Bag. 10

21 2 0
                                    

"Suga." panggil Jeara dengan menyentuh bahunya.

Mereka kini sedang berada di batuan karang besar yang agak menjorok ke laut. Tempat itu sunyi. Hanya terdengar deburan ombak yang menghantam batu.

Suga tersenyum sambil menyambut batok kelapa yang dibawa Jeara.

"Lihat di sana." kata Jeara dengan menunjuk langit dari kejauhan.

"Langitnya sangat indah. Kamu mau menggambarnya, Jeara?"

Jeara mengangguk dan mulai membuka buku gambarnya. Ia mulai fokus melihat langit sore itu. Sedang Suga justru fokus ke wajah Jeara yang tengah serius menggambar.

Suga sedikit heran dengan Jeara, meski anak rambutnya sering tertiup kesana-kemari oleh angin pantai yang tak begitu kencang, Jeara masih bisa konsentrasi. Suga pun berinisiatif dengan melepas gelang coker yang entah sejak kapan dia punya itu dan mengikatkannya dengan perlahan ke rambut Jeara. Jeara tidak menyadari hal itu, ia masih tetap fokus pada gambarannya. Suga hanya tersenyum melihat rambut Jeara yang sudah rapi setelahnya.

Suga mengeluarkan roti dari tas pinggangnya. Ia menghamburkan serpihan roti itu di atas bebatuan dan beberapa saat kemudian burung camar pun berdatangan. Ia melirik pada Jeara yang sempat terkejut melihat adanya kedatangan sekumpulan burung-burung itu. Tak lama kemudian ia kembali melanjutkan gambarannya.

Suga tak menyangka dengan kedatangannya kali ini membuatnya tak bisa kembali pulang seperti biasanya. Sebenarnya, selain 6 tahun yang lalu itu, Suga cukup rutin datang ke area sekitar pantai untuk menemui makam ibunya di tebing. Setiap ia datang, ia akan selalu melihat Jeara tanpa direncanakan atau sengaja sama sekali. Semua terjadi begitu saja, seperti mereka yang kebetulan sedang berpapasan atau Suga yang melihat Jeara jadi badut di jalan sedang ia tengah berada di dalam mobilnya. Suga ingin sekali waktu itu menegur atau menyapanya. Namun keberanian Suga menghilang begitu saja ketika bayangan mengenai tentang dirinya yang dirundung di sekolah formal melintas dalam kepalanya. Selagi hal itu berputar dalam kepalanya, kesempatan untuk memanggil Jeara pun selesai. Esoknya hingga seminggu berlalu, Suga tak lagi melihatnya.

Sampai suatu hari kejadian itu pun terjadi.

Crack!

Jeara selesai menggambar langit yang ada di ujung sana. Ia mengacungkan gambarnya satu jengkal dari wajah Suga. Lamunan Suga terhenti begitu saja.

Suga lagi-lagi terpesona dan matanya yang kecil itu tampak begitu berbinar. Ia lantas tersenyum dan mengambil kertas itu lalu seakan menyandingkan gambaran Jeara dengan langit sungguhan yang digambarnya di atas sana.

Suga mengacungkan jempolnya.

"Makasih." Meski Suga tidak mendengarnya, namun ia tahu apa yang dikatakan Jeara. Ia lalu mengambilkan es kelapa yang tadi dibawa oleh Jeara dan menyodorkannya ke Jeara.

"Menggambar sampai membuat hasilnya nyaris seperti nyata itu pasti mengabiskan banyak energi." katanya begitu Jeara menyambutnya.

"Omong-omong aku boleh tanya sesuatu padamu, Suga?" tanya Jeara setelah meneguk dan mengambil buahnya yang dikerukan oleh Suga.

"Tanya apa?"

"Sebelumnya, aku minta maaf jika pertanyaanku membuatmu tersinggung. Tapi, aku ingin tahu, sejak kapan kamu tidak bisa mendengar? Dan... kenapa?" tanya Jeara dengan sedikit ragu-ragu.

Suga tak langsung menjawab. Ia menarik napasnya dengan berat seraya menatap ke laut lepas. Matahari mulai semakin condong. Cahayanya mulai makin silau sekaligus makin indah.

"Suga," Jeara menyentuh tangan Suga. "jika itu berat untuk diceritakan, lupakan saja pertanyaanku tadi. Maaf, jika itu membuatmu menjadi kembali mengingatnya." tulis Jeara pada telapak tangannya.

"Maafkan aku. Lain kali akan aku ceritakan padamu saat aku sudah siap."

"Aku akan menunggu saat itu tiba."

_________________

Suga tersenyum melihat betapa antusiasnya Jeara saat ia berada di atas rumah pohon. Jeara tak henti-hentinya mengatakan ketakjubannya pada pantai yang terlihat sangat indah dari atas situ.

"Suga, kamu pandai sekali memilih sudut pandangnya. Pantainya jadi terlihat sangat indah. Keren." katanya dengan mengacungkan kedua jempolnya.

"Kamu senang?" tanya Suga.

Jeara mengangguk lalu kembali dengan melihat kagum pada lautan di depannya.

Tak ada interaksi lagi diantara keduanya. Mereka terlalu hanyut dengan langit yang mulai menguning di ufuk barat. Namun, sebenarnya yang menjadi fokus Suga sedari tadi bukanlah langit senja yang ada di depan mereka saat ini. Melainkan keberadaan Jeara yang seperti sebuah keajaiban untuknya. Ada rasa sesal dalam benak Suga, andai saja ketika sebelum kejadian itu menimpanya ia berani menyapa Jeara. Waktu itu ia masih bisa mendengar dan yang pasti tidak akan membuat kesunyian seperti sekarang. Ia pasti akan bisa mendengarkan suara Jeara ketika ia bicara walau tidak benar-benar terdengar dalam artian yang sebenarnya. Tapi nyatanya, suara Jeara yang tersimpan dalam ingatan di kepala Suga hanya suara khas anak kecilnya saja, itu pun Suga tak begitu yakin ia dapat mengingatnya dengan jelas.

"Suga." panggil Jeara dengan menepuk pelan lengannya. Suga yang sedari tadi melamun sambil memperhatikan wajah Jeara menjadi terkejut dengan kedua pipinya yang memerah.

"Mukamu merah sekali. Apa yang sedari tadi kamu pikirkan saat memperhatikanku berlama lama?" tanya Jeara dengan menyipitkan matanya.

Suga melambaikan tangannya di depan dada.
"Tidak, aku tidak berpikiran buruk sama sekali. Maafkan aku." ujar Suga dengan sedikit salah tingkah dan malu.

"Suga, boleh aku tanya lagi denganmu?"

"Ya?"

"Apa aku terlalu sok akrab denganmu? Apa kamu nyaman ketika bersamaku? Dan... apa aku sudah memaksamu untuk tetap tinggal di sini?"

"Pertanyaanmu banyak sekali. Tapi aku akan jawab semua." Suga memperbaiki duduknya dengan lebih nyaman. Jeara pun mengikutinya.

Langit senja sudah terganti sepenuhnya dengan langit malam. Namun tidak serta merta membuat mereka dalam kegelapan. Suga sudah menyalakan lampu kecil sehingga cahayanya tidak membuat mereka silau.

"Aku sama sekali tidak merasa kau sok akrab denganku. Aku justru senang dengan sifatmu yang seperti itu. Aku merasa seperti diterima dengan baik. Apalagi dengan kekuranganku ini. Kamu bahkan tak pernah meremehkanku. Tentu saja aku sangat nyaman berada di dekatmu. Asal kamu tahu Jeara, kamu adalah teman pertama yang menyambutku dengan hangat." Jeara membulatkan matanya mendengar itu. Ia seperti tidak percaya dengan apa yang dikatakan Suga barusan. Baginya, bagaimana mungkin laki-laki sekeren Suga tidak pernah memiliki teman sepanjang hidupnya. Ia pasti hanya sekedar menyanjungnya saja.

"Aku serius. Aku tak berbohong padamu. Aku bahkan sangat mengindari oleh yang namanya kebohongan. Seperti yang kau tahu dan lihat saat ini, aku tak bisa bicara dan juga tuli. Tidak sedikit orang-orang di luar sana yang meremehkan dan mempermainkanku. Mereka yang mendekatiku hanya menjadikanku sebagai bahan lelucon. Aku tahu dan sadar dengan hal itu. Itulah sebabnya aku tidak pernah betah bersekolah formal. Dan akhirnya aku kembali ke sekolah khusus untuk orang sepertiku. Namun hal itu tidak berjalan mulus sebagai mana mestinya karena aku merasa, mereka seperti memiliki dunianya masing-masing. Aku tidak nyaman dan lebih memilih sekolah di rumah saja. Ah, apa jawabanku melenceng dari pertanyaanmu?" kata suga seperti menyadari akan kesalahan.

"Tidak apa-apa. Aku jadi lebih banyak tahu tentangmu."

"Maafkan aku. Saking nyamannya aku bersamamu, aku sampai tidak sadar sudah menceritakan lebih jauh tentang diriku."

"Kamu menyesalinya?"

"Tentu saja tidak. Aku lega karena kamu yang mendengarkannya."

Suga terkesiap dengan kata yang diisyaratkannya sendiri.

"Tidak apa-apa Suga. Tidak apa-apa."

Its OK to Not be Okay [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang