Bag. 40

6 2 0
                                    

"Hm? Sejak kapan senja ada kupu-kupunya?" celetuk Suga yang tiba-tiba sudah berdiri di belakang tubuh Jeara. Di tangannya sudah membawa satu bungkus sate dengan rasa bumbu kesukaan Jeara.

Saking fokusnya Jeara menggambar, ia bahkan sampai tidak sadar dengan bau sate yang menguar di sekitarnya itu. Jeara mengerjabkan matanya begitu sadar dengan banyaknya kupu-kupu yang ia gambar tanpa ia sadari. Namun, secepat kilat ia langsung mencari-cari alasannya.

"Ini namanya seni. Belum pernahkan lihat ada kupu-kupu di langit senja?" sahut Jeara sesaat menemukan alasannya.

Suga hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja sambil tersenyum simpul.

"Nih, satenya. Makan dulu." ucap Suga seraya menyodorkan bungkus sate ke hadapan Jeara.

Saat tangan Jeara menyambutnya, tak sengaja tangannya pun turut menyentuh tangan Suga. Sesaat ada sensasi aneh yang Suga rasakan ketika tangan Jeara menyentuh tangannya. Rasanya lebih dari seperti biasanya.

Kalau sebelumnya Suga merasa senang setiap kali Jeara menggandeng tangannya, kali ini Suga merasa lebih dari senang. Entahlah, rasanya ia bisa betah untuk berlama-lama memegang tangan Jeara.

"Makasih." kata Jeara yang membuat kebengongan Suga teralihkan.

"Ayah kamu gimana sekarang?" tanya Suga memecah keheningan yang canggung.

"Nggak gimana-gimana. Masih di rumah aja buat pemulihan." jawab Jeara sambil memakan satenya.

"Syukurlah. Sewaktu aku nggak ada, ibu kamu masih gangguin, nggak?" tanya Suga lagi.

"Ada. Cuma sekali doang tapi, pas yang dia robohin rumah kayak digusur itu. Habis itu sempat ngancem juga, tapi nggak tahu lagi gimana sekarang." kata Jeara "Lagian gimana mau gangguin lagi, orang suruhan kamu badannya pada gede-gede banget. Beda jauh sama badan-badannya bawahan wanita itu. Udah gitu munculnya bisa tiba-tiba pula. Aku jadi merasa kalau setiap apapun yang aku lakuin pada setiap harinya bakal ada orang yang akan terus memperhatikanku." kata Jeara dengan menyipitkan matanya.

"Kamu tak perlu khawatir jika tugas mereka terkesan seperti penguntit. Mereka nggak akan bisa macam-macam sama kamu. Karena mereka sudah melakukan perjanjian sama papa. Melindungi tanpa harus ikut campur mengenai urusan di dalamnya. Dalam hal itu yakni memantau layaknya stalker." jelas Suga begitu tahu akan nada bicara Jeara yang merasa ragu dengan beberapa orang suruhannya Suga selama ini.

"Maaf ya sudah sempat berpikir buruk mengenai orang-orangmu. Aku tidak bermaksud menyingung sama sekali sebenarnya. Hanya saja kadang aku merasa ngeri juga kalau ngerasa sendirian padahal enggak." kata Jeara dengan wajah merasa bersalah sekaligus takut yang tidak kentara.

"Tak apa, Jeara. Aku mengerti dengan maksudmu. Aku akan coba obrolin hal itu lagi nanti sama mereka. Nah, sekarang cepat habiskan satenya sebelum hari gelap."

"lah? Emang kenapa kalau gelap? Biasanya juga kita di sini sampai matahari benar-benar hilang ditelan laut." ucap Jeara dengan menatap lurus ke wajah Suga. Sesaat ia jadi teringat dengan ucapan Venus mengenai Suga yang semakin terlihat tampan dengan gaya rambutnya yang berbeda seperti sekarang.

"Makan sate saat gelap, bisa buat satenya jadi mentah lagi lho." kata Suga dengan wajah sok horor.

"Ceh, mana ada hal yang kayak gitu, Suga. Kamu kira aku anak kecil apa yang bisa kamu kadalin begitu." kata Jeara dengan menggigit kembali satenya dengan lahap.

"Yah, nggak mempan ternyata." ucap Suga dengan raut wajah kecewa.

"Kamu selepas bisa bicara ternyata bawel juga ya. Udah gitu receh banget lagi." komentar Jeara.

"Aku bawel karena aku bicaranya denganmu." sahut Suga dengan santainya.

"Mana ada. Tadi di sekolah kamu juga banyak ngomong sama anak-anak sekelas. Pakai mau-mauan absenin segala lagi." cibir Jeara.

"Itu kan--- ahh, jadi kamu mau aku bawelnya cuma sama kamu doang, ya. Oke." ucap Suga dengan tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Terserah kamu aja deh, Ga. Omong-omong, udah habis nih. Balik yuk!" ajak Jeara dengan berdiri.

"Kayaknya aku udah lama deh nggak lihat kamu pakai baju badut lagi. Perasaan semenjak aku sering ajakin kamu main sama aku kamunya jadi sama aku terus. Jangan-jangan aku udah jadi penghalang ya buat aktivitas kamu yang itu, Je?" ucap Suga saat tak sengaja lihat ada badut yang lagi joget tak jauh dari lokasi mereka berada.

"Emang udah nggak lagi aja." sahut Jeara santai dengan ikut melihat sesaat pada apa yang Suga lihat.

"Kenapa?" tanya Suga dengan memindahkan pandangannya ke wajah Jeara.

"Bajunya udah nggak layak lagi. Lagian itu bukan pekerjaan wajib untuk aku. Pula, sering main sama kamu tidak serta merta buat aku juga berhenti dari menggambar. Buktinya setiap hari aku selalu punya stok gambaran setiap pulang main sama kamu." kata Jeara dengan mengangkat kertas gambarnya sambil menyengir.

"Apa ayah kamu sudah tahu soal ini, Je?" tanya Suga yang membuat wajah Jeara mendadak murung. Suga jadi merasa tidak enak sudah bertanya hal yang cukup sensitif itu untuk Jeara.

"Aku bingung, Ga." kata Jeara dengan beralih menatap langit yang masih tersisa sedikit terang di kejauhan. Mereka kini tidak bergelap-gelapan sepenuhnya. Masih ada lampu jalan yang benar-benar menerangi sekitar pesisir pantai.

"Bingung kenapa?" tanya Suga kemudian. Ia tidak bisa menahan dirinya.

"Aku bingung sekaligus takut, Ga." kata Jeara dengan menjeda ucapannya. Suga masih setia mendengarkan lanjutan ucapannya itu. Jeara lalu mengembuskan napasnya dengan berat. " aku takut kalau misal ayah tahu aku masih menggambar, dia akan marah samaku seperti waktu itu. Apalagi, waktu aku lihat gimana wajah ayah pas lihat wanita itu yang datang tiba-tiba ke rumah sakit waktu itu. Aku lihat jelas gimana ayah berusaha kuat buat nahan dirinya agar nggak emosi. Mungkin, kalau kali ini dia lihat aku yang nggak hanya menggambar di kertas melainkan kanvas juga, ayah pasti bisa marah besar. Makanya, sampai saat ini, aku masih belum bisa izinin ayah buat ikut masuk ke kamarku dan melihat semuanya." kata Jeara dengan mengepalkan kedua tangannya.

Suga menyentuh pundak Jeara dan mengusapnya pelan.

"Aku rasa ayah kamu nggak bakalan semarah itu kalau tahu kamu bisa bertahan hidup tanpanya selama ini dengan karyamu itu, Jeara." ucap Suga pelan dengan suaranya yang terdengar menenangkan di telinga Jeara.

Jeara sempat menggeleng sesaat. "Aku sangat kenal ayahku, Ga. Ayah adalah orang yang nggak bisa dibantah ketika dia mengeluarkan larangan untukku." sahut Jeara dengan wajah lesu.

"Semua orang pasti berubah, Jeara. Ayah yang sangat kamu kenali itu adalah ayahmu versi dulu, sedang saat ini, kamu masih belum begitu tahu dia kan gimana selama ini kenyataan sudah merubah dirinya? Merubah pandangannya juga merubah segala pikirannya. Ayahmu tidak seperti dulu lagi, Jeara. Dia pasti bisa terima hobimu. Percayalah." kata Suga dengan tatapannya yang penuh keyakinan pada Jeara.

"Betul itu, Nak. Ayah nggak akan larang kamu buat menggambar atau melukis lagi." tiba-tiba Jerion sudah berdiri di belakang mereka.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now