30. Serpihan Hati

98 40 42
                                    

Pantulan menyedihkan dari cermin sialan itu membuatnya semakin ingin menghajar membabi buta dirinya sendiri mengunakan kepalan tangan sigap di samping kanan dan kiri

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pantulan menyedihkan dari cermin sialan itu membuatnya semakin ingin menghajar membabi buta dirinya sendiri mengunakan kepalan tangan sigap di samping kanan dan kiri. Belagak bertingkah layaknya monster lalu dikalahkan oleh sisa renungan terdalam ruang hati.

Perasaan bodoh ini selalu mengusik pikiran ketika dia melamun sendirian.

Membiarkan kran di wastafel terbuka membebaskan air jernih membasuh permukaan tangan, perlahan menarik senyuman lebar merasa puas seperti separuh beban di kepala dan dadanya terasa sedikit melapang kembali.

Bohong jika ia berkata dirinya baik-baik saja setelah berhasil menyakiti orang lain begitu mudah, hasrat ingin terus menang dan berada di atas dalam segala hal justru membunuhnya secara perlahan-lahan.

Persetan dengan segala penilaian tentang Ibu atau saudari tirinya yang super menyebalkan itu. Tidakkah Ayah menyadari deritanya?

Keparat.

Akankah tuntutan sempurna semenyakitkan ini? Ternyata benar menjadi cantik itu menyakitkan, lagipula dirinya tidak selalu berada di atas meskipun dia memiliki paras yang cantik.

Kalau bisa.

Plak! 

Ia hanya ingin hidup bebas seperti orang biasa di luaran sana, beban yang ditanggung di atas bahunya terus berkembang dan semakin berat begitu menyakitkan.

Bunyi tamparan seseorang mengalihkan atensi para murid di sana bagi sebagian dari mereka yang terlalu menyukai perdebatan, drama, katanya sih seru. Si kutu buku yang biasanya tak memedulikan keadaan bahkan beranjak dari tempat duduknya ikut
menyaksikan. 

Nyatanya, mereka memang suka yang rame-rame sih.

Melemparkan tatapan tajam pada seorang gadis yang baru saja keluar dari toilet wanita, mulutnya menganga lebar tak percaya matanya menurun sendu seperti sedang berusaha keras menahan tangis.

Apa peduli Haidan?

"Jijik gue ngeliat lo, Yura." Tidak seperti laki-laki kebanyakan yang akan menghormati perempuan. Tanpa pandang bulu, menurutnya semua orang sama selagi dia bersalah harus tetap menerima ganjaran atas perbuatannya sendiri.

Gadis dengan rambut terurai depannya mengendus kasar padanya seraya menyentuh bekas tamparan tadi. Sebenarnya ini bukan kali ke dua atau sekedar ke tiga Yura memancing masalah dan berakhir berhadapan dengan Haidan Dermaga.

Tetapi baru kali ini rasanya dia ringan tangan menampar seseorang tanpa perlu memikirkan bahwa pelakunya adalah seorang perempuan. Haidan sudah terlalu jengah menahan hasrat ingin meluapkan segala kekesalan segera.

"Lo nampar gue?!"

"Ya, kenapa? Lo cewek gila Yura. Gimana bisa gue biarin lo nyakitin Naraya di depan mata gua, hah?!" bentaknya balik sehingga beberapa orang tersentak kaget mendengar suaranya. Ah, hal-hal seperti ini sudah sering terjadi.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now