Bag. 37

6 2 0
                                    

"Om, bisa nggak sih kita nuntut orang itu atas kerusakan yang dia lakukan ini?" kata Jeara saat ia dan Venus juga Wisman sedang berada di depan rumah Jeara yang seperti habis digusur itu.

"Sayangnya tidak bisa. Rumah ini ternyata tidak dengan atas nama ayahmu. Sehingga, kita tak akan bisa mempolisikan perbuatannya." sahut Wisman sambil menghela napas lelah.

Venus menepuk pelan pundak Jeara. "Je, kamu bukannya katanya pernah dikirimin uang ya sama orang misterius? Gimana kalau kamu gunain aja uang itu buat beli rumah yang baru." usul Venus tiba-tiba.

"Masalahnya justru karena aku masih nggak tahu siapa orang yang ngasih itu, aku jadi khawatir kalau gunainnya besar-besaran. Nanti kalau tiba-tiba orangnya datang terus nagih gara-gara aku pakai banyak gimana?" sahut Jeara.

"Saya boleh lihat kartunya?" tanya Wisman.

Jeara lalu mengeluarkan kartunya dari tas pinggang seukuran ponsel yang biasa dipakainya.

"Yang penting kan uangnya bukan dari mama atau si om psikopat itu, Je. Nggak apa-apa kali kalau digunain. Lagian kan kamu sendiri yang bilang kalau transferannya selalu rutin dikirimin setiap minggu. Udah pasti itu uangnya emang buat kamu." komentar Venus lagi.

"Tidak ada data lain yang terkait dengan kartu ini. Semua identitas mencantumkan nama kamu semua. Lihatlah." tunjuk Wisman pada ponselnya yang memperlihatkan daftar profil biodata Jeara.

"Datanya detail banget." ucap Jeara.

"Kayaknya orang ini tahu banget soal kamu, Je. Stalker bukan sih kalau kayak gini, Om?" komentar Venus.

"Bisa dibilang iya, sih. Tapi, kamu merasa tidak kalau selama ini seperti ada yang lagi memperhatikan atau seperti ada yang mengikuti begitu?" tanya Wisman menyelidik.

"Nggak ada sih, Om. Nggak ngerasa juga akunya, biasa aja sih." jawab Jeara.

"Lantas sudah berapa lama kartu itu kamu dapatkan?" tanya Wisman.

"Lumayan lama, Om. Semenjak ayahku disangka tenggelam di laut."

"Sudah lama sekali ternyata. Sejauh ini penggunaaannya aman?"

Jeara hanya mengangguk membenarkan.

"Je, udah larut malam, nih. Kamu jadi mau menginap di rumahku, nggak?" ajak Venus saat melihat jam besar yang ada di jalanan.

"Boleh."

"Ya sudah, om akan antar kalian sampai depan rumah kalau gitu." ujar Wisman lagi sesaat hanya memanggut-manggut saja mendengar penjelasan Jeara mengenai kartu ATM tadi.

"Jeara! Mau kemana kamu!?" teriak seseorang begitu ketiganya hendak beranjak menuruni undakan tangga.

Jeara menoleh pada ibunya yang tampak terlihat seperti toko emas berjalan.

"Saya tidak ada urusan dengan Anda." sahutnya lalu berbalik lagi diikuti Venus dan Wisman.

Janara mengisyaratkan 2 anak buahnya untuk membawa paksa Jeara ikut bersamanya. Namun, belum sampai langkah keduanya menghampiri, mendadak orang-orang berpakaian serba hitam yang entah datang dari mana, tiba-tiba saja menghadang langkah mereka.

Jeara dan Venus yang melihat itu sempat terkejut dengan kemunculan orang-orang itu.

"Itu orang-orang suruhannya pak Jo. Ayo, kita cepat pergi dari sini." kata Wisman.

"Jeara! Kamu jangan coba-coba lari atau kamu bakal saya bunuh!" teriakan Janara berhasil membuat dada Jeara serasa mencelos. Bagaimana bisa seorang ibu mengatakan hal yang seperti itu dengan nada penuh ancaman kepada anaknya sendiri? Jeara benar-benar tak mengenal bagaimana sosok ibunya selama ini. Sesaat Jeara merasa menyesal pernah tinggal di dalam kandungan wanita itu. Tapi, sesaat kemudian ia kembali sadar bahwa bagaimana pun, ia takan pernah ada kalau bukan karena wanita itu.

Genggaman tangan Venus di tangannya semakin erat dengan mereka yang kini sudah di jalanan besar meninggalkan anak buah Jonathan dan anak buah Janara beserta Janara sendiri yang tak bisa melawan. Mereka kalah jumlah.

Hanya lima menit saja mobil Wisman pun sudah tiba di depan rumah Venus.

"Terima kasih, Om." ucap Jeara begitu turun dari mobil disusul Venus. Wisman hanya mengangguk sambil tersenyum sambil memastikan kalau Jeara akan baik-baik saja, kemudian ia pun lanjut menjalankan mobilnya kembali.

Omong-omong, pertemuan mereka tadi terjadi saat Jeara mengajak Venus untuk melihat rumahnya kembali. Awalnya, Venus tidak mau karena bisa saja ibu Jeara masih ada di sana. Tapi, Jeara tetap bersikeras untuk melihat dengan alasan ia mau lihat rumahnya dalam keadaan masih bisa dilihat untuk yang terakhir kali. Tapi, sesampainya di sana, yang ada justru rumah Jeara sudah rata dengan tanah. Dan ternyata, di sana juga ada Wisman yang turut menyaksikan peruntuhan. Orang-orang Jonathan tak dapat menentang karena secara hukum rumah dan tanah adalah milik Janara secara sah.

Jonathan sengaja membuat orang-orang suruhannya itu untuk bersikap sesuai dengan aturan yang berlaku. Tidak seperti preman yang seenaknya bertindak tanpa tahu aturan.

___________

Beberapa hari setelah kali terakhir Jeara bertemu dengan ibunya, ia sudah tak lagi melihat Janara. Biasanya, ia masih bisa lihat ibunya itu dari kejauhan. Namun, saat ini ibunya itu tak lagi terlihat berkeliaran. Entah ia sedang berkamuflase Jeara sama sekali tidak tahu. Yang jelas, dimana pun Jeara berada, orang-orang suruhan Jonathan terutama Suga akan selalu berjaga di sekitarnya. Terkesan berlebihan memang, namun Jeara tak bisa menolaknya lantaran ia sendiri juga tak berani untuk melawan seperti perempuan strong yang ada dalam cerita di televisi kebanyakan. Tidak semua orang kuat.

Ketiga temannya kini sudah pulang lebih dulu karena harus bekerja lebih awal.

Mobil Wisman tepat terparkir di depan gerbang membuat beberapa pasang mata menatap takjub saat melihatnya.

"Ayo!" seru Wisman dengan membukakan pintu untuk Jeara.

"Nggak usah, Om. Aku mau jalan kaki aja." tolak Jeara dengan halus.

"Lha? Kenapa? Ini demi keamanan kamu sendiri. Lagipula pak Jo dan tuan Suga sudah menugaskan saya untuk menjaga Nona dengan baik." kata Wisman dengan sedikit formal.

"Nggak, Om. Aku tahu om baik mau anterin aku pulang. Tapi, beneran aku mau jalan kaki aja." sahut Jeara lagi bersikeras.

"Ya sudah. Om nggak bisa maksa kalau gitu. Tapi, kalau ada apa-apa kamu langsung hubungi om saja ya." kata Wisman dengan menutup kembali pintunya.

"Iya, Om. Ya udah, akunya permisi dulu ya, Om." pamit Jeara yang hanya diangguki oleh Wisman dengan tersenyum.

Sebenarnya sudah dari beberapa hari yang lalu Jeara mau menghentikan antar jemput spesialnya itu. Tapi, Suga selalu memaksanya untuk menurut masuk sehingga Jeara tak bisa menolaknya. Entah kenapa ia merasa sulit untuk menolak permintaan Suga yang terkesan memaksa itu. Tapi, mulai hari ini Suga sudah tak lagi bisa mengubungi Jeara untuk sementara karena ia sudah mulai menjalankan operasinya.

Makanya, Jeara bisa menolak jemputan Wisman. Lagipula ia sering merasa tidak nyaman setiap kali orang-orang melihatnya dengan tatapan seakan dirinya sedang memanfaatkan kebaikan Suga. Jeara bahkan sama sekali tidak berpikir sampai kesitu. Apa yang ia lakukan dan terima sejauh ini hanya tak ingin sok munafik saja kepada dirinya sendiri yang memang membutuhkan pertolongan Suga. Selain Suga juga sudah pasti adalah dari ketiga sahabatnya sendiri.

"Heuhhh!" Jeara menghela napasnya sesaat ia tiba di batu karang tepi pantai. "Maaf Suga, aku sudah membuatmu terlihat seperti dimanfaatkan olehku. Aku tidak bermaksud seperti itu, tapi kenyataan justru terlihat begitu. Aku harus apa Suga?"

Its OK to Not be Okay [Completed]Onde histórias criam vida. Descubra agora