2. Satu Atap

505 128 72
                                    

Tok tok tok. 

Hening.

Tiba-tiba muncul sosok familiar bertubuh tinggi dari balik pintu masuk tanpa permisi, kepalanya menggeleng heran sekali melihat kekacauan yang terjadi di depannya, pantas saja pemilik rumah ini tak mendengar ketukan pintu barusan.

Ternyata dia tidak sedang sendirian, melainkan di belakangnya telah berdiri sosok asing, adalah seorang anak laki-laki berpenampilan rapih, dengan ripped jeans biru muda, enggan mendekat jika saat itu Farhan tak mendesak masuk.

Dia berkulit tan, tidak terlalu coklat juga tidak terlalu putih, bentuk badannya yang tegap dan sedikit berisi untuk ukuran seorang laki-laki seumuran dengan Naraya. Singkatnya, postur badannya tergolong ideal.

"Masuk, Chandra. Gak usah sungkan, kan saya udah bilang...." Selebihnya tak bisa didengar jelas apa yang mereka bicarakan.

Farhan merangkul anak yang diketahui bernama Chandra tersebut, kemudian mendekat tanpa ragu. Setau Naraya pria ini adalah Adik kandung Dirman Ayahnya yang paling dekat dengan almarhum semasa hidup. Hubungan antara Farhan dengan keluarga ini juga terjalin cukup baik termasuk hubungannya dengan gadis itu. 

"Naraya udah makan??" Tatapan mata Farhan sangat tenang seolah memberi kehangatan tersirat.  Beliau pun masih ingat bagaimana hubungan kekerabatan keluarga ini seperti saat terakhir bertemu.

"Hm b-belum Om. Tenang aja nanti aku makan."

Jujur saja, sebenarnya Farhan tidak menyangka di saat begini Naraya masih bisa terlihat begitu tegar, bahkan ia tidak memperlihatkan sisi lemahnya pada siapapun selama ini?

Duda berusia muda itu tersenyum teduh sesekali dia akan tersenyum ke arah anak laki-laki di samping kirinya, anak itu tampak kurang nyaman dengan suasana canggung di sini sebab ternyata tidak ada satupun yang menyapanya sejak pertama menapakkan kaki di rumah ini.

"Eh Pak, ini loh anak yang saya bilang ... Si Chandra anaknya Pak Alta. Dulu kan lumayan dekat sama almarhum." Farhan terkekeh memecah kecanggungan.

"Oh temennya, Dirman?" Naraya melirik jengah ke arah Anwar mendengar nama ayahnya disebut-sebut.

"Iya, Pak. Dulu keluarga mereka yang sering ngasi pinjeman uang dan peluang kerja juga dulu. Sampai Farhan dan Dirman bisa berkerja dan hidup sukses seperti sekarang." 

Senyum Anwar mengembang  ke arah anak lelaki itu yang mana hal tersebut bahkan sesuatu yang tak pernah diterima Naraya selama beberapa tahun belakangan ini, senyuman hangat pria tua itu justru menyesakkan hatinya.

"Oalahh! Yang pinter itu?"

"Ohiya dong! Pinter anaknya hehehe," hebohnya membanggakan.

"Nachandra, sapa Kakek." Farhan menyenggol lengan Chandra pelan.

"Eh iya, iya. Kek hehe." Nada suaranya menurun makin tak nyaman, akan terdengar sangat sopan bagi siapapun yang mendengar.

Tanpa sadar Naraya mulai menggerakan netranya memperhatikan bocah itu dari ujung kepala hingga kaki, ah, kebiasaan lama, lalu smirk meremehkan, namun sepertinya dia tidak sadar sama sekali sedang diperhatikan seintens itu.

Bertingkah seperti orang bodoh Chandra malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kakinya seperti terjaga agar tidak kelepasan jingkrak-jingkrak terlalu lama berdiam diri dalam suasana canggung seperti ini. Sesekali mendeham serat di tenggorokan usaha agar terlihat tenang, padahal yang Naraya liat justru sebaliknya. 

"Yaampun udah lama kamu nggak ke sini ya, silahkan duduk." Tiara tersenyum menyambut Chandra dengan baik. 

Hah, bagaimana mereka tau? Memang benar sih sudah cukup lama sejak ia dan keluarganya memutuskan untuk pindah ke Bandung beberapa tahun yang lalu. Mereka tidak berniat kembali ke Jakarta pada awalnya, entah apa yang mengubah pemikiran sekeluarga. 

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now