Bag. 27

6 2 0
                                    

Jeara menggeleng dengan lemah. Ia masih tak merasa yakin untuk menceritakan semua hal yang dialaminya itu pada temannya. Bahkan, pada Suga sekalipun. Sebisa mungkin, ia ingin menyelesaikan semuanya sendirian lebih dulu. Ia tak mau merepotkan lebih banyak orang lain lagi. Cukup yang kemarin itu saja. Tidak untuk yang berikutnya. Ia tidak mau membuat dirinya begitu bergantung pada bantuan orang lain.

"Aku yakin orang yang mengirimkan uang itu sebenarnya tidak jauh-jauh dari orang-orang yang ada di sekitarmu, Jeara." ucap Raka setelah berpikir beberapa saat.

"Bagaimana kalau misalnya yang ngirim itu sebenarnya si bekas guru baru itu? Dia kan psikopat. Selalu merasa benar dengan apapun yang dia lakukan. Bisa aja kan?" ujar Yusuf beropini.

"Sinting banget sih emang kalau misal dugaanmu itu benar, Suf." sahut Venus.

"Tapi, menurutku itu kayaknya nggak mungkin juga, deh. Soalnya aku pernah sempat curiga juga waktu itu sama dia. Tapi nggak nemuin celah sama sekali buat mastiin kalau itu beneran dari dia." kata Jeara setelah mendengarkan ucapan teman-temannya.

"Emangnya kamu pernah ngapain aja sampai bisa seyakin itu, Je?" tanya Venus.

"Aku kan sempat dibawa paksa ke rumahnya waktu itu. Terus dia ceritain semua---"

"Tunggu, sebenarnya dia siapanya kamu sih Je sampai bisa selaknat itu nyelakain om Rion?" potong Yusuf yang diangguki Raka dan Venus. Mereka memang belum tahu sama sekali dengan apa hubungan Javin dan Jeara sebenarnya.

"Waktu pertama kali ketemu sama dia, dia ngakunya adik dari ibuku. Terus dia nyinggung-nyinggung kenapa aku mau dekat sama Suga persis seperti apa yang dilakukan ibuku dahulu, katanya. Terus juga ia nyinggung bakal buat hidupku jadi sama menderitanya seperti apa yang pernah dia rasakan sebelumnya. Selain itu, dia nggak nyinggung apa-apa lagi selain kenapa ayahku yang dikurung selama ini di rumahnya selama bertahun-tahun." jelas Jeara.

"Orang itu benar-benar sudah nggak waras. Bisa-bisanya sekolah kita sempat memperkerjakan dia ngajar di sekolah ini." ucap Raka geram.

"Untung semuanya cepat selesai." tambah Yusuf.

"Berkat Suga kan yang nolongin kamu. Uh, harusnya kita yang jadi penolongmu yang pertama. Walau begitu, tetap aja sih, Suga lebih cepat tanggap menyelesaikan semua itu. Kalau kita-kita mungkin bakal dilanda kebingungan dulu sebelum ambil tindakan." kata Venus setengah sebal.

"Jadi, kamu sudah tahu dong ibu kamu ada di mana sekarang, Je?" tanya Yusuf yang membuat suasana berubah menjadi agak menegangkan. Jeara tak langsung menjawab pun bereaksi. Ia masih memikirkan semua itu. Tak lama berselang, bel istirahat berakhir pun berbunyi.

_____________

Di batu lepas pantai tempat biasa Suga dan Jeara bertemu. Sekarang tak terasa sudah kembali sore. Hari ini, Suga sengaja membiarkan Jeara lebih banyak bicara dengan teman-temannya. Karena ia tidak mau terkesan seperti merebut Jeara dari mereka. Bagaimana pun juga, Suga masih orang baru yang muncul dalam kehidupan mereka.

"Tadi di sekolah, sepertinya kamu banyak disuguhi pertanyaan ya sama teman-teman kamu?" tanya Suga sambil mengunyah roti yang habis di belinya dengan Jeara.

"Iya, mereka menanyakan semuanya. Salahku juga sih, tidak menjadikan mereka sebagai tempatku untuk berbagi yang pertama. Padahal, harusnya apa-apa mereka yang mestinya lebih cepat tahu. Aku yang salah." sahut Jeara dengan wajah penuh kecewa.

"Aku terluka mendengar ucapanmu barusan. kau seperti terdengar seolah menyesal menceritakan semuanya kepadaku." ucap Suga dengan murung.

"Uh, maafkan aku Suga. Aku tidak bermaksud seperti itu. Jujur saja aku bingung sekarang. Satu sisi aku tak mau mengecewakan salah satu dari kalian dengan tidak berbagi. Tapi, satu sisi lainnya aku tak mau merepotkan kalian dengan cara memasukan kalian ke dalam masalahku. Maaf, gara-gara aku terus memikirkan hal itu, aku sampai melupakan perasaanmu ketika aku melontarkan kalimat seperti tadi. Aku sama sekali tidak berniat melukaimu perasaanmu Suga. Sungguh." kata Jeara dengan memelas.

"Ya sudah tidak apa-apa. Itu hakmu Jeara. Tapi, kamu harus tahu. Aku dan ketiga temanmu itu akan selalu siap membantumu. Kamu harus selalu ingat ini, bahwa kamu itu nggak sendirian Jeara. Ada kami."

Jeara tak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya menatap lurus pada lautan lepas yang ada di depannya saat ini. Isi kepalanya dipenuhi dengan berbagai segala kemungkinan yang akan terjadi pada hari berikutnya nanti. Sedang Suga, ia masih menunggu dengan kapan Jeara akan menceritakan perihal mengenai ibunya itu. Walau begitu, ia pun sadar bahwa sebaiknya yang lebih tahu adalah tentunya ketiga teman Jeara, bukan malah dirinya. Suga pun turut bingung dengan apa yang semestinya dilakukan. Akhirnya, ia pun sama turut larut dalam lamunannya sendiri.

____________

Besok paginya.

"Hai, Sayang!" wanita paruh baya dengan paras yang masih sangat awet muda serta dandanannya yang terkesan glamour, memanggil Jeara sambil melambaikan tangannya.

Suga yang melihat itupun menoleh pada Jeara. Tubuhnya menegang mendapati ibunya yang datang ke sekolahnya. Suga lalu menyentuh tangan Jeara guna memberikan kekuatan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Venus, Raka, dan Yusuf sedang tidak ada. Entah mereka belum datang atau mereka sudah ada di kelas duluan. Beberapa hari belakangan ini mereka memang tidak selalu terus berangkat bersamaan. Karena kadang diantara ketiganya ada yang bangunnya agak kesiangan.

"Ayo, kita ke kelas." kata Suga sambil menarik tangan Jeara agar mengikutinya.

"Jeara, tunggu! Kamu kok tega sih ninggalin mama gitu aja." kata Janara dengan berjalan cepat mengampiri Jeara.

"Minggir, saya tidak mau ketemu kamu, apalagi melihatmu di depan mata saya. Jangan pernah tunjukin diri kamu lagi di hadapan saya."

Plaakk!!

Suga sama terkejutnya dengan Jeara yang tidak menyangka bahwa pipinya akan ditampar seperti itu oleh Janara. Beberapa murid-murid lain yang baru datang turut melihat hal itu. Mereka juga tak kalah kaget dengan kejadian tak terduga itu. Jadilah, mereka mengarahkan ponsel mereka pada Jeara, Suga, dan Janara.

"Ceh, sialan anak-anaak zaman sekarang. Awas saja Jeara, mama nggak akan nyerah buat bawa kamu pergi dari sekolah sampah ini." ucap Janara penuh emosi dan beranjak menuju mobilnya.

Suga menepuk pelan pundak Jeara. Kemudian ia menarik perlahan agar Jeara berjalan cepat menuju kelas. Sementara anak-anak lain sudah mulai berbisik mengenai apa yang baru saja mereka saksikan.

Belum sampai langkah keduanya tiba di depan kelas, dari lorong terdengar derapan langkah kaki yang dibawa berlari menuju kearah mereka.

Tampak Venus diikuti Raka dan Yusuf tengah berlari.

"Jearaaaaa!!" serunya sesaat tiba di hadapan Jeara, Venus langsung memeluk Jeara dengan eratnya.

"Kamu nggak apa-apa, Jea? Astaga, pipi kamu merah banget. Sampai ada luka baret gini. Sini aku obatin ke UKS ya." celoteh Venus dengan memeriksa seluruh tubuh Jeara.

Bro, tadi beneran Jeara ditampar sama ibunya di gerbang sekolah?

Itu adalah tanya yang diketik Raka melalui ponselnya

Suga mengangguk membenarkan.

Kenapa?

Jeara nggak mau ikut dia pergi.

"Gila. Ibunya Jeara datang-datang nggak tahu malu ya."

"Ustt!"

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now