Bag. 12

9 2 0
                                    

"Mau apa Anda menemui saya?" tanya Jeara dengan muka datarnya.

"Tidak ada. Saya hanya sedang berjalan-jalan di sekitar sini. Lalu kemudian bertemu kamu." katanya dengan membuat pertemuan mereka seolah hanyalah kebetulan.

"Tadinya saya pikir hari ini adalah hari di mana anda menjadi guru di sekolah saya, tapi ternyata bukan. Bukankah itu artinya Anda terlalu luang untuk membuat sebuah kebetulan." sahut Jeara tak percaya.

"Oke, saya akan terus terang. Kamu ikut dengan saya saja. Saya perhatikan rumahmu---"

"Anda memantau rumah saya juga!? Lancang sekali!"

"Jeara, ini sebenarnya ada apa? Kenapa kamu terlihat kesal sekali dengan orang ini?" tanya Suga yang sedari tadi hanya memerhatikan.

"Ceh. Anak ini. Rupanya ia sedang meniru jejak ibunya dulu." kata orang itu dengan berdecih.

"Apa maksudmu!?" tanya Jeara dengan suaranya yang masih ketus.

"Jika kau ingin tahu apa yang terjadi pada ibumu. Ayo ikut denganku, dan..." Orang itu mendekatkan kepalanya ke telinga Jeara. "tinggalkan laki-laki cacat itu sebelum kamu menyesal seperti ibumu." katanya dengan tersenyum setelahnya. Setahu Jeara, saat kali pertama ia bertemu dengannya, laki-laki itu tidak terlihat sebusuk ini.

"Nggak! Minggir! Dasar orang gila!!" hardik Jeara kemudian menarik lengan Suga untuk pergi dari sana. Orang itu hanya tersenyum miring melihat Jeara yang menjauh darinya.

"Jeara, tadi itu siapa?"

"Bukan siapa-siapa. Cuma sales yang lagi nawarin barang doang."

"Tapi aku tidak lihat sama sekali tas atau barang yang dibawanya."

"Nah, justru itu. Karena dia nawarin tanpa bawa barangnya, aku jadi kesal. Kan, jadinya dia seperti jual omong kosong doang, begitu."

Suga hanya mengangguk setelah itu. Mereka pun tiba di tempat orang jual bakar-bakaran yang dimaksud. Sebenarnya, dari tadi mereka sudah banyak lewatin orang yang jual serupa. Hanya saja, kata Jeara di sinilah yang paling terkenal oleh rasa dan tempatnya. Meski ramai, pelayanannya terbilang cukup cepat. Suga dan Jeara memilih duduk di batu karang yang tak jauh dari stand jualan bakaran itu. Suga tak menyangka bahwa yang jual juga bisa mengerti dengan bahasa isyarat. Ia juga sangat ramah pada Suga.

Nah, sekarang mereka tinggal tunggu pesanan mereka datang. Tak perlu waktu lama. Paling cuma sekitar 5 sampai 10 menitan.

"Selama di sini. Kamu tinggal di mana, Suga?"

"Aku tinggal di villa."

"Sama om-om yang suka anterin kamu kalau kemana-mana itu?"

"Iya, namanya om Wisman. Dia sudah kuanggap seperti omku sendiri."

"Ayahmu tidak ikut?"

"Tidak, ia sedang sibuk mengurus perusahaannya."

"Hubungan kalian baik-baik saja, kan?"

"Tentu saja. Aku dekat dengan ayahku. Eh, pesanan kita datang."

Sore itu tak terasa berubah menjadi senja. Langit terlihat sangat cantik sekali. Jeara mengabadikan momen itu dengan menggambarkannya dengan buku gambar yang selalu ia bawa. Ia juga menggambarkan dirinya dan Suga yang tengah menikmati makanan. Mereka tak perlu menggunakan kamera lagi. Sebab, gambaran Jeara pun sudah cukup menyerupai aslinya. Dari dulu sampai sekarang, hasil gambaran Jeara tak pernah berubah. Tetap bagus dan nyaris menyerupai aslinya.

"Ini buat Suga, dan ini buat aku." kata Jeara dengan menyodorkan kertas gambarnya pada Suga.

"Woah, keren sekali. Kamu hebat sekali, Jeara!" kata Suga sambil memandang kagum pada kertas itu. Ia juga membandingkan dengan gambar yang dipegang sama Jeara. Latarnya sama, namun pose mereka saja yang beda.

"Oh, ya, Suga. Omong-omong, aku ingin tahu kegemaranmu itu apa? Kalau aku kan menggambar, kalau kamu apa?"

Suga berpikir mencari tahu apa yang paling sering ia lakukan sehingga dapat dikatakan itu adalah sebuah kegemaran.

"Lama sekali mikirnya. Jangan bilang kamu tidak memiliki kegemaran pada apapun."

"Bukan begitu, tentu saja aku punya. Hanya saja aku bingung. Apa hal itu termasuk kegemaran atau bukan."

"Kamu sering melakukannya tidak?"

"Tidak sering, tapi aku rutin mengerjakannya minimal sekali dalam seminggu."

"Apa?"

"Ah, aku malu mengatakannya."

"Katakan saja. Aku janji tidak akan menertawakanmu." kata Jeara dengan mengacungkan keatas telapak tangannya.

"Baiklah, kau sudah janji ya. Aku... suka...  merangkai bunga."

"Woah, itu pasti sangat keren sekali Suga. Kapan-kapan bisakah aku melihat karangan bungamu Suga? Aku jadi penasaran."

"Iya, lain kali aku akan buatkan untukmu."

"Sejak kapan kau suka merangkai bunga? Apa sejak kali pertama kita bertemu waktu itu? Atau sebelumnya lagi?" tanya Jeara dengan penuh penasaran.

Suga tak langsung menjawab. Ia menyodorkan tisu pada Jeara.

"Mulutmu celemotan. Aku tak berani menyekanya."

"Ah, iya. Maaf." Jeara lalu menyapu sekitar mulutnya yang belepotan oleh sambal. "Lagipula aku juga tidak suka disekakan tiba-tiba oleh anak laki-laki. Terlalu mirip adegan ftv. Menggelikan, hmh."

"Oke, mengenai pertanyaanmu tadi, jawabannya adalah... emm... aku lupa kapan waktu tepatnya. Tapi, itu adalah saat di mana kita masih belum bertemu tapi aku sudah pernah lihat kamu. Saat itu di rumah sakit, saat ibuku masih ada. Aku sering menemani ia pergi ke taman rumah sakit yang ditumbuhi banyak sekali bunga. Aku suka memetikannya dan memberikan pada ibuku. Ia menyukainya dan merangkainya dengan sangat indah. Sejak saat itulah aku tertarik untuk membuat seperti apa yang ibuku buat." kata Suga dengan tersenyum mengingat akan kenangan indahnya bersama sang ibu.

"Memangnya boleh petik bunga di taman rumah sakit? Kamu nggak dimarahin gitu sama petugas yang rawat atau yang jagain bunga itu?" tanya Jeara.

"Tidak, karena rumah sakit itu milik ayah. Ayah tahu ibu suka sekali sama bunga, makanya ia menanam banyak sekali bunga untuk ibu. Rumah sakit itu juga dulunya tidak di situ. Namun karena ibuku sangat menyukai laut dan bunga, makanya sejak saat itu dipindahkan." jelas Suga.

"Kalau aku boleh tahu, kenapa ibumu meninggal? Maaf kalau pertanyaanku terlalu pribadi. Aku hanya tidak bisa menahan rasa penasaranku pada hidupmu. Maafkan aku, Suga." kata Jeara sesaat menyadari akan ketidakpekaan dalam pertanyaannya.

"Tidak apa-apa. Aku juga punya rasa penasaran yang sama dengan hidupmu. Bagaimana jika kita saling bertukar cerita? Aku menceritakan hidupku. Dan kamu menceritakan hidupmu." kata Suga dengan wajah tenangnya.

"Kamu yakin seperti itu?" Suga mengangguk yakin.

Ia lalu menghirup banyak oksigen demi lebih melapangkan rasa sesak yang sempat hinggap ke dadanya. "Ibuku meninggal karena sakit kanker otak yang dideritanya sejak masih muda. Ayah sudah tahu saat itu kalau ibu sakit. Tapi ayah tidak mau meninggalkan ibu. Bertahun-tahun ibu bolak-balik pergi ke pengobatan hanya untuk menyembuhkan sakit yang dideritanya. Namun tak kunjung sembuh juga. Pada saat itu, ayah selalu menemani ibu. Ibu sudah pernah meminta ayah pergi darinya dan mencari wanita yang lebih sehat darinya. Tapi ayah bersikeras untuk tetap bersama ibuku sampai bisa menikahi ibuku. Sebenarnya, sangat sulit sekali ibuku memiliki keturunan dengan tubuh yang seperti itu. Dokter juga sempat memprediksi bahwa umurnya tak lama lagi. Tapi, seiring berjalannya waktu, ibuku justru hamil. Ayah merasa bersalah dan sempat meminta untuk menggugurkan janinnya karena resikonya sangat besar. Tapi ibuku tidak mau. Sampai akhirnya, ibuku melahirkanku. Ibu sempat mengalami gagal jantung. Namun ibu berhasil kembali. Umurnya yang dikatakan akan selesai sebelum sempat melahirkanku, nyatanya masih bisa bersamaku hingga aku berusia sepuluh tahun. Tapi, suatu hari, kejadian itupun terjadi juga. Hari di mana ia benar-benar menyerah untuk bertahan." Air mata Jeara dan Suga mengalir bersamaan. Suga mengingat lagi semua kenangan pahit yang dialaminya. Sedang Jeara turut membayangkan apa yang sempat dirasakan Suga pada saat itu. Itu pasti sangat menyakitkan. Jeara menyentuh tangan Suga dan mengenggamnya seolah memberikan kekuatan.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now