EP.8 | Part 3

222 20 0
                                    

"Kamu telah berlatih drama Arsitektur. Dan melewatkan latihan Rugby. Papa tahu."

Pat tidak pernah berpikir Ayahnya akan mengetahui hal ini. Fakta bahwa Pat telah melewatkan jadwal latihan Rugby demi mengikuti latihan drama untuk Fakultas Pran.

"Itu.. Cuma masalah jadwal, Pa."

"Kenapa kamu tidak berhenti saja dari dramanya?"

"Tapi dramanya akan segera dimulai, Pa. Dan Pat hanya membantu mereka. Mereka tidak bisa melakukannya tanpa Pat."

Ayah Pat menggelengkan kepalanya. "Kamu tahu kenapa Papa tidak terlalu banyak ikut campur tangan dalam hidupmu?" Pat mendengarkan dengan seksama. "Itu karena Papa pikir kamu tahu yang mana yang harus kamu prioritaskan. Tapi saat ini, Papa sadar kalau apa yang Papa pikir itu salah."

Pat terdiam seribu bahasa. Ayahnya menjatuhkan selang air ke lantai lalu masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Pat yang terjebak dalam pikirannya sendiri.

Pikiran itu tak berhenti sampai Pat terbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit kamarnya. Ia takut mengecewakan Ayahnya, tapi ia juga tak bisa meninggalkan Pran dalam kesusahan. Ia menghela napas sambil membangkitkan dirinya untuk duduk. Diraihnya ponsel dan mulai menekan nomor orang paling penting dalam hidupnya.

Di meja bar tempat Wai bekerja, ponsel Pran berdering. Tertera nama 'Hanya Teman' pada layar di sana.

"Aku akan segera kembali."

"Ya."

Pran berjalan sedikit menjauh dari Wai untuk menerima panggilan telepon Pat.

"Halo."

[Halo. Apakah kita bisa ngobrol?]

"Aku lagi pergi minum. Ada apa?"

[Tidak ada apa-apa. Kau lanjutkan saja.]

"Baiklah kalau begitu, nanti kita bicara lagi."

Pat memutus panggilan telepon setelah Pran mengakhiri kalimatnya. Kembali merebahkan diri ke tempat tidur dan menghela napas. Suasanya hatinya sedang buruk, tidak mungkin bisa tidur.

Sementar di bar, Wai melihat perubahan ekspresi wajah Pran setelah menajawab panggilan di telepon. "Ada apa?"

"Ibuku." Pran menjawab singkat lalu membenamkan separuh wajahnya ke dalam gelas bir dan menenggaknya sampai habis.

***

Malam semakin larut, Pat tak juga mampu memejamkan matanya. Ia bahkan duduk di lantai dan menjatuhkan kepalanya ke sisi tempat tidur. Kembali memandangi langit-langit kamar dengan pikiran yang penuh akan kata-kata sang Ayah. Matanya mengerjap saat ponsel di belakang kepalanya berdering. 'Hanya Teman'.

"Halo."

[Apakah kamu baik-baik saja?]

"Maksud kamu apa? Aku baik-baik saja."

[Lalu siapa yang menelepon dan terdengar seperti dia sangat ingin berbicara denganku?]

Pat mengehela napas dan terdiam sesaat sebelum kembali bicara.

"Apakah menurutmu tidak masalah jika aku berhenti bermain Kwan & Riam?"

[Jangan bercanda tentang ini. Dramanya akan segera ditampilkan.]

"Ayahku mengetahui tentang drama itu dan aku melewatkan Rugby. Dia tahu segalanya."

[Apakah dia menyuruhmu berhenti?]

"Dia tidak benar-benar mengatakan seperti itu. Tapi aku bisa merasakannya. Dia benar-benar kecewa. Sejujurnya, Papaku tidak pernah mengatakan seperti itu kepadaku sebelumnya. Aku merasa sangat buruk."

BAD BUDDY SERIES (Hanya Teman)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang