Bag. 13

12 3 0
                                    

Suga dan Jeara kini sudah berpindah ke rumah pohon. Langit pada malam itu sedang mendung. Hanya ada sedikit bintang yang bertabur di langitnya yang kelam.

"Jadilah seperti bintang Suga." kata Jeara dengan gerakan tangannya dan sambil terus menatap satu-satunya bintang yang terlihat lebih terang dari pada yang lainnya.

"Ng?" Suga melenguh dengan menatap wajah Jeara dari samping.

"Seburuk apapun cuaca di atas sana, ia masih tetap bertahan dengan cahayanya. Jadi, meski hal buruk pernah menimpa hidupmu, atau sedang ada di sekitarmu, tetaplah kuat. Karena, setelah badai reda, akan ada ribuan bintang lagi yang akan muncul. Tak apa jika setelah itu tak lagi hanya kamu yang cuma dilihat. Tapi, setidaknya, kamu tidak akan sendirian lagi, Suga." kata Jeara dengan menoleh pada Suga yang juga masih menatapnya. Hanya lima detik mereka saling tatap sebelum akhirnya Jeara kembali menatap ke langit lagi. Ia berdehem guna melegakan tenggorokannya yang tiba-tiba serak.

Suga menyentuh pundaknya membuat Jeara kembali menoleh.
"Apa yang kamu katakan padaku tadi, sepertinya juga cocok diperuntukkan padamu Jeara. Bukan hanya aku yang mengalami kenangan buruk itu. Kamu pun sama halnya. Untuk itu, tetaplah menjadi kuat. Kita pasti bisa lewati ini semua, dan juga badai berikutnya."

Jeara mengangguk setuju dengan ucapan Suga.

"Aku sudah menceritakan tentang ibuku. Sekarang giliranmu." kata Suga.

Sebelum mulai cerita, Jeara mengambil napas dulu seperti yang dilakukan Suga tadi.

"Sejak aku kecil, sekitar umur 5 atau 6 tahun, kata ayah, ibu pergi meninggalkan aku dan ayahku karena tidak tahan hidup miskin. Aku tidak begitu ingat pada saat itu, tapi kata ayah, aku sama sekali tidak menangis saat ibu pergi begitu saja meninggalkan rumah tanpa berkata apapun padaku. Dan aku juga sama sekali tidak menanyakan kemana ibuku pergi dan dimana ia berada saat aku tidak menemukannya dalam beberapa hari di rumah. Aku benar-benar tidak mencarinya sama sekali.

"Sampai suatu hari, aku masuk ke sekolah untuk para anak nelayan. Aku tidak punya teman satu pun saat dihari pertamaku masuk, sangat berbeda dengan yang lainnya yang langsung mendapatkan teman. Aku masih merasa baik-baik saja saat itu. Lalu kemudian mereka membahas seorang ibu. Saat itulah aku mencari tahu pada ayahku dimana ibuku berada. Aku sempat menganggap bahwa ibuku tak menyayangiku. Tapi ayah selalu berkata bahwa, ibuku sangat menyayangiku. Tapi kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan ayah padaku saat itu.

"Jika ibu menyayangiku, kenapa ia tak pernah menemuiku lagi semenjak pergi? Jika ibu menyayangiku, kenapa ia tak membawaku pergi bersamanya? Saat itu pertanyaan itu tak pernah ada jawabannya dari ayah, karena aku masih begitu sulit berkomunikasi dengannya. Aku hanya menangkap beberapa kata yang ia tuliskan di kertas. Waktu itu aku masih belum begitu lancar membaca.

"Saat aku berusia sepuluh tahun, aku sudah mahir menggunakan bahasa isyarat dan dapat berkomunikasi dengan baik, bertanyalah lagi aku pada ayahku mengenai ibuku. Tentang dimana kini ia berada saat itu. Ayah jawab, 'jangan tanyakan lagi dimana ibumu berada, ia sudah melupakanmu.' lalu kubilang pada ayah, 'bukannya ayah bilang ibuku menyayangiku. Lalu kenapa sekarang ayah mengatakan ibu melupakanku?' tanyaku pada saat itu yang membuat mata ayah seperti menyala marah menatapku. Membuatku jadi tidak berani melihat kearahnya.

"Kemudian dengan wajah serius ayah menjawab semua pertanyaanku. 'Ayah bohong. Ibumu sama sekali tidak menyayangimu selama ini. Ia sudah membuangmu. Membuang kita. Untuk itu, jangan tanyakan lagi keberadaannya. Anggap saja kamu tidak punya ibu.' itulah kali terakhir aku menanyakan perihal ibuku. Sampai sekarang aku masih tidak tahu kabarnya. Entah sudah meninggal, atau bahagia dengan kehidupan barunya." Jeara mengela napas begitu selesai menceritakan tentang ibunya.

"Apa kamu sempat berpikir untuk mencari ibumu lagi, Jeara?" tanya Suga.

"Entah. Sampai saat ini, aku masih belum kepikiran untuk mencarinya lagi. Lagipula sampai saat ini, aku masih dapat hidup baik-baik saja tanpa orangtua yang menemaniku."

"Kau pasti sangat kesepian tinggal sendirian selama bertahun-tahun belakangan ini, kan?"

"Aku tidak semenyedihkan itu Suga. Aku sungguh baik-baik saja. Lagipula, Venus juga pernah menginap di rumahku. Nah, omong-omong, bagaimana dengan pendengaranmu? Seingatku, 6 tahun lalu kau masih bisa mendengarku."

"Ini aku dapatkan saat aku menolong seseorang."

"Sebuah kecelakaan, kah?"

"Tidak. Aku mendapatkannya dari kesalahanku sendiri."

"Bagaimana bisa?"

"Waktu itu adalah kali ketigaku untuk kembali bersekolah formal. Ayahku memang tidak keberatan aku menjalankan pendidikanku dengan cara berpindah-pindah. Lagipula, setiap sekolah yang ingin kumasuki, masih bisa menerima murid bisu sepertiku. Hari itu aku mencoba untuk mendekati mereka untuk mengajak berteman sambil memberikan kertas berisi kata yang ingin kuucapkan. Aku sudah optimis bahwa kala itu akan berbeda dari sebelumnya. Namun nyatanya sama saja. Mereka meremehkanku dengan merobek kertas ucapanku sambil berkata 'kami tidak berteman dengan orang cacat. Orang cacat itu menyusahkan. Tidak berguna. Jauh-jauh sana!' lalu aku hanya diam saat mereka memperlakukanku seperti itu. Aku lalu berjongkok memunguti sobekan kertasku dan menyimpannya di sakuku. Saat hendak berdiri, seseorang menyodorkan tangannya padaku. Wajahnya datar saat kulihat. Lalu aku menyambutnya sambil berkata terima kasih dengan bahasa isyarat meski kutahu ia tidak akan mengerti itu.

"Anak laki-laki itu sekelas denganku. Ia duduk di barisan dua di bangku di depanku. Namanya Brion. Aku pun berpikir kalau sebenarnya Brion itu anak yang baik. Meski hanya wajahnya saja yang seperti orang pemarah. Aku terus mendekatinya untuk menjadikannya sebagai temanku. Aku sama sekali tidak mendapatkan penolakan darinya. Meskipun dalam hal itu, ia masih terlalu dingin untuk menanggapiku. Tapi tak apa-apa. Setidaknya aku sudah menemukan seseorang yang dapat kujadikan teman.

"Suatu hari saat jam kosong. Aku pergi berkeliling sekolah untuk melihat-lihat. Aku juga pergi ke atapnya untuk melihat suasana sekolah dari atas. Aku sangat suka sekali pada saat itu. Tapi itu tidak berlangsung lama. Suara berisik tiba-tiba muncul dari balik pintu masuk menuju atap. Aku dengan refleks bersembunyi dibalik mesin uap panas pembuangan AC.

"Aku lihat Brion diseret oleh tiga anak laki-laki yang bukan dari kelas kami. Wajahnya juga terlalu tua untuk dikatakan anak sekolah. Kalau boleh kubilang, muka mereka seperti anak mahasiswa. Rambut gondrong serta berkumis. Singkat cerita, Brion dihajar oleh mereka. Aku dengan rasa keberanian yang muncul tenggelam mencoba untuk meyakinkan diri untuk menolong Brion.

"Sampai akhirnya aku muncul bak pahlawan untuk Brion. Selayaknya ekspektasi yang tak seindah realita, aku justru kena hajar oleh mereka. Aku juga tak kalah beda babak belurnya dengan Brion saat itu. Tapi bedanya, saat aku sudah berkali-kali dipukul, aku mencoba untuk bangkit dan melawan mereka. Meskipun gagal dan malah aku yang terjatuh lagi. Mereka tidak akan berhenti kalau saja tidak mendengar suara bel masuk pada saat itu.

"Aku lalu mengampiri Brion dan menolongnya untuk bangun. Brion tidak bicara apapun, aku lalu pergi ke bawah untuk beli es batu dan obat luka. Tentu saja aku membelinya tidak dalam keadaan menunjukan keadaan diri. Aku menutupi wajahku dengan jaket yang dapat menyembunyikan wajahku.

"Begitu aku kembali, Brion sudah tak ada lagi di sana. Aku berkeliling mencarinya, tapi ia sudah tidak ada lagi. Aku lalu turun ke bawah dan malah mendapati Brion sudah dihadang oleh ketiga anak laki-laki tadi. Aku tidak tahu masalah mereka apa, namun ketika aku melihat mereka menggunakan pisau untuk menusuk Brion. Aku bergerak dan langsung meraih gagang pisau itu. Naasnya, kakiku berpijak pada lantai yang licin sehingga aku terjatuh berguling ke lantai bawah. Aku masih bisa bangun pada saat itu, namun detik itu juga, aku mendengar denging yang sangat nyaring sekali, telingaku berdengung sampai-sampai aku menutupi kedua telingaku saking pekaknya dengungan tersebut.

"Selesai. Maaf kalau ceritaku begitu bertele-tele."

Jeara tersenyum prihatin sambil berkata, "tidak apa-apa. Aku senang mendengarkan kamu bercerita."

"Terima kasih, Jeara."

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now