47. Panggung Sandiwara

85 24 67
                                    

Sebuah botol alkohol semula menggelinding dilemparkan keras menghempaskan secara brutal ke dinding langsung menusuk ke pendengaran seolah-olah tak bosan menyapa pagi suram bocah ini kala terjebak dalam tempurung kesunyian ruang serta gelap malam.

Duduk memeluk tubuh kecilnya merengek tersedu-sedu bahkan ketika segala sumber titik cahaya padam bola matanya masih setia bergerak mengira-ngira keberadaan ibunya melalui raungan pilu terdengar amat menyakitkan.

Suara teriakan dari bilik lain memicu si kecil membungkam mulut cepat dengan kedua tangan. Pemeran yang mulanya begitu menyanyanginya berubah menjadi sosok monster menyeramkan tak berperasaan itu berharap lekas pergi tak berhasil menemukan keberadaannya dan sang ibu.

Tangisan lirih seseorang di depan sana merangkak perlahan-lahan mulai meraih kedua tangan mungilnya berusaha ditangkap, mendekap erat untuk melindungi karena apapun yang akan terjadi nanti. Nachandra, putra tunggalnya harus selamat meskipun itu resikonya adalah mengorbankan nyawa sendiri.

Marnia tidak peduli lagi dengan keselamatan, kesehatan fisik maupun mentalnya sejak penyakit suaminya acap kali kumat akhir-akhir ini tanpa pandang bulu memukul korbannya sekalipun itu dengan sebuah bilah parang membawa dampak buruk bagi keluarga kecil sangat diimpi-impikan keharmonisannya dulu.

"M-ama, kenapa Papa jahat?" rengek si bocah menenggelamkan diri dalam pelukan sang malaikat. Bukannya mendapat jawaban, melainkan dibalas oleh raungan tangisan namun mampu dibendung kembali.

Dielus pelan lalu dikecup sayang surai lembut milik sang anak bagaikan tak pernah bosan mencium pucuk kepalanya memberikan sedikit kekuatan pada bocah kecil berusia empat tahun sedang berjuang melawan trauma lama sekaligus bertahan dari amukan badai menerjang.

Kemudian ketika tangan besar sang ibu meraih tangan-tangan kecilnya meremat erat jemarinya langsung merasakan kenyamanan luar biasa, dirasa dirinya benar-benar berada dalam lindungan Yang Maha Kuasa kini.

Dubrak!

Pintu memang mulanya rapuh telah berhasil didobrak mudah hingga engselnya hampir terlepas menimbulkan suara begitu kencang sampai dua pasangan anak dan ibu ini memejamkan mata dan menyumpal telinga mereka lantaran kaget.

Yang lebih tua bergetar ketakutan tetap memberanikan diri membuka mata lebar-lebar guna memastikan apa yang sebenarnya terjadi saat ini, si kecil malah ikut menemani ibunya menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya memindai liar.

Di sana telah berdiri sosok seorang pria yang kerap kali disebut-sebut kepala keluarga mulai membanting sebuah kursi kayu dan kakinya langsung patah, nyaris mengenai kepala sang istri lalu terdengar jelas jeritan menggema di seisi ruangan.

Sudah cukup menjelaskan bahwa tenaga pria dewasa itu jauh lebih unggul dibandingkan dirinya. Masih terlalu muda untuk dipaksa berpikir bagaimana cara melindungi malaikatnya dari resiko amukan maut.

Beralih memandang tajam ke arah si anak rahangnya mengeras seketika, lalu tanpa aba-aba tangan besarnya menampar kasar pipi istrinya kilatan di matanya itu berapi-api, mati rasa. Bahkan bocah ini yakin yang dilihatnya bukanlah ayahnya.

Melainkan mahkluk menyeramkan lain. Sungguh sangat sulit baginya menerima kenyataan dan mengakui seseorang yang menyakiti ibunya adalah pemeran penting—biasa selalu melimpahkan kehangatan dalam keluarga sederhana ini.

Ia menyaksikan dengan jelas meskipun bersembunyi di balik kolong ranjang, melihat bagaimana ibu disiksa demikian kejam hanya bisa menitikkan air mata menangis pun dalam diam, sekali bersuara maka akan menyia-nyiakan perjuangan seorang ibu.

Pukulan demi pukulan melayang tanpa melibatkan perasaan tak memberi celah untuk kabur atau sekedar teriak meminta pertolongan. Entah sudah keberapa kali wanita itu terus mencoba melindungi diri menghindari setiap pukulan-pukulan tersebut. Pekikan lirihnya kembali terdengar menyayat batin.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang