Bag. 1

206 11 0
                                    

Langit senja yang ditimbulkan oleh matahari yang terlihat seperti akan tenggelam ke dasar laut, selalu menjadi pemandangan favorit bagi Jeara. Setiap sore menjelang malam, ia akan selalu pergi ke tepi pantai hanya demi melihat bagaimana matahari tenggelam secara langsung di depan matanya sendiri.

Saat hari sudah gelap sepenuhnya, barulah ia kembali untuk menyiapkan bekal sang ayah yang akan pergi melaut. Ibunya tidak ada, karena ia pergi meninggalkan Jeara sewaktu Jeara masih sangat kecil dan belum mengerti apa-apa. Ayah Jeara adalah seorang tuli dan bisu. Jeara pun belajar bahasa isyarat tanpa ada yang mengajarinya. Ia hanya belajar sendiri bagaimana ketika ayahnya mencoba untuk berkomunikasi dengannya.

Awalnya memang sangat sulit sekali, selalu saja ada kesalahpahaman diantara keduanya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Jeara akhirnya dapat mengerti sepenuhnya dengan semua yang dikatakan ayahnya padanya. Rumah Jeara sangat sunyi. Kadang, ketika Jeara sedang bosan dengan kesunyian itu, Jeara selalu pergi ke pantai walau hanya sekedar mendengar suara ombak sekalipun, ia akan merasa lebih baik dibanding tidak mendengar suara apapun.

"Ayah terlihat pucat, Ayah sakit? Tidak usah saja melautnya hari ini." ucap Jeara dengan menggunakan bahasa isyarat.

"Ayah baik-baik saja. Kamu tidak usah khawatir. Ayah hanya lelah sedikit saja. Nanti ayah makan bekal yang dibuatkan sama anak ayah ini, pasti lelahnya akan hilang, hehehe." sahut sang ayah dengan tersenyum dan mengusap rambut Jeara.

"Itu artinya Ayah harus istirahat dulu di rumah. Tidur yang cukup. Nanti kalau Ayah kenapa-kenapa di laut, bagaimana?."

"Jeara, Percaya sama ayah, ya. Ayah pasti baik-baik saja. Sekarang laut sedang pasang. Ada banyak ikan-ikan yang akan muncul ke permukaan. Tangkapan ayah kali ini pasti lebih banyak dari sebelumnya. Dan kita bisa pesan pizza lagi seperti kemarin. Atau kamu sekarang mau burger? Nanti ayah belikan sehabis ayah melaut hari ini. Oke?" Yakin Jerion pada Jeara yang masih merasa cemas akan keadaan dirinya.

"Maukah Ayah berjanji untuk pulang lebih cepat pagi ini?" Jeara masih tidak begitu yakin dengan keputusan sang ayah. Entah kenapa perasaannya dihinggapi oleh rasa takut dan enggan membiarkan orangtua satu-satunya yang ia miliki itu pergi.

"Jeara, kamu itu adalah anak ayah satu-satunya. Kamu adalah rumah sebenarnya untuk tempat ayah pulang. Ayah pergi dulu. Kamu jangan tidur larut malam, ya. Good nite, Nak." pamit sang ayah dengan mencium puncak kepala Jeara.

Selepas ayahnya pergi, Jeara membawa satu set peralatan gambar menuju batu karang yang berada dekat dengan pantai. Meski cahaya lampu jalan yang ada di situ tidak begitu terang, bukan masalah bagi Jeara, ia rasa itu saja sudah cukup mampu menyinari apa yang akan digambarkan Jeara pada buku gambar miliknya.

Jeara sangat suka sekali menggambar. Terlebih jika yang digambarkannya adalah pantai beserta lautannya yang sedang menunjukan saat matahari akan terbit atau tenggelam. Senja, Jeara lebih banyak menggambarkan tentang senja. Entah sejak kapan dan sudah keberapa kalinya ia merasa jatuh cinta pada langit yang tercipta pada saat itu.

Jerion tidak pernah tahu bahwa anak satu-satunya itu begitu mahir dalam menggambar. Namun, suatu hari ia pernah melihat Jeara menggambar pada sore hari di teras rumah mereka. Jerion melihatnya dan langsung menarik buku gambar itu dan membuangnya ke tong sampah begitu saja. Sejak saat itu, Jeara tahu, bahwa Jerion tidak menyukai dirinya menggambar. Akan tetapi, Jeara tidak bisa benar-benar berhenti akan kesukaannya yang sudah menjadi hal terpenting dalam hidupnya itu. Bagi Jeara, hidupnya akan semakin tidak berarti apa-apa jika ia tidak menggunakan potensi yang ia miliki. Dari hasil gambarannya itu, Jeara juga mendapatkan uang dengan menjualnya. Tentunya semua itu ia lakukan secara diam-diam. Tanpa sepengetahuan sang ayah.

Tanpa Jeara sadari, kali ini, pada kegiatan menggambarnya di tempat yang biasanya jarang sekali dikunjungi orang, ada seseorang yang tengah memperhatikan dirinya. Lebih tepatnya, pada gambar yang sedang dibuat Jeara. Ia pun dengan perlahan mendekati Jeara yang masih fokus menggambar.

"A!!" Jeara terkejut ketika tanpa sengaja melirik kesamping mendapati seseorang yang sedang berjongkok memperhatikan gambarannya. Orang itu lantas tersenyum sambil menangkupkan kedua tangannya untuk meminta maaf.

Dia adalah anak laki-laki seumuran dengannya. Mengenakan pakaian yang terlihat sangat mahal dan kontras ketika berdekatan dengan Jeara walau dibawah sinar lampu jalan yang tidak begitu terang.

"Siapa kamu?" tanya Jeara dengan memeluk buku gambarnya.

Anak itu lalu mengulurkan tangan meminta telapak tangan Jeara. Dengan enggan dan agak ragu-ragu Jeara menyodorkan tangannya. Kemudian anak laki-laki itu menuliskan perhuruf kata pada telapak tangan Jeara.

"Nama saya Suga. Saya bisu." tulis anak laki-laki itu pada telapak tangan Jeara.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Ini bukan tempat yang biasa orang-orang kunjungi."

"Saya menginap di salah satu resort di sana. Saya seminggu di sini dan tersisa beberapa hari lagi. Saya sering lihat kamu sejak hari pertama saya datang. Jadi ketika saya lihat kamu lagi, saya mencoba untuk ikuti kamu. Maaf, saya bukan orang jahat kok." Meski ia menuliskannya cukup lama, Jeara tidak keberatan karena ia jadi teringat ketika ia masih merasa kesulitan bicara dengan ayahnya dulu.

"Oh, oke." sahut Jeara tidak tahu harus berkata seperti apa lagi. Ini adalah kali pertamanya bertemu seseorang yang seumuran dengannya dan mengajak ia bicara. Saat Jeara masih belajar membaca bersama para anak-anak nelayan lain pun, tidak ada satu orang pun dari mereka yang mengajaknya bicara dan bermain. Hanya karena ia memiliki seorang ayah yang bisu dan tuli, membuat Jeara menjadi tidak begitu disenangi oleh mereka yang merasa memiliki seorang ayah yang lebih baik.

Suga lalu meminta tangan Jeara lagi.

"Bolehkah saya melihat kamu menggambar lagi? Saya tadi sempat melihat bahwa kamu sedang melukis langit senja. Itu terlihat sangat keren sekali."

Jeara hanya mengangguk dan tersenyum canggung, Sedang Suga membalasnya dengan senyuman manis yang tak kalah indah dengan langit senja.

Suga melambaikan tangannya ke wajah Jeara karena Jeara tidak langsung segera menggambar. Jeara yang tersadar lalu terkekeh dan meletakan buku gambarnya ke atas gundukan batu yang dijadikannya sebagai alas meja untuknya. Suga memperhatikannya dengan antusias, matanya berbinar setiap kali Jeara menggoreskan spidol warna tanpa ragu-ragu ke buku menggambarnya.

Hampir setengah jam berlalu dan suara ombak menjadi pengisi suara diantara mereka. Sesaat kemudian, gambaran Jeara pun selesai. Suga langsung bertepuk tangan begitu mendapati betapa menakjubkannya karya tangan Jeara yang sangat mirip dengan aslinya.

Suga mengacungkan kedua jempolnya pada Jeara yang tersenyum puas dengan hasil gambarnya. Jeara senang ada orang yang berkata bagus pada karyanya selain orang dewasa.

"SUGAAAA!!" teriak seseorang dari kejauhan.

"Hei Suga, sepertinya ada yang mencarimu."

"Oh, itu suara ibu saya. Saya pergi dulu ya." katanya dengan masih sempatnya menuliskan kata ke telapak tangan Jeara. Setelah itu ia pun berlari sembari melambaikan tangan dan membuat ucapan tanpa suara, namun bisa dimengerti oleh Jeara. Katanya, sampai bertemu lagi. Jeara hanya mengangguk tapi tak lama kemudian dia berlari mengampiri Suga.

"Ini untukmu." katanya dengan merobek gambaran yang baru selesai dibuatnya tadi dan menyodorkannya pada Suga.

Meski Suga tidak menuliskan apapun, tapi Jeara tahu bahwa Suga sedang mengatakan terima kasih dengan bahasa isyarat.

Jeara melambaikan tangannya sampai ia tidak melihat Suga lagi dalam pandangannya.

Malam itu adalah malam yang sangat membahagiakan bagi Jeara karena ia barusaja mendapatkan teman baru, sekaligus malam paling memilukan sepanjang hidupnya.

Jerion tidak pernah kembali lagi.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now