Bag. 2

40 5 0
                                    

6 tahun kemudian.

"Jeara!" panggil Venus dengan berlari ke arahnya. Jeara sedang menyusuri tepi pantai menuju sekolahnya. Venus adalah anak yang dulu sering meremehkan Jeara bersama anak-anak yang satu sekolah dengannya di sekolah pondok khusus anak-anak nelayan yang tidak mampu bersekolah formal. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, mereka akhirnya dapat memiliki sekolah yang sama seperti pelajar pada umumnya. Mereka yang tadinya menjauhi Jeara karena memiliki seorang ayah yang bisu dan tuli, kini sudah berubah menjadi teman baik Jeara. Mereka juga sudah meminta maaf dan mengaku menyesal sudah memperlakukan Jeara seperti waktu itu.

"Kamu itu kebiasaan, Jeara. Suka berangkat sendiri lebih dulu. Padahalkan aku selalu bilang untuk berangkat bersama." protes Venus begitu tiba di samping Jeara.

"Maaf. Saya khilaf." sahut Jeara dengan tersenyum.

"Venus! Jeara!" teriak kedua teman laki-laki lainnya lagi yang berlarian mengampiri mereka berdua.

Keempat sekawan itu pun berjalan bersama sambil diiringi canda tawa. Jejak dari telapak sepatu mereka membekas di sepanjang tepian pantai. Setelah berjalan kaki sekitar 500 meter dari tepi pantai, akhirnya mereka tiba di sekolah yang baru 3 tahun lalu berhasil dibangun di tengah perkampungan nelayan itu. Tidak hanya para anak nelayan yang sekolah di situ, anak-anak yang tinggal cukup jauh dari lokasi itu pun ada yang sekolah disitu. Tidak jarang dari mereka juga berasal dari kalangan yang berada. Untungnya, tidak ada kesenjangan sosial di sekolah tersebut. Mereka tidak peduli darimana mereka berasal, dari keluarga mana dan terlahir dari orangtua yang seperti apa. Mereka semuanya dianggap sama. Jeara bersyukur dengan semua itu. Dunianya yang gelap perlahan sudah memudar.

"Je, ini." kata Sion dengan meletakkan sebungkus roti dan jus jeruk di atas meja Jeara.

"Ciyeeee, Sioooonn." goda teman sekelasnya. Hampir seluruh teman sekelas Jeara tahu bahwa Sion suka sama Jeara. Sekaligus juga tahu bahwa Jeara menolak pernyataan cinta Sion sejak beberapa minggu lalu. Namun, hal itu tidak membuat semangat Sion goyah untuk menaklukan hati Jeara. Setiap hari pada setiap paginya, Sion selalu memberikan kudapan sebagai sarapan pagi untuk Jeara. Jeara tidak keberatan selagi Sion tidak melakukan hal yang berlebihan. Tapi tetap saja, hatinya masih tidak bisa merasakan apapun pada apa yang dilakukan Sion untuknya. Ia hanya menganggap Sion sebagai temannya. Persis seperti dia sama Venus, Raka, dan Yusuf. Tidak lebih.

"Makasih." ucap Jeara dengan tersenyum. Selepas itu Sion keluar kembali ke kelasnya. Sengaja tidak ada percakapan setelahnya karena Sion tidak mau membuat Jeara merasa tidak nyaman terlalu lama dekat dengannya.

"Sion baik banget ya, Ra. Kamu masih nggak mau buka hati kamu buat dia?" tanya Raka teman sebangkunya. Mereka duduk sebangku karena jumlah cowok dan cewek ganjil.

Raka juga dulunya adalah anak yang sering sekali meledek Jeara dengan berlagak seperti orang bisu pada saat mereka sedang belajar di pos bacaan bersama kakak mahasiswa yang menjadi relawan untuk mengajari mereka pada saat itu. Raka sering mengganggunya karena selain ia yang memang jahil, juga karena pada saat itu ia penasaran kenapa Jeara tidak pernah terlihat berekspresi pada apapun. Wajahnya terlihat datar saja seolah tak pernah terjadi apa-apa di hidupnya. Ia juga tidak pernah menangis meski sengaja dibuat terluka baik fisik dan perasaannya. Saat kakak mahasiswa mendatangkan pelawak atau badut ke pos belajar, Jeara hanya sempat tersenyum tipis, sangat berbeda dengan anak-anak lain yang justru tertawa lepas saking lucu dan menggelitiknya aksi dari para pelawak dan badut tersebut.

Sampai akhirnya sebuah musibah pun terjadi. Untuk pertama kalinya, Raka dan anak-anak lainnya melihat bagaimana Jeara menangis sejadi-jadinya.

_____________

Enam tahun sudah berlalu semenjak Suga tak lagi berkunjung ke laut. Tempat di mana ia dulu sering melihat matahari terbenam bersama sang ibu yang dirawat di rumah sakit penderita kanker di dekat pantai. Seminggu setelah ibunya meninggal, Suga tak lagi pergi ke pantai dengan pemandangan lautnya yang indah itu lantaran ia akan kembali ingat dengan kenangan menyedihkan bersama ibunya. Kini, enam tahun sudah semua itu berlalu. Suga akhirnya memutuskan untuk kembali datang. Selain rindu dengan semua kenangan bersama sang ibu. Juga karena ia teringat dengan gadis kecil yang menggambar di bawah sinar lampu jalan pada malam itu. Suga juga masih menyimpan gambar yang diberikan oleh anak itu di dalam kamarnya. Terpajang dengan bingkai yang rutin ia bersihkan setiap bangun dari tidurnya. Selain itu, gambar itu juga difoto kembali dan disimpan dalam ponselnya. Agar ketika ia sedang tak ada di rumah dan rindu dengan pemandangan senja, Suga masih dapat melihatnya melalui ponselnya.

Enam tahun yang Suga lewati tidak berjalan seperti yang seharusnya. Jika dulu ia hanya tak bisa bicara, kini Suga pun tak bisa mendengar. Ia pernah berada di posisi dimana ia merasa frustrasi dengan dunianya yang hening. Selama dua tahun Suga ditemani oleh ayahnya dan berkunjung rutin ke psikiater, hingga akhirnya Suga sudah bisa kembali menerima apa yang dialaminya kini. Meski awalnya begitu sulit.

Mobil yang Suga tumpangi kini berhenti di depan sebuah vila keluarga Jonathan. Ia turun dengan dibantu oleh Wisman, orang suruhan sang ayah untuk menjaganya karena ia tidak bisa ikut. Suga tidak keberatan sama sekali, karena hal itu sudah menjadi hal biasa untuknya. Setidaknya, hubungannya dengan sang ayah tetap baik-baik saja dan pastinya dekat layaknya orangtua dan anak.

Wisman sendiri bukan orang suruhan biasa. Ia juga dapat mengerti dan mahir untuk menggunakan bahasa isyarat. Sehingga keberadaannya sangat diperlukan untuk menjaga Suga selama ia berada di sana.

"Nak Suga, mau istirahat dulu atau mau langsung pergi ke pantai?" tanya Wisman dengan menggunakan bahasa isyarat. Suga akhirnya memilih untuk beristirahat sebentar karena dalam perjalanan kemari tadi ia merasa mengantuk tapi sulit tidur akibat jalanannya yang rusak.

Beberapa jam pun berlalu. Suga tertidur sampai sore. Ia terbangun saat matahari sore memaksa masuk melalui celah gorden kamarnya yang tersingkap sedikit.

Ia lalu bangun dan berolaraga sebentar sebelum akhirnya beranjak ke kamar mandi. Begitu selesai dengan rutinitasnya ia pun turun ke bawah mengampiri Wisman yang sudah menyiapkan makanan untuk anak tuannya itu. Ia sudah mengira bahwa Suga akan terbangun sebentar lagi sehingga ia sudah mempersiapkan segala sesuatunya bertepatan dengan jam dimana Suga akan turun ke bawah untuk mengampirinya. Seperti halnya sekarang.

"Tidurmu nyenyak, Nak?" tanyanya kemudian menuangkan segelas jus apel ke gelas.

Suga mengangguk sambil menjumput satu kue kecil yang kemudian dilahapnya sambil tersenyum.

"Om Wis, sudah membeli bunganya?" tanya Suga di sela-sela mereka makan.

"Sudah." sahut Wisman seraya menunjuk pada sekumpulan bunga yang diletakan tidak jauh dari mereka berada. Mungkin karena ruang makan itu sengaja dihiasi dengan berbagai tanaman hias dan hidup, membuat pandangan Suga tidak menyadari akan keberadaan bunga tersebut.

"Ibumu di sana pasti akan senang menerima bunga dari anak kesayangannya itu." ucap Wisman yang diangguki dengan tersenyum oleh Suga.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now