8. Kecewa.

165 71 24
                                    

Rertintikan bunyi hujan berjatuhan dari atas langit kembali menyapa di malam yang sunyi, di sinilah tersisa penerangan samar dari bilik ruangan lain dan gadis itu sekarang hanya bisa melihat setitik sumber cahaya dari luar balkon.

Si penerang jalan.

Seperti biasa pada pukul delapan menuju sembilan suara bising mobil dan motor kembali melanjutkan aktifitas, berlalu-lalang di depan sana menemaninya.

Waktu sangat yang tepat untuk berpikir sekaligus merenungi semua keputusan, maupun kesalahan yang pernah diperbuatnya, kepalanya menyender pada jendela kaca, memejamkan mata sesaat.

"ARGH! SEBUTIN AJA SEMUANYA, SALAHIN AJA GUE TERUS!"

"Mikir Nay, Ayah meninggal karena lo! Lo yang buat Ayah jantungan sehabis denger kabar lo hampir di keluarin dari sekolah. Tau gak lo?"

Salahkah ia?

Perkelahian mereka di mulai saat Naraya melihat seorang adik kelas keterbelakangan mental di bully habis-habisan oleh teman sekelasnya,
ang paling membuat Naraya tak habis pikir adalah ... kehadiran Yura dan teman-temannya di sana.

Mereka mem-bully anak itu, bahkan tak tanggung-tanggung ikut mempermalukannya di depan banyak orang.

Sekarang bagaimana Naraya bisa membiarkan hal itu terjadi?

Hal semacam ini selalu menjadi pertanda dimulai perdebatan yang berakhir perkelahian di antara kedua anak perempuan itu, tetapi siapa sangka wajah cantik bagaikan malaikat namun hatinya justru tak sebaik Naraya, gadis yang selalu dicap buruk di sekolah hanya karena penampilan.

Naraya memukul kepalanya, cukup keras, lalu menjedorkan kepalanya pada kaca yang padat.

Makin keras...

Lebih keras...

"Nara."

"Hah?!" Naraya terperanjat dari tempat duduk.

Panggil seorang lelaki berjaket hitam, ia juga masih mengenakan ripped jeans biru seperti biasa. Agak aneh karena dia selalu rapih di malam hari, dan yang ia tau anak itu tidak pernah keluar ke mana pun, karena semalaman terus berkutat di dalam kamar entah mengerjakan apa.

Naraya tak peduli apa yang dilakukannya, asal tidak mengganggu saja sudah cukup baginya.

"Minjem pulpen, ada?" Naraya melongo bibirnya terbuka lebar.

"Lo lagi belajar?" Melihat buku tugas bercorak beruang miliknya terbuka, menampilkan tulisan, 'buku tugas mtk'.

"Iya, Ra. Ada gak? Jangan bilang lo nggak punya."

"Nggak punya, males nulis."

"YEE SI ANJIR GUA SERIUSSS CEPETANN," sontak Nachandra berteriak heboh gemas.

"NACHANDRA, GUE BILANG GAK ADA!" jawab Naraya berdiri tegap di depannya memainkan ujung bajunya menahan emosi.

Kalau dilihat-lihat tubuh Nachandra cukup tinggi, walau tak setinggi Haidan, sang kekasih.

Nachandra membuang muka sesaat mengusap wajahnya kasar kemudian menghela napas lelah.

"Jadi lo sekolah buat apa, Naraya?

"Bahkan sesederhana pulpen, lo, nggak punya."

Bukan marah, namun dia merasa agak kecewa. Naraya yang dikenalnya tidak mungkin seberantakan ini kan?

"Hm, iya gue emang sering bolos," ujarnya menyakinkan.

"Gue cuma masuk saat pelajaran yang gua yakin nggak bakal disuruh nulis." Hembusan napas menburunya seketika melemahkan hati seseorang hingga tatapan tegasnya menurun.

When The Sun Goes Down [𝘤𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang