Bag. 22

8 3 0
                                    

"Pak Javin membawaku paksa ke rumahnya tadi malam." ujar Jeara akhirnya.

"Ha!? Untuk apa ia melakukan hal itu!? Bukannya itu sudah termasuk tindakan menculikmu!" seru Suga dengan sorot matanya yang seperti murka.

Jeara mengembuskan napasnya dengan kasar.

"Dia juga selama ini mengurung ayahku, Ga."

______________________

Kemarin.

"Apa mau Anda sebenarnya?" tanya Jeara.

"Tinggalah dengan saya. Saya akan jamin seluruh kebutuhan hidupmu terpenuhi. Termasuk biaya sekolahmu." kata Javin dengan tersenyum.

"Nggak. Saya nggak mau melakukannya." ujar Jeara dengan menggeleng kuat.

"Oke." Javin kembali melakukan sesuatu pada ponselnya. "Hajar dia sampai mampus." katanya yang langsung membuat Jeara berteriak 'jangan' hingga membuat orang-orang yang duduk di sekitarnya menoleh ke arah mereka.

"Kalau sampai orang lain tahu perihal ini. Ayahmu bukan hanya sungguhan mati. Tapi, akan kupotong-potong sampai kebagian terkecil. Bagaimana?" ujar Javin lagi dengan suara lebih rendah dari pada sebelumnya.

"Apa yang sebenarnya Anda inginkan dari saya?" tanya Jeara lagi.

"Ceh, asal kamu tahu ya, tidak ada satu pun hal dari dirimu yang membuatku ingin memilikinya. Jadi, mauku hanyalah kamu merasakan apa yang selama ini saya rasakan. Itu saja." ujar Javin dengan tenang, seolah apa yang dikatakannya hanyalah omongan biasa.

"Sampai kapanpun saya tidak akan pernah mau tinggal sama orang sakit jiwa seperti Anda. Dari awal saya sudah mengira, bahwa keberadaan Anda adalah pertanda yang buruk." umpat Jeara.

"Silahkan berkata seperti apapun. Yang pasti, aku tak akan membiarkan hidupmu tenang setelah ini, Jeara." ujar Javin dengan terkekeh.

"Sinting!" Jeara berdiri dengan mengumpat tepat di wajah Javin. Sepintas ia hanya akan terlihat seperti wanita yang marah pada pasangannya.

Jeara pergi ke dalam toilet dengan perasaan penuh kekalutan. Ia sepenuhnya sadar dengan apa yang dilakukannya barusan. Itu bisa saja membuat nyawa ayahnya terancam. Bisa saja setelah ia pergi, Javin kembali memerintahkan orang-orang suruhannya untuk memukuli ayahnya lagi.

Tidak, hal itu jangan sampai terjadi. Jeara sudah sangat merindukan kepulangan ayahnya selama ini. Ia harus memikirkan cara bagaimana bisa melepaskan ayahnya dari sana. Ia ingin sekali melaporkan semua hal itu pada polisi, namun mengingat bagaimana ancaman Javin terhadapnya membuat Jeara kembali berpikir. Ia tak mau benar-benar kehilangan ayahnya setelah bertahun-tahun merasa kehilangan.

Selama ini Jeara sangat yakin bahwa ayahnya itu masih hidup. Dan ternyata memang benar adanya. Namun, ia tak pernah menyangka dengan apa yang terjadi dihadapannya saat ini. Seseorang yang tak pernah ia duga tiba-tiba datang dan memasuki kehidupannya. Jeara sampai tak habis pikir dengan apa tujuan sebenarnya dari orang itu. Ia tak menginginkan apa-apa dari apa yang dimiliki Jeara selain membuat Jeara juga merasakan apa yang ia rasakan selama ini.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada Javin? Entah, Jeara pun tak berniat ingin tahu.

Pukul sepuluh malam ketika Jeara berjalan di undakan tangga menuju rumahnya, ia tiba-tiba dibawa paksa oleh seseorang untuk masuk ke dalam mobil. Kepalanya dibungkus dengan sesuatu yang dapat menghalangi pandangannya. Mulutnya dibungkam agar orang lain tak mendengar suara jeritannya.

Satu jam kemudian, Jeara merasa seperti ia di dudukan pada sebuah sofa yang empuk. Tangan dan kakinya masih diikat dengan kuat, kemudian dengan perlahan tudung yang menutupi kepalanya dibuka.

Jeara membelakakan matanya saat melihat siapa orang yang ada di hadapannya saat itu.

Ia adalah Javin. Kalau saja Jeara tidak melihat adanya bekas luka samar yang ada di dagunya itu, Jeara mungkin sulit mengenalinya. Penampilan Javin saat ini sangat berbanding terbalik dengan yang ia temui tadi sore. Javin terlihat kacau dan berantakan. Rambutnya acak-acakan. Bajunya kumal dan ada bekas noda darah.

Jeara tak bisa bicara lantaran mulutnya masih disumpal.

Javin melangkah mengampirinya dengan ekspresi wajah yang lebih mirip seperti menyeringai.

Tak berapa lama berselang, beberapa orang datang dengan menyeret satu orang yang tak lain adalah Jerion.

"Aaafffaahhh!!!" teriak Jeara.

Kemudian, sumpalan di mulut Jeara pun dilepaskan. Ikatannya juga. Sementara Jerion dengan merangkak mengampiri Jeara. Wajahnya dipenuhi oleh luka lebam. Ada bekas ikatan yang seperti sudah lama sekali dibiarkan di pergelangan tangan dan kakinya, membuatnya terlihat seperti ada bekas luka sayatan.

Berikutnya, Javin sengaja meninggalkan keduanya dalam ruangan yang hanya disinari satu lampu itu untuk saling melepas rindu.

Setelah satu jam membiarkan Jeara bersama dengan ayahnya, barulah Javin kembali masuk dan memasangkan tali pengikat pada keduanya. Jeara sempat berontak, namun sedetik kemudian Javin memukul perutnya sampai Jeara mengeluarkan darah dari mulutnya. Jerion memekik lantaran tak tega melihat anaknya disakiti seperti itu di hadapannya sendiri. Dan kemudian, Jerion pun mendapatkan pukulan yang serupa.

"Jeara, Jerion, dan Janara. Cih, bahkan nama kalian bertiga saja sudah seperti sengaja dibuat sama." kata Javin sambil dengan memberikan tatapan yang sulit dimengerti. Ia tersenyum seperti menyimpan sesuatu.

"Anda sendiri juga memiliki awalan nama yang sama seperti kami." sela Jeara di tengah rasa sakitnya dengan menatap remeh.

"Ya, benar. Maka dari itu saya membenci kalian." ujarnya lagi yang membuat Jeara semakin bertambah heran.

Jerion menatap Jeara dengan menggeleng keras bermaksud agar Jeara tak berusaha membantah perkataan Javin. Ia tak mau Jeara sampai dibuat sakit lagi.

"Woah, manusia cacat ini sudah mulai memiliki keinginan hidup lagi ternyata. Baguslah. Setidaknya, aku akan punya banyak hal untuk dijadikan sebagai tontonan. Tapi, sebaiknya kalian istirahat saja malam ini. Sudah malam. Dan kau, Jeara, bersekolahlah besok seperti biasanya. Bersikaplah seperti dirimu yang biasanya. Dan, jangan beritahukan hal ini pada siapapun. Tapi tidak apa-apa jika kamu tetap mau menceritakannya. Toh, itu akan semakin menambah bahan tontonanku berikutnya. Oke, semalam tidur." kata Javin dengan tersenyum riang meninggalkan tempat itu.

Tak lama kemudian, anak buah Javin datang dengan membawakan alas tidur beserta bantal dan selimut. Mereka juga meletakan beberapa obat luka. Setelah itu, mereka kembali keluar dan berjaga di depan pintu.

Jeara ingin sekali protes, tapi suaranya tak cukup kuat untuk keluar lagi lantaran rasa sakit yang sudah menjalar di sekitar kerongkongannya. Ia lalu bergerak perlahan mengampiri ayahnya untuk melepaskan ikatan sang ayah.

Malam itu, Jeara tidak bisa untuk benar-benar tidur dengan tenang. Ia ingin sekali bisa keluar dari tempat itu.

________________

Jeara selesai menceritakan apa yang dialaminya pada Suga. Ia tak mau sok terlalu menyimpan rahasia seperti apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang dalam cerita di televisi, menyimpan hanya akan membuat keadaan semakin sulit nantinya. Makanya, tanpa mengurangi atau melebih-lebihkan apa yang sudah ia lewati bersama ayahnya tadi malam, Jeara menceritakan seluruh kejadian itu pada Suga yang terus menyimaknya sedari tadi. Entah kenapa, Jeara lebih merasa nyaman saja ketika membicarakan semua hal itu pada Suga, ---yang padahal tak diperbolehkan untuk diceritakan.

Suga terlihat murka namun tak bicara apapun mengenai hal yang dikisahkan Jeara. Ia lantas mengambil ponselnya dan mengetikan sesuatu di sana dengan cukup lama. Jeara hanya dibuat mengela napas berat sembari mulai berjalan lebih dulu untuk menuju kelas kembali. Setidaknya, ia merasa sedikit lebih lega karena sudah berbagi dengan Suga.

Beberapa langkah berjalan, Suga menyusul dengan berhenti di depan Jeara.

Ia pun menyentuh kedua pundak Jeara. Ia menatap Jeara begitu lama dengan mengangguk seperti meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja. Jeara yang menyadari dengan sinyal itu hanya bisa tersenyum tipis. Kemudian mereka pun beranjak ke kelas dengan tangan saling bergandengan. Entah siapa yang memulai.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now