Bag. 6

18 3 0
                                    

Jeara tersenyum pahit ketika menyadari rutinitasnya yang setiap pagi tak pernah berubah. Ia selalu menyediakan sarapan untuk dua orang. Yakni satunya adalah untuk ayahnya. Jeara masih yakin kalau ayahnya akan pulang suatu hari nanti. Namun, kenyataan itu sudah enam tahun berlalu. Ayahnya tidak pernah kembali sejak malam itu. Ia lalu menyimpan kembali makanan yang dibuat untuk ayahnya itu untuk dimakannya saat pulang sekolah nanti. Makanan itu hanya makanan sederhana. Tidak sempurna namun bukan berarti tidak bergizi dan tak sehat. Ya, setidaknya cukup mengenyangkan baginya.

Jeara masih tidak mau menggunakan uang dari orang misterius yang selama ini rutin mengirimnya melalui rekening yang ia dapatkan beberapa tahun yang lalu. Ia sudah tidak memperhatikan berapa jumlah yang ia dapatkan sampai sekarang. Mungkin jumlahnya sudah bisa sebanding dengan membeli rumah sebesar vila yang dimiliki keluarga Jonathan. Tapi, lagi-lagi Jeara tidak benar-benar menggunakan uang tersebut selain untuk sekolahnya. Selebihnya ia masih menggunakan uangnya hasil dari penjualan gambar dan menjadi badut pengamen. Semua itu ia lakukan karena ia tidak ingin menjadi orang yang hanya menerima saja. Ia tak ingin menjadi orang yang hanya menikmati hasil tanpa pernah merasakan apa itu yang namanya kerja keras.

Jeara mengembuskan napasnya lega sesaat selesai menyapu dan mengepel lantai serta membersihkan seluruh rumah sejak pukul 6 pagi dan selesai selama kurang lebih 2 setengah jam. Hari ini adalah hari libur. Ia berencana akan menjual gambaran yang ia kumpulkan beberapa hari ini sambil menjadi badut. Kemudian, tak ingin menyia-nyiakan waktu lagi, Jeara pun beranjak masuk ke kamarnya untuk mandi dan bersiap.

Begitu selesai sarapan, Jeara yang sudah mengenakan kostum berbentuk beruang dalam kharakter Line itu pun berangkat keluar. Masih di wilayah sekitar rumahnya, banyak anak-anak yang sudah memperhatikannya. Area rumahnya memang seperti itu. Saat malam terlihat seperti pemukiman mati yang seolah tak ada penghuninya. Tapi, saat pagi hingga menjelang sore akan sangat ramai.

Jeara lalu berjalan menuju jalan besar. Karena sudah siang serta matahari yang berpendar dengan sangat cerahnya. Membuat Jeara merasa lebih cepat lelah dan dehidrasi. Ia lalu berhenti pada sebuah minimarket dan duduk di kursi yang ada di terasnya. Baru sejenak ia duduk dan masih belum sempat melepaskan kepalanya. Satu dari pegawai minimarket menegurnya untuk tidak duduk di kursi itu. Ia diusir. Jeara pun langsung meminta maaf dan berjalan kembali.

Menjadi badut memang bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus menahan panas serta cibiran orang-orang yang menganggap pekerjaannya terlalu gampang dan juga diremehkan. Jeara hanya bisa diam dan membiarkan orang-orang yang berkata seperti itu pada dirinya. Mereka hanya tidak pernah tahu saja bagaimana menjadi dirinya. Hanya melihat kemudian berkomentar. Terkadang Jeara juga mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan bagi orang-orang yang miskin hiburan. Mereka memperlakukan Jeara layaknya mainan. Memukul, memutar kepalanya, kemudian menariknya. Apapun itu dengan tujuan menjahili. Dan bagi orang lain yang melihatnya itu adalah hiburan. Jeara hanya bisa menahannya. Ia hanya bisa menerimanya lantaran itu adalah bagian dari pekerjaannya sebagai badut.

Gambaran yang dibawanya sudah habis terjual. Meski sebagian dari kertas gambar yang dijualnya tidak benar-benar dibeli karena nilai seninya, Jeara akan terus membuatnya lagi dan lagi. Ia dapat melihat dengan jelasnya bagaimana kertas gambarannya dijadikan sebagai alas duduk, penyeka kotoran di bawah sepatu, atau yang paling tragis langsung dibuang begitu saja di jalanan. Jeara tidak pernah bisa sempat memungutnya. Alhasil, ia hanya bisa memandang bagaimana karyanya berakhir dengan terinjak oleh kaki-kaki manusia yang berlalu lalang.

"Jeara!" Jeara menoleh pada sosok laki-laki tinggi yang mengampirinya. Kepala badutnya sudah ia lepaskan sedari tadi karena untuk beristirahat dengan nyaman.

"Manggil saya?" tanyanya tidak yakin.

"Iyalah. Memangnya ada banyak Jeara di sini?" katanya dengan nada yang seolah sudah cukup lama mengenal Jeara.

"Tapi... aku tidak tahu kamu siapa." katanya dengan memperhatikan sekali lagi wajah anak laki-laki itu berusaha untuk mengingat.

"Saya Javin. Orang yang dulu kamu lukis sewaktu saya sedang main piano di tebing dekat pantai." katanya sambil mengulurkan ponselnya berisi foto yang dimaksud. Jeara pun melihatnya dan tahu bahwa itu adalah karya gambarnya. Ia ingat pernah lukis gambar itu. Namun, mengenai kejadian yang ada dibalik pembuatan gambar itu ia sudah lupa.

"Maaf, aku tidak ingat sama sekali mengenai itu."

"Oke. Nggak apa-apa. Boleh saya ajak kamu ke kafe itu? Ada hal yang ingin saya bicarakan denganmu." ujarnya dengan menunjuk kafe yang terlihat lengang di seberang jalan.

"Tapi, aku seperti ini." kata Jeara merasa tak yakin juga tak nyaman dengan kostumnya.

"Apa yang salah? Kamu abaikan saja pandangan orang lain. Mereka cuma kurang hiburan. Ayo!" ajak Javin.

"Kenapa aku harus menuruti kemauanmu? Kita bukanlah dua orang yang saling mengenal satu sama lain. Kita cuma dua orang yang dulu pernah tanpa sengaja dipertemukan. Dan sekarang kamu tiba-tiba datang lagi disaat aku masih tidak begitu kenal denganmu. Bisa saja kamu menyimpan sesuatu yang buruk padaku. Semisal niat yang jahat?" ujar Jeara berspekulasi.

"Astaga. Rupanya kamu sehati-hati itu ya. Oke, tidak apa-apa. Saya akui saya memang bukan orang baik, tapi bukan berarti saya orang yang jahat. Setidaknya saya bukanlah orang yang memiliki catatan kriminal dan tidak berniat sama sekali untuk memilikinya. Bagaimana?" katanya dengan tersenyum tenang.

Jeara masih tidak percaya sepenuhnya dengan ucapan orang itu. Namun, ia juga penasaran dengan apa yang akan dikatakan oleh pemuda jangkung itu dengannya. Ia pun mengangguk diam. Lalu disusul dengan mereka yang berjalan menuju kafe. Jeara meminta untuk pergi ke toilet guna melepas kostum badutnya sementara. Ia juga meninggalkan kostum tersebut dalam kamar mandi.

"Pesan saja apa yang kamu inginkan. Saya yang akan bayar. Hitung-hitung memberikan kesan yang baik untuk kali pertama kita saling mengenal. Setuju?"

"Entahlah. Aku harap ini tidak sedikit berlebihan." kata Jeara yang sudah duduk dihadapan Javin.

Jeara memesan minuman yang tidak terlalu mahal namun sering dipesan oleh kebanyakan orang.

"Jadi, apa yang sebenarnya ingin kamu katakan padaku?"

"Aku akan menjadi guru musik di sekolahmu." sahutnya masih dengan tenang.

Jeara terdiam sambil memperhatikan baik-baik wajah Javin. Ia tidak percaya lantaran Javin memiliki wajah seperti anak smp yang baru masuk sma. Ia jauh lebih pantas menjadi seorang siswa dibanding menjadi seorang guru.

"Kamu tidak percaya?"

"Kamu tiba-tiba datang kepadaku dan mengajak untuk minum di sini hanya untuk mengatakan hal ini?"

"Ini bukan sekedar 'hanya' kalau bisa membuat kamu syok seperti itu."

"Tapi, bagaimana bisa?"

"Usia saya sebentar lagi akan masuk kepala 4. Dan satu hal yang harus kamu tahu, saya adalah om mu. Adik dari seorang ibu yang selama ini meninggalkanmu."

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now