gudang. Rambutnya acak-acakan dan lepek. Wajah Naya mengalami memar, terutama di bagian pipi.

Melihat keadaan Naya, Ana tidak sedih melainkan bangga. Ya, Ana bangga karena sudah menyalurkan emosinya.

Setelah puas memukuli dan menyiksa putrinya sampai tak sadarkan diri. Ana melangkah ke luar gudang lalu mengunci pintunya dari Luar.

Ana tidak perduli bagaimana kondisi Naya di dalam sana. Yang terpenting adalah, dia sudah membalas rasa sakit Raina.

Sekarang semua menjadi impas.

Raina sakit, dan Naya jauh lebih sakit.

🌻

Lup u ❤️

NAYANIKA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang