Bag. 5

19 3 0
                                    

Setelah mengantar seorang ibu paruh baya yang berprofesi sebagai penjual sayur dan pengumpul kardus bekas di pasar itu, Suga dan Jeara kembali pulang tanpa menggunakan payung lagi lantaran hujannya sudah berhenti dan langit pun tergantikan dengan cahaya jingga yang terlihat sangat cantik.

"Suga, tadi kenapa kamu bisa ada di sana?" tanya Jeara dalam perjalanan mereka.

"Tadinya aku mau jemput kamu. Tapi, aku justru melihat insiden tadi. Aku tidak menyangka kita dipertemukan dengan cara seperti itu."

"Beliau orang baik. Dia sering kasih aku makanan saat aku istirahat habis bekerja."

"Kamu kerja? Kerja apa?"

Sebelum Jeara sempat menjawab, mereka kini tiba di bebatuan yang menuju jalan pintas ke batu besar. Suga naik ke batu lebih dulu dan mengulurkan tangannya untuk membantu Jeara ikut naik. Mereka bisa saja untuk tidak perlu melewati bebatuan itu, namun sepertinya mereka sepakat untuk lebih memilih jalan pintasnya saja.

Mereka akhirnya tiba di batu besar (dekat undakan tangga sekaligus yang dulu dijadikan Jeara sebagai tumpuannya untuk menggambar). Karena air laut sedang pasang. Sesekali air menghantam ke batu nyaris membuat percikannya membasahi mereka.

Suga mengetuk bahu Jeara. "Jadi, kamu kerja apa Jeara? Bukannya kamu masih pelajar? Pelajar kan tidak boleh bekerja karena masih dibawah umur."

Sebelum menjawab Jeara sempat terkekeh lantaran pola pikir Suga yang terdengar agak tertinggal. Bagaimana bisa ia berpikir di zaman sekarang orang-orang masih membatasi batasan umur untuk bekerja. Selagi manusia dapat menghasilkan uang, maka umur tak perlu diperdebatkan lagi. "Setiap hari libur atau senggang. Aku sering bekerja sebagai badut pengamen. Bekeliling di jalanan dan keluar masuk pasar. Nah, sekarang apa kamu menyesal mengenalku Suga?"

Suga menggeleng. "Sama sekali tidak. Aku justru kagum padamu. Diusiamu yang masih sangat muda ini. Kamu tidak malu bekerja sebagai sesuatu yang bagi kebanyakan orang sulit sekali melakukannya. Aku justru bangga menjadi temanmu Jeara. Kamu tidak perlu malu. Kapan-kapan boleh aku ikut menjadi badut denganmu?" ujarnya dengan tertawa ringan diakhir. Tawanya menular membuat Jeara juga terkekeh karena merasa geli saat membayangkan jika Suga yang menjadi badut.

Sore itu mereka habiskan dengan mengobrol seru di pinggir pantai. Meski hanya suara deburan ombak yang paling mendominasi, hal itu sama sekali tidak menganggu komunikasi keduanya. Mereka terlihat seperti dua orang dengan dunia yang berbeda namun tetap terlihat serasi.

"Bagaimana jika kamu sekolah di sini saja Suga? Itu pun kalau kamu tidak keberatan dengan fasilitas yang tidak sebagus dengan yang ada di kota besar."

"Apa di sana ada anak yang sepertiku juga Jeara?"

"Tidak ada. Tapi kamu tidak usah khawatir. Kami memiliki seorang guru yang tak bisa mendengar. Jadi kamu tidak sendirian di sana. Lagipula ada aku yang menjadi teman pertamamu. Aku jamin tidak akan ada orang yang meremehkanmu. Kalau ada, biar aku saja yang lawan." kata Jeara dengan bercanda. Suga hanya tersenyum menanggapinya. Ia tak menyangka. Meski baru baru saja bertemu dengan Jeara, entah kenapa rasanya mereka berdua terasa seperti sudah berteman sejak lama. Padahal, dulu saja mereka bertemu hanya sekali. Itu pun hanya sebentar. Tangan Tuhan untuk membuat alur kisah hidup keduanya memang tidak seterduga itu.

Suga mendapatkan pesan dari Wisman yang mengatakan bahwa dia sudah kembali ke vila. Ia juga mengirimkan pesan pada Suga agar segera pulang untuk segera makan malam. Wisman pikir tuan mudanya itu pasti belum makan sampai sekarang karena ia tahu pasti bagaimana perangai si tuan muda itu ketika sedang mendapati sesuatu hal yang begitu menarik perhatiannya.

"Sudah larut malam. Sebaiknya kita pulang saja sekarang." ujar Suga.

"Iya. Jangan lupa dipertimbangin ya saranku yang tadi. Kamu sekolah di sini saja kalau tidak keberatan." kata Jeara dengan tersenyum terkesan begitu antusias.

"Iya. Mari kuantar kamu pulang lebih dulu. Sekalian, aku ingin tahu di mana rumahmu. Boleh?"

"Boleh, selagi itu tidak merepotkanmu."

"Tentu saja tidak merepotkan. Aku justru senang bisa mengantarkanmu. Ayo."

Malam itu, sepanjang perjalanan mereka habiskan dengan mengobrol sambil diselingi dengan gelak tawa. Meski tak ada yang mengerti apa yang membuat mereka merasa lucu. Namun, dilihat dari garis senyum dan tawa dikeduanya, terlihat sangat jelas bahwa mereka senang sudah melewati hari itu dengan baik.

Jeara masih tinggal di rumahnya yang dulu. Namun agak sedikit berbeda karena kali ini ia tidak lagi bisa menaiki lotengnya untuk sekedar berbaring menatap langit malam seperti yang biasa ia lakukan sebelum ayahnya berangkat melaut. Keadaan lotengnya sudah tidak sebagus dulu. Sebab sempat terkena angin pantai yang lumayan kencang sehingga membuat pondasinya menjadi sedikit tergeser kemudian rusak. Apalagi Jeara tidak mengerti sama sekali cara untuk memperbaikinya.

"Jangan pikirkan apa-apa. Aku akan baik-baik saja tinggal di sana." kata Jeara begitu menyadari akan tatapan Suga pada rumahnya.

"Kamu hanya tinggal sendirian di tempat yang sunyi ini?" tanya Suga sambil memperhatikan keadaan sekitar yang memang sepi.

"Iya, Suga. Cepatlah pulang sekarang. Sudah larut. Dan aku akan segera masuk. Hati-hati dalam perjalanan pulang. Siapkan senter ponselnya. Beberapa lampu jalan akan di matikan setiap jam 10. Sampai jumpa lagi Suga." ucap Jeara sambil masuk dan segera menutup pintunya kembali.

Suga tidak langsung beranjak pulang. Ia sekali lagi memperhatikan bangunan rumah sederhana yang kalau ditaksir luasnya mungkin hanya seluas ruang tamu di rumahnya. Suga mendengus saat membandingkan hal bodoh tersebut. Ia pun meraih ponsel di saku celananya dan bersiap menyalakan mode senter. Persis setengah perjalanan pulang. Lampu-lampu jalan yang menuju rumah Jeara sudah dimatikan beberapa sehingga jalur jalannya agak sedikit mencekam dan suram. Suga jadi teringat dengan ucapan mendiang ibunya dahulu.

"Suga. Tolong ambilkan sajadah yang ada di mushola, Nak. Punya ibu sepertinya habis dicuci sama perawat dan belum kering. Ibu mau sholat isya." ucap Viona kala itu pada Suga yang sedang memainkan rubik di sofa samping ranjangnya.

Suga mengacungkan tanda oke seraya meletakan rubik ke nakas. Ia lalu membuka pintu dan berjalan di koridor sanatorium dengan tenang. Namun begitu hendak berbelok pada lorong dengan pencahayaan seadanya ---sebab ada beberapa lampu yang sedang mengalami kerusakan dan belum sempat diperbaiki, membuat langkah Suga menjadi terhenti. Lorong itu terlihat menjadi sangat menakutkan dan suram. Suga merasakan seluruh tubuhnya menggigil dipenuhi oleh rasa takut yang mendadak muncul. Suga pun berbalik arah kemudian lari masuk kembali ke kamar ibunya.

"Suga? Cepat sekali kamu kembali. Mana sajadahnya?"

"Lorongnya sangat gelap dan menakutkan. Aku tidak berani pergi ke sana sendirian."

"Suga. Apa yang sebenarnya kamu takutkan, Nak? Di dunia ini kita memang hidup saling berdampingan, Nak. Memang benar adanya dengan sesuatu yang tak terlihat bukan berarti tidak ada apa-apa. Namun, kamu harus tahu, Nak. Selagi kamu tidak mengusik mereka dan menggangu. Pun mereka tidak akan melakukan hal yang sama ke kita. Lagipula, derajat kita sebagai manusia itu lebih tinggi dibanding mereka. Jadi, Suga tidak perlu khawatir. Alih-alih Suga takut, justru mereka yang takut pas lihat Suga lewat. Suga beranikan lewatin mereka? Lagian Suga juga tidak bisa lihat mereka. Suga kan anak ibu yang tidak takut sama apapun kecuali sama Yang Di Atas."

Suga tersenyum mengingat hal itu. Kemudian dengan tenang ia melewati jalanan itu tanpa sama sekali merasa takut sedikit pun. Sesekali ia menyalakan senter seperti saran Jeara.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now