Bag. 36

4 2 0
                                    

Jeara sedang melukis langit sore di bebatuan tempat biasa ia sering datangi, sesaat kemudian terdengar seperti suara orang jatuh yang tak jauh dari tempatnya berada. Dia adalah anak perempuan yang sepertinya seumuran dengannya. Ia menggunakan tongkat untuk meraba-raba jalanan yang ada di depannya.

Jeara lantas meletakan kertas gambarnya dan mengampiri si perempuan itu demi menolongnya untuk bisa berdiri kembali.

"Terima kasih." katanya dengan tersenyum setelah Jeara membantunya.

"Sama-sama. Kamu mau ke mana? Biar saya arahkan agar nggak jatuh lagi." sahut dan tanya Jeara.

"Tidak, terima kasih. Saya punya ini (menunjuk ke tongkat) untuk menuntun saya berjalan. Saya permisi. Sekali lagi terima kasih." ujar cewek itu dengan tersenyum tipis dan berjalan perlahan meninggalkan Jeara yang menatap punggungnya dengan nanar. Sesaat ia jadi teringat dengan Suga.

Jeara lantas menghela napasnya dan kembali duduk di bebatuan untuk melanjutkan gambarannya. Belum lagi ia selesai menggambar, ia kembali teringat dengan tempat yang dulu sempat ia kunjungi bersama Suga, yakni rumah pohon. Sehari sebelum keberangkatannya, Suga baru ingat untuk mengatakan bahwa Jeara boleh datang kapanpun dia mau ke rumah pohon itu. Sebab, Suga membuatnya selain untuk dirinya juga khusus untuk Jeara. Tapi, teman-teman Jeara juga boleh datang jika mau pergi ke sana.

Setengah jam berjalan kaki, akhirnya Jeara tiba di rumah pohon itu. Keadaannya sangat bersih dan rapi. Jeara kemudian naik ke atasnya dan mendapati Wisman sedang bersender di bangku panjang sambil menikmati matahari yang akan tenggelam.

"Ma-maaf, Om. Saya nggak tahu kalau, Om, ada di sini." kata Jeara merasa tak enak karena sudah mengganggu waktu santainya Wisman.

"Nggak apa-apa. Sini, kita ngobrol dulu aja. Mataharinya lagi cantik-cantiknya tuh. Kamu mau gambar, kan? Buruan gambar gih sebelum gelap." kata Wisman yang kemudian meminum minuman kalengnya.

Melihat langit yang memang sudah berwarna emas, Jeara tak ingin menyia-nyiakan waktu dan kesempatan itu. Ia lantas duduk di lantai tak jauh dari Wisman dan mulai asik menggambar. Wisman yang melihat itu pun merekam aksi Jeara yang kemudian hasilnya ia kirimkan ke Suga.

Jeara tampak sangat cantik sekali saat itu. Ditambah dengan biasan matahari senja yang memantul ke wajahnya. Ia terlalu indah untuk menjadi nyata. Wisman yakin Suga yang melihat foto itu di sana pasti merasa tidak sabar untuk segera cepat-cepat pulang. Sebab, Wisman pun tahu bahwa sebenarnya, sedari awal sebelum Suga memilih untuk menetap tinggal di kota kecil ini, Suga sudah sangat menyayangi Jeara lebih dulu. Itu bermula dari gambaran yang dulu diberikan Jeara pada Suga saat keduanya masih kecil. Ditambah dengan adanya Suga yang saat ini membawa ayah Jeara untuk pergi berobat bersamanya. Hal itu sudah menunjukan dengan sebetapa pedulinya Suga terhadap Jeara dan keluarganya.

"Jeara." panggil Wisman saat ia lihat Jeara hanya tinggal menebalkan garis-garis arsirnya saja.

"Ya, Om?" sahut Jeara dengan menoleh sebentar lalu kembali fokus ke gambarannya lagi.

"Menurut kamu, Suga itu anak yang seperti apa?" tanya Wisman sambil memandang penuh belakang tubuh Jeara.

"Kenapa tiba-tiba, Om, tanya hal itu?" sahut Jeara balik bertanya.

"Om sudah lama tinggal bersama Suga. Dari sejak dia masih bayi om sudah menjadi penjaganya. Bisa dibilang, om itu sudah jadi baby sitternya Suga. Apalagi, semenjak ayahnya sering jarang untuk berada di rumah, om selalu setia menemani Suga untuk menjadi sosok pengganti ayah baginya. Meski begitu, Suga tak pernah membenci ayahnya. Hubungan mereka masih tetap hangat dan baik-baik saja sampai sekarang. Suga juga anaknya begitu periang. Tapi, itu hanya di rumah. Bukan ketika ia sedang berada di luar seperti di sekolahnya yang sering berganti-ganti itu.

"Suga sering terlihat murung dan tidak jarang ia selalu mendapatkan memar di wajahnya setiap kali pulang sekolah. Saat om tanya ia diapain, dia tidak pernah mau mengatakannya. Suga itu anaknya tertutup. Dia lebih sering menyimpan semuanya sendirian dibanding mengatakannya langsung. Karena, ia merasa bahwa, masalahnya hanya akan menyusahkan orang lain jika untuk diceritakan." Wisman menjeda ceritanya untuk melihat bagaimana tanggapan Jeara.

Sesaat Jeara jadi teringat dengan ucapan Suga yang sering kali mengingatkannya untuk tidak memendam masalah sendirian. Rupanya, ia pun punya masalah sendirian yang dipendam.

Kalau dipikir-pikir, Suga memang kelihatan selalu baik-baik saja sih. Dia tidak pernah kelihatan seperti menyembunyikan apapun dariku.

"Kamu tahu tidak kenapa Suga selalu ingin kelihatan untuk tetap baik-baik saja di hadapanmu?" Jeara menggeleng tak tahu karena ia sendiri juga tak menyangka.

"Itu karena kamu Jeara." kata Wisman dengan tersenyum.

"Maksud, Om?" Jeara mengerutkan keningnya.

"Sampai disini saja. Untuk lebih jelasnya kamu bisa tanyakan sendiri ke Suga. Om mau balik dulu." kata
Wisman meninggalkan Jeara yang masih terpaku heran dengan kalimat terakhir yang dikatakan Wisman. Padahal, ia sendiri belum menjawab pertanyaan Wisman yang tadi. Yang ada, Jeara jadi terpikiran apa maksud cerita yang dikatakan Wisman barusan dengan pertanyaannya sebelumnya.

"Kalau dipikir-pikir hubunganku dengan Suga kayaknya kelihatan lebih dekat dibanding sama tiga temanku itu. Rasa nyamannya juga lebih nyamanan bersama Suga ketimbang sama mereka. Tapi, bukan berarti sama teman-temanku aku merasa terganggu. Duh, aku jadi pusing. Sebenarnya aku kenapa, sih." ucap Jeara sendirian sambil mengembuskan napas kasarnya. Ia lalu beranjak untuk menyalakan lampu.

Separuh langit sudah menggelap dan menyisakan langit jingga di ujung barat.

Ia kembali mengingat dengan apa saja yang sudah ia lewati semenjak Suga datang ke dalam hidupnya. Ditambah dengan Suga yang lebih cepat untuk menolongnya saat ia dalam bahaya.

"Uh, berada di sini selalu membuatku jadi ingat sama kamu dibanding sama ayahku, Ga. Huh, kamu curang sekali mengambil perhatianku sepenuhnya sampai ayahku nggak kebagian." sungut Jeara dengan nada sewot.

Getaran diponsel Jeara berhasil membuat fokus Jeara jadi teralihkan. Ia lantas merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponselnya. Saat ia mengecek layarnya bukan salah satu orang yang ada di kontaknya. Nomor itu tak dikenal. Sesaat Jeara jadi ragu untuk mengangkatnya. Ia pun memilih untuk mengabaikannya.

Jeara membiarkan saja ponselnya di teras sementara ia masuk ke dalam untuk memanaskan makanan yang ada di kulkas. Sebab Jeara tiba-tiba merasa lapar.

"Hallo!" Terdengar suara Venus dari luar. Jeara tak langsung mengampiri karena ia sedang menyiapkan makanannya.

"Apa? Saya nggak ngerti. Kayaknya Anda salah sambung. Saya mau latihan renang dulu. Bye!" kata Venus lagi seperti mengakhiri telponnya bertepatan dengan Jeara yang keluar.

"Itu ponselku, kan?" tanya Jeara seraya duduk di bangku panjang dan meletakan piring makannya di meja bulat.

"Kamu sepertinya harus blokir semua nomor tak bernama agar selain yang ada di kontakmu tak bisa masuk ke ponselmu. Barusan tadi ibu kamu. Dia mau ketemu makanya aku jawab bohong tadi." sahut Venus dengan meletakan ponsel Jeara di atas meja samping piringnya.

"Bagaimana dia bisa tahu nomorku?" tanya Jeara dengan mengerutkan dahinya.

Venus menggedikan bahunya seraya mengambil pizza yang ada di piring Jeara kemudian memakannya dengan lahap.

"Kamu sudah nemu rumah baru belum, Ra?" tanya Venus tiba-tiba disela ia makan.

"Rumah kamu yang sekarang barusan dirusak sama orang-orang suruhan mama kamu. Dan kamu nggak mungkin, kan, tinggal di villanya Suga terus-terusan."

"Iya juga ya."

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now