Bag. 20

9 2 0
                                    

"Jika kamu tidak suka dengannya. Abaikan saja. Kalau kamu juga tidak mau ikut dengannya, maka tolak saja." kata Suga dengan sebelah tangannya.

Jeara menghela napasnya. Ia mengangguk membenarkan perkataan Suga. Sebenarnya, bukan hal itu yang benar-benar menjadi poin utama kekesalannya. Melainkan hal yang ia katakan mengenai ayahnya

Beberapa jam yang lalu, di ruang guru.

"Ayahmu masih hidup. Tidakkah kamu rindu dengannya, Jeara?" tanya Javin yang membuat Jeara menoleh kearahnya sepenuhnya.

"Ayah saya sudah tidak ada. Jangan menyangkut pautkan hal ini dengan orang yang sudah tak lagi ada. Tadinya saya pikir Anda adalah orang yang baik. Berbeda dengan ibu saya. Tapi ternyata saya salah, Anda tak jauh berbeda dengannya. Anda hanya memiliki kesan baik diawal." kata Jeara dengan menatap kesal pada Javin.

"Saya tidak mengada-ngada. Ayahmu memang berada di tempat saya. Lihat ini kalau kamu tidak percaya." ujarnya dengan menyodorkan video cctv dari basemant di rumahnya.

"A-ayah!?" seru Jeara yang langsung membuat perasaannya merasa senang sekaligus sedih. "Apa yang Anda lakukan pada Ayah saya!?" tanyanya lagi dengan setengah berteriak.

"Pelankan suaramu atau kamu akan benar-benar kehilangan ayahmu." kata Javin dengan tenang.

"Hiks, apa sebenarnya mau Anda? Kenapa Anda melakukan semua ini kepada saya?" tanya Jeara yang sudah tak dapat menahan tangisnya.

"Kenapa? Apa ada jawaban untuk alasan rasa senang yang kita miliki saat melakukan sesuatu?" ujarnya membingungkan.

"Lepaskan ayah saya sekarang atau Anda akan saya laporkan ke polisi." ancam Jeara.

"Silahkan laporkan pada polisi. Namun, saya bisa pastikan ketika polisi menemukan ayahmu. Mereka hanya akan menemukan jasadnya saja. Bagaimana?"

Tak lama kemudian beberapa guru kembali masuk.

"Datanglah nanti sore ke kafe dimana kita kali pertama bertemu. Kita obrolkan lagi nanti." ujar Javin sambil berlalu pergi keluar begitu saja meninggalkan Jeara yang masih mematung.

"Kamu? Kenapa kamu menangis, Nak?" tanya salah satu guru yang menyadari raut wajah Jeara.

"Ah, nggak apa-apa, Bu. Saya permisi dulu." ujarnya yang langsung berpamitan pada guru yang tadi merasa keheranan melihat wajahnya.

______________

"Omong-omong, itu rangkaian bunga buatanmu, Ga?" tanya Jeara begitu mereka sudah kembali ke kelas. Suga mengangguk dengan tersenyum.

"Suga memang keren. Kapan-kapan buatkan di rumahku juga, ya."

"Oke. Asal ada bayarannya saja." kata Suga dengan bercanda.

"Deket banget. Udah kayak orang pacaran aja." tegur Venus yang entah datang dari mana.

"Apaan sih. Kalian darimana saja?" tanya Jeara saat Raka dan Yusuf yang juga baru masuk kelas.

"Biasa, setoran dulu." sahut Raka.

"Barengan? Bertiga?"

"Kenapa? Salah?" celetuk Yusuf.

"Kompak banget." kata Jeara sambil tertawa.

"Omong-omong, kalian sendiri juga dari mana, nih? Sampai nggak lepas gitu gandengannya." kata Venus yang membuat tangan Suga dan Jeara sontak melepas pegangan mereka yang tidak disadari kapan bertautnya. Jeara malu sekali rasanya. Ia baru merasa kalau tangannya sedari tadi gandengan sama Suga. Entah sejak kapan Jeara tidak ingat sama sekali. Mukanya juga sudah memerah seperti kepiting rebus. Begitu juga dengan Suga.

Kalau saja saat itu bel tidak berbunyi disertai dengan guru yang sudah stand by di depan pintu, Venus dan kawan-kawan akan terus menggoda Jeara sama Suga. Dalam hati Jeara dan Suga bersyukur akan kehadiran guru yang menjadi penyelamat mereka berdua itu.

______________________

Hari ini Suga sengaja untuk tidak mengajak Jeara mampir kesana sini seperti hari sebelumnya. Ia tidak mau mengambil terlalu sering waktu Jeara hanya untuk bermain mengabiskan waktu bersamanya. Jadinya, setelah mengantar Jeara sampai di undakan tangga menuju rumahnya, Suga langsung pergi pulang.

Jeara mengempaskan tubuhnya ke ranjang begitu tiba di dalam kamarnya. Entah kenapa ia merasa tubuhnya hari ini terasa sangat begitu lelah. Padahal di sekolah ia tak melakukan apapun. Pula, beberapa hari belakangan ini ia jadi sering libur cari nafkah sebagai badut hanya untuk menemani Suga main.

Sesaat ingatannya kembali pada rekaman yang ada di ponsel Javin. Ia juga ingat dengan permintaan Javin yang memintanya untuk bertemu dengannya di kafe dekat pantai seperti waktu itu. Jeara kembali mengela napasnya yang berat lantas beranjak pergi ke kamar mandi.

Begitu selesai mandi. Ia menyempatkan diri untuk mengerjakan beberapa tugas sekolahnya terlebih dulu. Satu jam kemudian, barulah ia selesai. Ia lalu beranjak ke dapur dengan makan seadanya. Setelah itu memasang kostumnya. Tidak seperti hari biasanya, ia menjadi badut saat hari libur. Tapi, kali ini, karena ia mesti bertemu dengan orang yang entah kenapa ia benci begitu tahu tujuannya mendekati dirinya, ia jadi kepikiran untuk sambil mengenakan kostumnya.

Jeara menggunakan kostumnya hanya untuk melindungi wajahnya dari kemungkinan yang terjadi. Semacam dibuat menangis lebih dari ketika berada di sekolah tadi. Melihat dari tatapan Javin pada saat itu, hal itu mungkin saja terjadi.

Begitu siap, Jeara pun keluar dengan adegannya yang seperti biasanya. Kali ini tidak membawa serta gambarannya karena tidak memiliki stok lantaran diborong semua oleh Javin waktu itu.

Jeara mendapatkan hasil yang lumayan saat dalam perjalanannya menuju kafe. Perjalanan yang harusnya memakan waktu 15 menit dari rumahnya, menjadi satu jam lebih lantaran ia yang harus melakukan permintaan orang-orang. Jeara sengaja membuat Javin menunggu.

"Minumlah. Aku sudah membelikan minuman kesukaanmu untukmu." kata Javin begitu Jeara selesai berganti kostumnya di toilet.

Jeara tak langsung meminumnya yang lantas memasang wajah curiga pada Javin.

"Saya tidak mungkin melakukan hal buruk padamu. Lihatlah, ada banyak sekali orang di sini. Lagipula, ada cctv yang tepat mengarah pada meja ini. Bagaimana bisa aku melakukan perbuatan semurahan itu." katanya dengan meminum minumannya sendiri.

Jeara pun lantas meminum jusnya sampai habis tak bersisa. Javin kemudian meminta pelayan untuk mengambilkannya lagi.

"Pertama-tama, apa yang ingin kamu tahu terlebih dahulu? Ayahmu? Atau ibumu?" tanyanya begitu pelayan meletakkan jus pesanannya dengan cepat.

"Sebenarnya, mau Anda itu apa, sih? Kenapa tiba-tiba muncul seperti ini setelah saya sudah bisa menerima apa yang terjadi pada hidup saya?"

"Jujur saja saya tersentuh dengan kisah yang kamu jalani selama ini, Jeara. Namun, akan kurang lengkap rasanya jika perasaan yang kamu tanggung selama ini hanya berpusat pada rasa senang dan sedih saja." kata Javin sambil menyilangkan kakinya. Ia berbicara seperti itu dengan santainya.

"Apa maksud Anda sebenarnya?" desak Jeara yang mulai tak dapat mengontrol kesabarannya.

"Sederhana, saya ingin kamu merasakan apa yang selama ini saya rasakan." kata Javin.

"Merasakan apa? Memangnya apa yang Anda rasakan? Lagipula apa hubungannya dengan saya pada apa yang Anda rasakan. Anda jangan memperumit keadaan, dong. Saya bisa laporkan perbuatan Anda itu sekarang!" kata Jeara dengan emosi.

Javin tak langsung menjawab, ia justru memperlihatkan video Jerion yang saat ini sedang dipukuli oleh orang suruhannya Javin.

Jeara terhentak begitu saja saat melihat video itu.

"Hentikan! Kalian bisa tinggalkan dia sekarang. Jangan lupa untuk obati lukanya dan beri ia makan." kata Javin pada ponselnya.

"Kamu mau tahu apa yang saya rasakan, Jeara?" tanya Javin dengan sorot mata yang sulit diartikan oleh Jeara. Yang jelas, dari mata itu tersimpan kebencian sekaligus kesedihan secara bersamaan. Jeara tak tahu dan tidak mau tahu.

Jeara hanya menggeleng serta tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang. Jika melapor akan membuat ayahnya semakin terluka, maka menerima permintaan pria dihadapannya ini pun tidak menjamin ia akan baik-baik saja.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now