Bag. 30

4 2 0
                                    

Bersamaan dengan matahari yang sudah sepenuhnya masuk ke dalam lautan, gambaran Jeara pun selesai juga. Suga yang lebih dulu melihat. Ia lalu memfoto gambar tersebut guna menggantikan wallpaper yang mana adalah gambar yang dulu dibuat Jeara 6 tahun lalu. Tanpa Suga sadari, teman-teman mereka sempat mengintip ke arah mana kamera Suga menangkap gambarnya. Ternyata ia hanya mengambil bagian yang ada Jearanya saja.

Mereka ingin sekali menggoda Suga. Tapi, sayangnya tidak bisa. Sesaat kemudian, Suga pun ke atas sambil menunjukan pada mereka bertiga hasil gambaran Jeara yang tak dapat diragukan lagi kualitasnya. Venus pun langsung mengambil gambarnya dan mengunggah ke sosial media miliknya. Raka dan Yusuf juga tak mau kalah.

"Kalian nih kayak nggak pernah lihat aku menggambar aja." komentar Jeara dengan melihat keantusiasan ketiga temannya terhadap gambarannya.

"Yang ini lebih spesial pakai banget, Je." sahut Venus sambil terus memainkan ponselnya.

"Kayak ada manis-manisnya gitu." tambah Raka sambil senyum-senyum.

"Mereka kenapa?" tanya Suga heran.

Jeara menggedikan bahunya.

"Nggak tahu, nggak jelas." sahut Jeara yang hanya dibalas dengan anggukan oleh Suga.

Malam itu terasa lebih panjang karena mereka semua bermalam di atas rumah pohon itu. Jeara tak perlu khawatir bersama dengan siapa ayahnya saat ini, karena kata Suga, sudah ada orang suruhan Wisman yang berjaga di sana. Sehingga keberadaan ayahnya tetap aman. Jeara juga melarang untuk ibunya bisa bertemu dengan ayahnya. Karena bagaimana pun, ibunya adalah luka terbesar untuk ayahnya. Juga untuk Jeara sendiri.

Besok adalah hari libur, sehingga pada pukul dua dini hari mereka masih terjaga sambil melakukan hal-hal konyol dengan diringi oleh suara tawa. Suga merasa dirinya lebih dihargai di sini lantaran Jeara dan Venus secara bergantian menerjamahkan apa yang mereka bicarakan pada Suga. Ia juga merasa bersyukur karena sudah dipertemukan dengan teman-teman yang baik seperti mereka.

Saat jam sudah menunjukan pukul 3, barulah mereka semua beranjak tidur dengan berlapiskan selimut tebal yang sudah tersedia. Selain itu, tempat mereka tidur juga berbeda. Jeara dan Venus berada di dalam rumah pohon, sedang para anak laki-lakinya di luar.

Meski Venus sudah tertidur dengan dengkuran kecil, Jeara tak kunjung bisa menyusulnya. Bukan karena dengkuran itu yang membuatnya tak bisa tidur. Melainkan, karena perasaan tak nyaman yang tiba-tiba saja masuk ke dalam dadanya. Ia jadi teringat dengan keadaan ayahnya. Ia lupa tak memiliki kontak dengan ayahnya sehingga ia tidak bisa menghubungi ayahnya. Mau membangunkan Suga demi meminta nomor om Wisman juga tak mungkin. Semuanya sudah tertidur kecuali dirinya.

Karena perasaan gelisahnya itu, membuat Jeara menjadi tambah sesak dan merasa kepanasan. Ia lalu beranjak dengan perlahan keluar. Langit pada ujung timur sudah tampak ada sinar redupnya. Meski tak benar-benar jelas sebenarnya. Jeara menarik napasnya dengan panjang dan mengembuskannya dengan perlahan sambil memejamkan mata. Ia terus melakukan hal itu berulang-ulang sampai tak sadar ada yang ikut duduk di sebelahnya.

Setelah dirasa sudah jauh lebih baik dibanding tadi, Jeara lalu membuka matanya sambil menghirup udara pagi yang sebentar lagi datang.

"Aff!!!" Jeara membekap mulutnya sendiri agar ia tak bersuara dengan keras. Ia terkejut saat mendapati Suga sudah ada di sampingnya. Suga menyengir sambil menunjukan barisan giginya yang rapi. Dalam keadaan seperti itu, Suga tetap terlihat tampan di mata Jeara. Sesaat kemudian ia pun mengalihkan pandangnya ke laut.

"Aku tidak bermaksud mengagetkanmu." kata Suga.

Jeara mengangguk mengerti dan terus mengusap dadanya.

"Kenapa kamu terbangun?" tanya Jeara.

"Aku tidak terbangun, tapi aku tak bisa tidur sedari tadi." sahut Suga.

"Apa ada yang sedang kamu pikirkan?" tanya Jeara.

"Aku hanya tiba-tiba teringat dengan tawaran ayah yang akan membuatku kembali bisa bicara lagi."

"Benarkah? Bukannya itu lebih terdengar seperti ajakan yang menyenangkan? tapi, kenapa wajahmu murung begitu?" tanya Jeara sembari memperhatikan raut wajah Suga yang sama sekali tidak menunjukan ekspresi kesenangannya.

"Karena nantinya aku jadi tidak bisa bersama kalian lagi dengan jangka waktu yang lama." sahut Suga mengingat waktu untuk mengobati pita suaranya bukanlah waktu yang sebentar..

"Berapa lama memangnya?" tanya Jeara penasaran.

"Paling lama dua tahun." jawab Suga yang membuat Jeara terperangah.

Jeara hanya mengangguk-anggukan kepalanya. Ia mencoba untuk memahami dengan bagaimana sulitnya mengobati sesuatu yang sudah dari dulu tidak pernah ada itu.

"Jika aku menuruti ajakan ayah, aku ingin ayahmu juga ikut. Bagaimana menurutmu?"

__________________

Pukul duabelas siang, saat matahari benar-benar dapat bersinar cerah, setelah sedari tadi awan mendung terus menyelimuti, meski tanpa hujan yang turun, akhirnya dua dari lima bersahabat itu pun terbangunkan oleh silaunya cahaya matahari. Yang pertama bangun adalah Raka. Ia bangun dan berdiri untuk meregangkan tubuhnya. Disusul oleh Yusuf. Sedang Venus meski sudah bangun, ia masih tetap betah untuk terus memejamkan matanya.

"Ssst, lihat itu." kata Raka pelan pada Yusuf dan menunjuk pada lantai tingkat pertama rumah pohon.

"Foto foto." sahut Yusuf tak kalah pelan sambil mengarahkan kameranya pada dua anak manusia yang sedang tertidur berhadapan di bawah sana.

Raka dan Yusuf sengaja tidak membangunkan mereka dan justru membiarkan saja. Mereka lalu membangunkan Venus.

"Ayo, pulang sekarang." kata Raka sambil mengguncang pelan bahu Venus. Venus hanya menggeliat dan memilih untuk membelakangi Raka.

Karena Raka sudah tahu dengan betapa sulitnya seorang Venus dibangunkan ketika ia dalam keadaan ingin bermalas-malasan begitu. Ia lalu menggendongnya untuk turun ke bawah menyusul Yusuf yang sudah turun lebih dulu.

"Kayaknya cuma saya doang yang bakal jomblo sendirian di sini." celetuk Yusuf sambil berjalan menjauh.

"Heh, tungguin! Berat ini." kata Raka sambil membenarkan gendongannya pada Venus yang masih tetap nyaman memejamkan matanya walau dalam gendongan sekalipun.

Seperginya teman-temannya, Jeara dan Suga masih betah tertidur. Itu disebabkan karena mereka baru dapat memejamkan mata sesaat matahari jingga yang dalam keadaan buram akibat dilindungi oleh awan mendung muncul di ufuk timur.

Hingga pada akhirnya, Sugalah yang lebih dulu bangun dengan mendapati wajah Jeara tepat berada di depan matanya. Jantung Suga sontak berdentum layaknya langkah kaki para tentara yang tengah berlari. Tak kuat menghadapi itu, ia pun bangun dari tidurnya dan beranjak ke atas mencari teman-temannya.

Karena tidak menemukan siapa-siapa lagi, Suga pun kembali mengampiri Jeara yang masih nyenyak tertidur. Ia terlihat seperti orang yang sudah lama tidak benar-benar istirahat. Entah berapa lama waktu istirahat yang dimiliki Jeara selama ini sampai ia tak bangun-bangun hingga matahari siang mengenai dirinya.

Suga lalu mengikatkan selimut di atasnya mirip seperti tenda agar Jeara tidak merasa terganggu dengan sinar mataharinya. Suga tidak tega membangunkannya.

Tak lama berselang, Suga mendapati ponselnya bergetar. Ia pun membaca pesan yang dikirim oleh Wisman.

Ibu Jeara menuju ke rumah Jeara. Kalian di mana sekarang? ujar pesan tersebut.

Its OK to Not be Okay [Completed]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant