Bag. 41

12 2 0
                                    

"Ayah?!" ucap Jeara dengan berdiri terkejut saat mendapati ayahnya sudah berdiri di belakangnya dengan wajah tersenyum. "Ayah dari kapan datangnya?" tanyanya.

"Dari yang kamu berhenti jadi badut." sahut Jerion dengan menaikan kedua alisnya dan menatap bergantian pada Jeara dan Suga. "Kenapa? Kamu masih takut ayah akan memarahimu hanya karena kamu punya hobi yang sama dengan ibumu?" tanya Jerion lagi.

"Jadi, ayah nggak akan memarahiku lagi?" tanya Jeara takut-takut.

Jerion mengangguk sambil tersenyum. "Ayah sudah berdamai dengan diri ayah sendiri. Mau buat apapun kamu selagi itu bisa bikin kamu senang dan nyaman, ayah nggak akan larang lagi. Lagipula," Jerion melirik pada kertas gambar yang entah sejak kapan sudah berpindah ke tangan Suga. "gambaran kamu sebagus itu. Sayang sekali kalau kamu berhenti cuma karena masalah ayah sama ibumu. Untuk itu, tetaplah berkarya sesuai bakatmu, Nak. Ayah akan dukung apapun itu. Oke?" kata Jerion dengan mengepalkan tangannya ke hadapan Jeara.

Jeara tersenyum lantas menyodorkan kepalan tangannya ke tangan Jerion. Mereka pun bertos ria sambil disaksikan Suga yang senang melihat interaksi keduanya.

Tak lama berselang, ponsel Suga pun bergetar karena ada panggilan telpon dari Wisman.

"Ya, Om?" sahut Suga sesaat mengangkat telponnya.

"Serius, Om? Woah, oke. Iya, ini aku lagi sama Jeara dan om Jeri. Iya, aku akan kasih tahu mereka." Setelah itu Suga pun mematikan ponselnya.

Jeara yang sedari tadi asik menunjukan bagaimana ia menggambar pada Jerion menjadi menoleh saat Suga melihat mereka dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Kamu kenapa, Ga?" tanya Jeara yang lebih dulu menyadari tatapan Suga.

"Jeara, Om. Mama kamu baru aja ditangkap sama polisi tadi sore. Katanya anak buah dari mereka tertangkap basah menyelundupkan narkoba ke dalam karung tepung." kata Suga dengan menatap bergantian pada Jeara dan Suga.

Tak ada reaksi apapun dari keduanya setelah beberapa saat.

"Ehm. Kita jenguk dia sekarang." kata Jeara membuka suara. Jerion dan Suga yang mendengar itu lantas menoleh sepenuhnya pada Jeara.

"Mau bagaimana pun, wanita itu tetap ibuku. Tanpa dia, aku nggak akan pernah ada di sini. Ayah kalau masih benci sama ibu, nggak apa-apa, biar Jeara aja yang datang ke sana." ucap Jeara dengan menatap nanar ke mata ayahnya.

"Kamu mau ngapain ketemu sama dia, Je? Kalau terjadi apa-apa sama kamu gimana?" tanya Suga dengan nada khawatirnya.

"Aku nggak bakal kenapa-kenapa di sana, Ga. Lagipula aku kan ketemunya di kantor polisi. Dia nggak akan bisa macam-macam kalau nggak mau masa tahanannya bertambah. Aku pikir dia bukan jenis orang yang akan betah berlama-lama di tempat itu mengingat kekayaan yang kembali ia dapatkan sekarang." kata Jeara meyakinkan.

"Ibumu itu sudah menghilangkan nyawa banyak orang sebelum kamu lahir, Nak. Dan sekarang selama kamu hidup dia menjadi pengedar untuk mendapatkan kekayaannya kembali. Hukumannya tidak mungkin sebentar, bisa saja ia dikurung seumur hidup atau nggak hukuman mati. Dan itu artinya, ia bisa saja berbuat semaunya saat kamu temui dia." kata Jerion menambahkan.

"Ayah kamu benar, Je. Ibu kamu nggak mungkin bersikap baik sama kamu. Terutama untuk saat ini. Alih-alih kamu ingin membuat pertemuan antara ibu dan anak, bisa-bisa ibumu malah mencelakakanmu. Kamu ingatkan dengan peristiwa yang terjadi pada rumah yang padahal sebenarnya milik ayah kamu tapi tiba-tiba beralih nama sah menjadi miliknya.

"Ia tidak main-main untuk membuatmu tumbang, Jeara. Aku tahu mau bagaimana pun dia berperilaku, ia tetap menjadi sosok ibu untukmu. Hanya saja, masalahnya di sini akan membahayakanmu jika kamu nekat menemuinya sekarang." kata Suga panjang lebar.

"Tapi.. bisakah aku lihat dia untuk yang terakhir kalinya? Sekali ini saja. Aku ingin berbicara dengannya layaknya ibu dan anak. Mengatakan apapun yang selama ini aku rasakan tanpa dirinya. Bolehkan, Ayah? Aku mohon. Sekali ini saja." kata Jeara dengan menatap dalam ke mata Jerion.

"Tanpa pengawasan. Tanpa bodygurd. Tanpa Om Wisman. Dan tanpa siapapun. Hanya aku sendiri." ucap Jeara lagi yang membuat Suga membulatkan matanya tidak terima.

"Jeara." Suga tak jadi mengatakan ketidak setujuannya ketika mendapati pandangan mata Jeara yang kelihatan begitu memelas terhadapnya.

"Jeara." kali ini Jerion berbicara dengan menyentuh bahu Jeara. "Ayah bisa izinkan kamu untuk bertemu dengannya. Tapi, ayah tidak akan pernah bisa biarkan kamu sendirian bertemu dengannya. Mau bagaimana pun, ayah yang selama ini begitu mengenal tabiat buruknya. Untuk itu, biarkan ayah yang mendampingimu untuk pergi menemuinya." ucap Jerion yang masih membuat Suga merasa cemas akan keselamatan Jeara. Meski begitu, ia merasa masih tidak punya hak untuk melarang keputusan Jeara bahkan Jerion sekalipun.

"Suga,"Jeara menoleh pada Suga yang membuang mukanya ke arah lain demi menutupi rasa cemasnya pada Jeara. "Ga!" panggilnya lagi dan Suga pun melihat sepenuhnya.

"Aku akan dukung apapun keputusan kamu, Je. Asalkan, kamu tetap akan baik-baik saja sekembali bertemu dengannya. Bisa kan?" pinta Suga.

Jeara mengangguk meyakinkan. "Iya, kan aku perginya sama ayah. Kalau begitu, kami pergi ke sana dulu ya." kata Jeara dengan berpamitan pada Suga yang masih kelihatan seperti tidak ingin Jeara pergi, tapi ia bisa apa?

Jerion sempat menepuk pelan pundak Suga sebelum ia berjalan menyusul Jeara.

________________

"Jeara, akhirnya kamu menemui ibu juga, Nak? Bagaimana? Kamu sudah berubah pikiran sekarang? Tenang saja, ibu nggak akan lama berada di sini. Sebentar lagi ibu juga akan keluar dari sini. Nanti ibu ajak kamu belanja-belanja biar nggak kelihatan seperti anak kampung lagi. Kamu nggak sabar lagi, kan?!" seru Janara saat ia mendapati Jeara yang datang sendirian menemuinya. Sebenarnya ada Jerion, tapi ia menunggu di luar untuk bergantian.

"Bu." ucap Jeara dengan menatap Janara dengan dingin.

"Iya, Sayang?" sahut Janara dengan menyentuh kedua tangan Jeara sambil melihatnya layaknya tatapan seorang ibu penuh kasih pada Jeara.

Sebenarnya Jeara menyadari hal itu. Rasanya ia ingin sekali menangis sesaat rasa sesak perlahan menyelimuti dadanya. Tapi dengan sekuat mungkin ia tahan karena tidak ingin kelihatan cengeng di depan ibunya.

"Jeara, sudah maafin semua perlakuan ibu ke Jeara selama ini." kata Jeara dengan menatap langsung ke wajah ibunya yang terhalang oleh kaca. Tampak ibunya juga melihatnya dengan tatapan nanar.

"Ibu tahu kamu pasti anak yang baik, Jeara. Anak yang penurut dan seharusnya kamu tidak tinggal dengan laki-laki cacat itu, kamu seb-----"

"Buu!!" Jeara menyela ibunya sesaat Janara mulai menghina ayahnya. "Tolong jangan sekali-kali hina ayah. Ibu nggak berhak buat ngomong seperti itu kepada ayah yang selama ini sudah menghidupiku." ucap Jeara dengan tatapannya yang perlahan menajam.

"Selama ini? Dia sudah meninggalkanmu hampir 7 tahun Jeara. Dan kamu bertahan hidup selama ini dari bakat yang kamu dapatkan dari ibumu ini. Pelukis terbaik sepanjang masa. Ibu pikir kamu sudah tahu hal itu." kata Janara dengan nada meremehkan.

"Meski begitu, ayah bukan seorang pembunuh seperti ibu." kata Jeara yang keceplosan untuk menahan emosinya sedari tadi.

Niat Jeara yang tadinya hendak berpamitan dengan cara baik-baik seperti memeluk Janara atau bicara layaknya ibu dan anak, mendadak berubah pikiran. Meski tahu ia akan dipenjara seumur hidup, Janara masih tetap bisa membuat perasaan Jeara seperti diaduk.

"Sudah tidak ada lagi yang ingin aku katakan. Ini akan jadi pertemuan terakhir kita. Karena aku nggak akan pernah untuk temui ibu lagi." kata Jeara dengan berdiri.

"Yakin kamu ini yang terakhir? Ibu yakin suatu saat kamu pasti akan kembali lagi kemari dengan semua rasa penyesalanmu Jeara." kata Janara dengan tersenyum.

"Permisi." ucap Jeara kemudian bergegas keluar karena ia sudah tak bisa menahan air matanya lebih lama lagi.

___________________________

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now