Bag. 29

6 3 0
                                    

Mereka berlima saat ini sedang berada di rumah pohon. Jeara tak menyangka bahwa Suga akan mengajak ketiga temannya untuk datang ke tempat yang Jeara kira adalah tempat privasi untuk Suga. Sebab, ia tak pernah pergi ke sana kecuali diajak oleh Suga. Dan Suga pun tak pernah berkata bahwa Jeara boleh datang kapan saja ia mau. Padahal, Suga membuat tempat itu untuk Jeara.

"Gila, tempatnya keren banget. Udah kayak menara aja tingginya nih pohon." komentar Yusuf saat menaiki bagian tertinggi rumah pohon. Jadi, sebenarnya, rumah pohon itu bertingkat dua. Dan tentunya selain bertopang pada dahan pohon, ada tiang tambahan juga agar tempatnya kokoh dan tahan dalam jangka waktu yang lama. Nah, dibagian paling tinggi itu mereka bisa melihat laut lepas dan hamparan hutan yang ada di belakang mereka. Pohon rumah pohon itu juga pohon yang paling tinggi diantara pohon-pohon yang ada di sekitarnya.

Terakhir kali pergi ke sana, undakannya masih terbuat dari tangga tali, sehingga begitu tiba di atas, rasanya sangat melelahkan dan terasa seperti baru memanjat tebing. Tapi, sekarang sudah ada undakan tangganya, sehingga mereka tak perlu khawatir dengan pijakan yang licin saat ada angin yang berembus. Meski begitu, tangga talinya masih dibiarkan ada di sana. Katanya, biar punya pilihan cara untuk bisa naik ke atas. Apalagi kalau ada yang lagi sedang diet, lumayan untuk olahraga. Tapi, siapa juga yang diet? Sebab mereka semua tergolong anak-anak yang bertubuh ideal. Dan dua diantaranya adalah eksotis. Tapi, tak masalah jika diantara mereka tetap mau melakukannya. Seperti Suga misalnya, kadang kalau lagi sendirian, ia tetap akan memilih naik dengan tangga tali.

"Ini sih lebih luas pandangannya dibandingin sama mercusuar yang ada di daratan." ucap Raka. Sebab mercusuar yang ada di daratan akses pandangnya sering terbatas karena bagian atas kapal besar yang sering menutupi.

"Emang ada mercusuar yang letaknya di daratan? Bukannya udah lama roboh ya?" tanya Venus ikut menimpali.

"Ada dua sebenarnya mercusuar di daratan, Ven. Satu yang roboh waktu itu, dan yang satunya ada diantara dermaga tempat kapal-kapal yang mereka jaga." kata Jeara sambil terus memberikan gerakan isyarat agar Suga dapat tahu apa yang tengah mereka bicarakan.

"Kok kamu bisa tahu, Je?" tanya Raka.

"Dulu, aku pernah naik ke sana sama ayah." Mereka yang mendengar itu hanya manggut-manggut paham.

Suga menepuk pelan tangan Jeara.
"Ada yang mau aku katakan." ujarnya.

"Ya?" sahut Jeara.

"Sebenarnya, kemarin ayahku bertemu dengan ibumu. Mereka ternyata saling kenal. Aku tidak menangkap banyak apa yang mereka bicarakan waktu itu. Yang jelas, mereka seperti dua teman lama yang baru bertemu." kata Suga dengan jujur. Venus yang mendengarkan itu turut mengatakan pelan ucapan Suga pada Raka dan Yusuf.

"Duh, dunia sempit sekali." kata Venus sambil bersuara.

"Terima kasih Suga sudah memberitahuku. Tapi, itu tidak mengubah apapun dengan cara pandangku dengannya. Aku masih merasa ia hanyalah orang asing dalam hidupku. Tidak lebih." kata Jeara yang dielus pelan tangannya sama Venus.

"Hm, aku justru berpikir bagaimana jika ibumu melibatkan ayahku untuk membawamu pergi. Maksudku, seperti permintaan antar teman. Kau mengerti maksudku, bukan?" Suga bingung dengan apa yang ingin ia katakan.

Kamu tinggal ceritakan saja semuanya sama ayahmu Suga.

Kata Raka dengan tulisan di ponselnya.

"Memang itu yang ingin aku lakukan. Tapi, bisakah kalian ikut membantuku untuk meyakinkan ayahku? Terutama kamu Jeara. Ayahku harus dengar semuanya darimu langsung." kata Suga.

"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita langsung ke tempat ayahmu saja sekarang." seru Yusuf dan Venus mengisyaratkan.

"Tidak bisa. Ayahku sudah pergi ke Sydney sekarang. Lusa baru balik lagi." kata Suga.

"Tapi, Suga, bagaimana jika ibuku sama sekali tidak melibatkan ayahmu dalam hal ini? Bagaimana jika pertemuan mereka kemarin hanya sebatas pertemuan kebetulan saja dan tidak berlanjut?" opini Jeara.

"Tetap saja kami harus tetap lindungi kamu dari orang-orang yang berpotensi menyakitimu, Jeara. Tapi, kecuali jika kamu benar-benar memberikan kesempatan untuknya. Kami akan tidak punya hak untuk memisahkan orangtua dari anaknya. Karena, mau bagaimana pun, dia tetaplah sosok ibu untumu." kata Venus sambil berpikir.

Jeara menggeleng ragu.

"Teman-teman, lihat mataharinya!!" seru Raka tiba-tiba yang membuat fokus mereka semua teralihkan.

"Jeara, kamu tenang saja, semua akan baik-baik saja, kok." kata Suga yang membantu Jeara untuk bisa naik ke bagian teratas mengikuti Raka dan yang lainnya.

______________

Matahari dengan cahaya senjanya turun perlahan seperti ditelan oleh lautan. Warna pantulannya seperti emas yang sangat berkilau. Baru saja Jeara hendak membuka ponselnya, buku gambar beserta pensilnya sudah terulur untuknya. Itu dari Suga. Ia sudah lebih dulu mempersiapkan semua itu.

"Bisa kamu gambar kita semua yang ada di sini?" pinta Suga dengan tersenyum. Venus yang lihat itu juga ikut tersenyum dengan bagaimana interaksi Suga dan Jeara yang begitu manis dan sederhana.

Jeara mengangguk menuruti permintaan Suga. Sementara teman-temannya mulai sibuk memakan camilan yang diambil Suga dari dalam rumah pohonnya, Jeara berpindah ke bawah agar lebih bisa fokus. Ia tidak perlu sampai harus terus memperhatikan objek gambarannya. Karena bagi Jeara, sekali melihat sebentar saja sudah cukup. Dan sisanya akan ia bayangkan dalam kepalanya.

Sesaat, ia seperti melupakan dengan masalah yang baru saja ia hadapi beberapa saat yang lalu itu. Ia bersyukur masih memiliki teman-teman seperti mereka dalam hidupnya.

Satu kripik kentang yang disodorkan oleh tangan seseorang tiba-tiba terulur ke depan wajah Jeara. Ketika ia menoleh, ia adalah Suga yang sedang ingin menyuapkan kripik itu ke mulut Jeara. Dengan agak sedikit canggung, Jeara membuka mulutnya yang kemudian mengunyahnya.

"Thank you." kata Jeara tanpa suara. Suga paham dengan gerakan mulut itu dan hanya tersenyum menanggapinya.

Suga lalu ikut duduk di samping Jeara, ia kembali menyodorkan suapannya ke mulut Jeara. Secara perlahan, rasa canggung yang tadi sempat tercipta di antara mereka mulai menghilang. Hingga Jeara merasa seperti biasa saja dengan keberadaan Suga di dekatnya. Kali ini lebih dekat dari yang pernah mereka lakukan. Maksudnya, duduk mereka seperti tak ada jarak sama sekali.

"Bolehkan aku ikut duduk di sini?" tanyanya yang padahal sudah telat untuk meminta izin, sebab ia sekarang sudah duduk lebih dulu.

"Lakukan saja, ini kan tempat milikmu." sahut Jeara dengan sebelah tangannya.

"Kayaknya sebentar lagi diantara kita ada yang udah nggak jomblo lagi, nih." celetuk Venus dengan nyaringnya di atas sana. Membuat Suga dan Jeara sontak mendongak melihat ke arah kaki-kaki mereka yang berjuntai.

"Siapa tuh? Dunia terasa milik berdua kayaknya." balas Yusuf ikut-ikutan.

"Dih, kata-katamu jadul banget, Suf. Udah kayak anak zaman 90an aja. Pepet teros dong. Biar kayak anak-anak kekinian." tambah Raka juga.

"Mereka ngomong apa, Je?" tanya Suga.

"Oh, itu, mereka lagi heboh ngomongin Yusuf yang waktu kecil suka ngompol di sekolah." jawab Jeara dengan menyengir. Tidak tahu kenapa tiba-tiba mulutnya tak mau untuk berkata jujur. Padahal, belum tentu juga orang yang dimaksud sama temannya itu adalah ia dan Suga.

Its OK to Not be Okay [Completed]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora