Bag. 38

6 2 0
                                    

Beberapa bulan berlalu hingga masa liburan pun datang. Sepanjang waktu yang berjalan seperti sangat lambat bagi Jeara yang masih menunggu kepulangan ayah dan temannya itu. Meski dalam beberapa hari lagi mereka akan segera pulang, Jeara tetap merasa bahwa hari itu terlalu lama berjalan. Walau Jeara sempat melihat dengan bagaimana kondisi ayahnya yang sekarang dengan melalui sambungan telepon video, Jeara merasa masih ada yang kurang. Sebab, Suga sama sekali tidak menghubunginya setelah seminggu selesai operasi. Padahal, waktu ia operasi bersamaan waktunya dengan Jerion.

Ayahnya pun ketika ditanya dengan bagaimana kondisi Suga, hanya tersenyum saja menjawab sambil berkata, "Kamu lihat saja nanti dianya secara langsung, Nak" kata Jerion dengan tersenyum. Meski suara yang digunakan hanya sebuah alat seperti chip yang biasa dipasangkan pada sebuah robot. Namun, alat tersebut cukup sinkron menyesuaikan jenis suara yang cocok untuk digunakan penggunanya. Jeara yang mendengar suara ayahnya untuk pertama kalinya itu pun merasa sangat senang dan bahagia tentunya. Selain itu, keadaan ayahnya pun sudah lebih baik daripada sebelumnya. Bekas luka dan lebamnya sudah sangat samar untuk kelihatan. Jerion kini sudah kembali tampan seperti kali terakhir Jeara melihatnya 7 tahun silam. Sepintas, ia pun tampak sangat mirip dengan Jeara. Apalagi dengan bagian tahi lalat yang ada di bawah dagu.

Sekarang, adalah hari libur pertama untuk Jeara, yang kini sudah tinggal di rumah barunya yang beberapa waktu lalu dibeli. Berdasarkan saran Venus dan juga Wisman yang menyatakan bahwa uang dari ATM misterius itu aman digunakan, akhirnya Jeara membeli rumah sederhana yang tak jauh dari pantai. Tanpa sepengetahuan Jeara, rumahnya itu selalu diawasi dan dijaga ketat oleh orang-orang suruhannya Suga.

Jeara terlampau sering mengecek ponselnya dalam seminggu belakangan ini hanya untuk menunggu balasan dari Suga. Ia sudah lumayan sering mengirim pesan dan bahkan menelpon Suga. Tapi sampai sekarang tak ada sahutan dan balasan yang diterimanya. Ayahnya bilang Suga baik-baik saja di sana. Tapi kenapa ia seperti mengabaikan Jeara?
Apa mungkin, Suga kini berubah saat ia sudah tak lagi sama seperti dirinya yang dulu?

Jeara menggeleng keras dengan pemikirannya itu yang sudah kejauhan. Sebab, mana mungkin Suga seperti itu. Meski ia belum lama mengenal bagaimana sosok Suga, Jeara merasa bahwa Suga bukan tipikal orang yang seperti itu. Jeara lantas menghela napas saat setiap kali mengecek ponsel dan masih tak ada kabar dari orang yang ditunggu kepulangannya.
Jeara kemudian beranjak ke balkon dan membuka pintu balkon yang langsung menghadap ke laut. Embus angin beserta suara ombak dikejauhan membuatnya serasa berada di dalam sebuah tempat penginapan. Padahal itu rumahnya sendiri.

Sesaat ingatannya pun kembali lagi pada Suga. Ia jadi teringat dengan kebersamaan mereka beberapa bulan yang lalu. Melukis sambil duduk di bebatuan dengan Suga yang duduk diam bersamanya. Jeara sadar bahwa saat itu Suga bukan hanya sekedar diam saja, melainkan terus menatap ke dirinya. Jeara sengaja diam karena ia sendiri pun tak tahu harus bereaksi seperti apa sehingga ia lebih memfokuskan diri pada gambarannya saja.

Jeara lalu menggeser peralatan lukis yang sempat diberikan oleh ayah Mikha dulu ke luar balkon. Baru sekarang ia terpikir untuk menggunakannya setelah sekian lama tersimpan dan berdebu. Ia kemudian meletakannya tepat di depannya sambil terus melihat pemandangan laut yang indah. Jeara pun mulai melukiskan semua keindahan yang ada di depan matanya.
Jeara hampir saja terjungkal ke belakang ketika ia kembali melihat objek yang ada di depannya, kini terhalang oleh berdirinya seseorang yang ada di depan matanya.

Wajahnya masih tetap sama dengan terakhir kali ia lihat. Bedanya, rambutnya terlihat lebih pendek dari sebelumnya dan tak ada sehelai pun rambut yang menutupi dahinya. Garis senyum terukir sempurna di wajahnya yang halus disertai tatapan matanya yang membuat siapapun melihatnya pasti akan merasakan katub jantung yang dibuat berdebaran.

"Sepertinya burung camar pun akan mengira kalau mulutmu sekarang adalah sarangnya, Jeara." ujarnya yang membuat Jeara sontak menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.

"Seingatku, aku hanya operasi suara dan pendengaran, bukan wajah." kata Suga lagi saat tak mendapati adanya reaksi lain di Jeara selain mukanya yang masih menatap takjub pada dirinya.

Sesaat kemudian, Jeara pun sadar oleh aksinya barusan. Ia lantas berdehem untuk menutupi kecanggungannya. Ia tak menyangka Suga akan memiliki suara candu semacam itu.

"Jeara!" panggil Suga lagi pada Jeara yang memunggunginya.

"Ya?" sahut Jeara dengan berbalik.

Suga terkekeh mendapati wajah Jeara yang memerah.

"Ayo, kita turun sekarang. Ayah kamu juga ada di bawah sama ayahku." ajak Suga sambil menyentuh bahu Jeara sambil tersenyum.

"Eh? I-iya." sahut Jeara masih dengan tak cukup mampu untuk mengatasi rasa debaran di dadanya.

__________

"Ayah!!" seru Jeara begitu melihat tampilan ayahnya yang sudah tak lagi sama seperti kali terakhir ia melepaskan kepergiannya ketika di bandara waktu itu. Tubuh Jerion tampak lebih berisi hingga tungkai tulang yang sempat kelihatan sudah tertutupi oleh tubuhnya yang kembali sempurna. Bedanya, salah satu kakinya kini menggunakan kaki palsu agar ia bisa berjalan dengan normal.

"Jeara, ayah rindu sekali denganmu, Nak." ucap Jerion dengan memeluk hangat anaknya. Mendengar suara itu secara langsung membuat mata Jeara mendadak memanas dan ia pun tak dapat menahan rasa terharu yang muncul di dirinya.

"Ayah, suara ayah menenangkan. Jeara suka dengarnya." ucap Jeara disela tangis dan pelukannya. Setelah sunyi cukup lama menjadi celah diantara keduanya, kini bising yang hening pun tak lagi sama.

Jonathan yang melihat hal itu lantas tersenyum senang, apalagi dengan melihat Suga yang tak kalah senang melihat kedekatan Jeara dan ayahnya. Jonathan bangga akan ketulusan Suga yang benar-benar membuat Jeara menjadi tersenyum karenanya.

"Suga." panggil Jeara setelah ia dapat kembali mengendalikan diri dari rasa terharunya.

"Ya?" sahut Suga dengan tersenyum tulus.

"Terima kasih banyak sudah datang menjadi malaikat untukku." kata Jeara dengan tulus. "Aku tahu ini kedengaran berlebihan, tapi, semenjak kamu datang dan masuk dalam kehidupanku. Hidupku yang tadinya cuma abu-abu perlahan mulai berwarna. Rasa sepi yang sudah menjadi biasa yang pahit untukku mulai menjadi manis sejak hadirnya keberadaanmu. Kamu datang dengan semua pertolongan yang kamu berikan untukku sejauh ini. Maaf sudah membuatmu repot, Suga.

"Padahal, kamu sendiri pun juga butuh dengan yang namanya pertolongan. Untuk itu, Suga, kuharap, mulai dari sekarang, jangan pernah pendam dan simpan apapun sendirian. Seperti yang pernah kamu katakan padaku waktu itu. Aku temanmu. Aku ada untukmu. Oke?" kata Jeara panjang lebar dengan manatap penuh ke wajah Suga yang sudah menjadi candu untuknya.

"Jeara, ayah tidak menyangka kamu sudah sebesar ini sekarang." ucap Jerion sesaat hanya menyaksikan obrolan anaknya. Sementara Jonathan sudah beranjak dari sana untuk menyiapkan makanan untuk mereka berempat. Rasanya sudah cukup lama ia tidak merayakan makan besar bersama seperti itu. Terlebih, pada orang yang sudah memberikan pengaruh positif pada anaknya. Suga tampak terlihat lebih hidup dibanding ia tinggal di kota bersamanya.

Jeara yang mendengar celetukan ayahnya itu pun tersadarkan akan keadaan sekitar yang bukan hanya ada dirinya dan Suga saja. Melainkan dengan adanya orangtua mereka yang melihat sedari tadi.
Suga pun hanya terkekeh melihat Jeara yang tampak malu-malu. Jelas sekali ia sekarang sedang salah tingkah.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now