Bag. 3

25 6 0
                                    

Suga pergi dengan ditemani Wisman menuju makam yang berada tidak jauh dari pantai. Makam itu adalah satu-satunya makam orangtuanya. Tidak ada makam lain selain makam ibunya. Sebab, tempat itu adalah tempat paling disukai sang ibu semasa ia masih hidup dulu. Ia sering berada disitu dengan ditemani Suga untuk melihat pantai dari kejauhan serta matahari yang terbit dan tenggelam. Suga lalu meletakan taburan bunga. Saat itu matahari juga sudah condong ke barat. Pemandangannya sama persis dengan kali terakhir yang Suga lihat bersama ibunya.

Ia lalu mengusap nisannya dengan memandang ke pantai seolah saat itu ia dan ibunya sedang menatap laut dan langit bersamanya seperti dulu. Lama ia berada di posisi itu sampai air matanya mengalir jatuh membasahi beberapa kelopak bunga yang ia taburkan. Wisman segera menyodorkan sapu tangan padanya.

Satu jam pun berlalu. Suga masih di sana hingga senja tiba. Ia jadi teringat dengan gadis kecil yang ia temui dulu. Ia ragu apakah anak itu masih mengingatnya atau tidak. Sebab, pada saat itu sinar dari lampu jalan terlalu redup. Ia khawatir hanya dirinya saja yang mengingat wajah anak itu. Sedang anak itu tidak. Bahkan, namanya saja Suga tidak ingat.

Suga pun beranjak perlahan meninggalkan tempat itu. Ia menuju lokasi dimana dulu terdapat batu-batuan besar, tempat dimana gadis kecil itu menggambar. Rupanya tempatnya sudah tak lagi sama. Tempat itu kini sudah berubah jadi undakan tangga menuju batu karang yang ada di pinggir laut. Lampunya pun dibuat berwarna warni sehingga menambah kesan cantik.

Suga lalu duduk di undakan tangga tersebut sambil melihat matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.

Krak! Kruk!
Seseorang duduk tak jauh darinya. Suga tidak menyadarinya dan terus fokus menatap ke depan.

Kemudian selembar kertas bergambarkan matahari yang sedang terlihat pada saat ini tersodor ke depan wajahnya. Suga akhirnya menyadari keberadaannya.

"Lama tidak berjumpa. Apa kamu ingat saya?" ujarnya dengan menggunakan bahasa isyarat.

Suga yang melihat itu sukses dibuat terpana yang lantas berdiri memastikan siapa yang sudah menegurnya itu. Ia seolah tidak percaya dengan wajah yang ia lihat sangat mirip dengan wajah gadis kecil yang ia lihat 6 tahun yang lalu itu. Ia bahkan khawatir gadis itu lupa dengan dirinya. Tapi nyatanya justru gadis itu yang menyapanya lebih dulu.

"Bukannya kamu bisa bicara?" tanya Suga.

"Maaf, tadi aku sengaja membuat suara dari derap sepatuku. Aku pikir kamu akan menoleh dan menyapaku lebih dulu. Tapi ternyata tidak. Dan dari situ aku tahu bahwa kamu tidak mendengarnya. Makanya aku menggunakan bahasa isyarat agar kamu mendengarku dengan cara yang lebih keren." kata Jeara dengan tersenyum.

"Kamu hebat sekali. Tapi, kenapa bisa kamu memakai bahasa isyarat?" tanya Suga penasaran. Jeara pun mengubah posisinya untuk duduk di undakan tangga yang kemudian diikuti oleh Suga. Sementara Wisman yang memperhatikan dari tadi hanya berdiri tetap pada posisinya sambil berspekulasi bahwa gadis yang saat ini tengah bersama anak tuannya adalah gadis yang sering dibicarakan Suga padanya. Itu bisa terlihat jelas dari raut wajah Suga yang sangat ceria dari biasanya.

"Ayahku tidak bisa mendengar dulu. Makanya aku mempelajari bahasa isyarat darinya."

"Dulu?"

"Ya, sekarang dia sudah tidak lagi ada. Ia pergi melaut dan tidak pernah kembali pulang sampai sekarang."

"Maaf. Aku tidak sengaja membuatmu sedih."

"Tidak apa-apa. Ah, ya, bagaimana kalau kita ulang lagi perkenalan kita secara resmi. Aku rasa diantara kita pasti sedang tidak ingat nama satu sama lain karena sedari tadi kamu dan aku tidak mengucapkan nama sekalipun." kata Jeara dengan menyipitkan matanya. Suga terkekeh seolah membenarkan apa yang dikatakan Jeara barusan.

"Namaku Jeara. Kamu?"

"Suga."

_____________

"Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan. Sebaiknya aku pulang dulu. Terima kasih sudah datang kembali. Tadinya kupikir kamu sudah lupa dengan tempat ini." kata Jeara.

"Bagaimana bisa aku melupakan tempat ini. Tempat ini terlalu indah untuk dilupakan. Nah, bagaimana jika kamu ikut aku saja. Nanti biar pak Wis yang mengantar."

"Naik mobil?" Suga mengangguk membenarkan.

Jeara terkekeh sebentar. "Maaf, Suga. Terima kasih atas kebaikanmu. Tapi rute jalan ke rumahku harus menaiki undakan tangga. Jadi, mobil tidak bisa lewat. Aku pulang dulu, ya. Nanti kita bertemu lagi. Sampai jumpa." Jeara pun beranjak sambil melambaikan tangannya dengan tersenyum. Suga memperhatikannya sampai ia masuk ke belokan jalan yang memiliki undakan tangga.

"Kita pulang sekarang, Tuan Muda."

"Pak Wis, sudah aku bilang jangan panggil aku tuan. Aku tidak suka."

"Maafkan saya. Itu sudah jadi kebiasaan saya, Tuan Muda."

"Baiklah. Terserah, setidaknya tidak ada yang mendengar kamu memanggilku seperti itu. Kuharap, jika aku sedang bersama oranglain, kau panggil aku dengan namaku saja, bisa?" tanya Suga yang hanya diangguki oleh Wisman.

Suga kemudian berjalan berlawanan arah dengan arah yang tadi di lalui dengan Jeara. Ia menuju makam ibunya sekali lagi untuk pamit.

Sekitar pukul 9 malam barulah ia tiba di villa. Ia membuka memori gambar di ponselnya dan melihat kembali gambar yang dibuat Jeara 6 tahun yang lalu. Ia membandingkan dengan gambar yang tadi sore ia ambil dari Jeara. Gambarnya mengalami perubahan. Terlihat lebih realistis dibanding dengan yang dulu. Suga tersenyum melihat pemandangan langit senja itu. Entah kenapa hatinya merasa lebih damai walau hanya sekedar melihat sebuah gambar. Rasanya seakan ia seperti masuk ke dalam dunia dimana pada saat bersamaan ia seolah sedang menatap langit senja bersama sang ibu. Suga tidak mengerti kenapa ia bisa merasakan hal itu. Namun ia tidak begitu terlalu memikirkannya lantaran ia pun sangat menyukai dari sensasi perasaan tersebut.

Lamunan Suga tidak berhenti kalau saja Wisman tidak memanggilnya untuk makan malam. Suga lupa bahwa ia belum makan sedari sore. Saat itu juga perutnya bergemuruh seakan sadar dengan panggilan makan barusan.

Ia lalu menyusul Wisman turun ke bawah.

__________________

Semenjak ayahnya tak pernah kembali lagi melaut sejak 6 tahun yang lalu. Kehidupan Jeara menjadi lebih sulit. Namun semua itu tidak berlangsung lama semenjak satu tahun setelahnya ia mendapatkan kiriman paket berupa kartu ATM beserta pin-nya. Paket itu ditunjukan untuk dirinya namun tidak ada alamat dari pengirimnya. Jeara sempat merasa curiga sekaligus takut untuk menggunakan ATM tersebut. Namun karena ia yang memang tidak memiliki apa-apa selain ayah yang dulunya selalu ia nantikan kepulangannya setiap pagi, kini sudah tidak lagi ada, makanya sejak saat itu Jeara mulai menggunakan uang tersebut. Ia juga mengecek saldonya setiap seminggu sekali. Anehnya, saldonya tidak pernah berkurang dan justru bertambah setiap minggunya. Sampai sekarang pun Jeara masih memikirkan siapa orang yang sudah membiayai hidupnya selama ini. Apa mungkin ibunya? Atau ada orang yang sengaja memberikan hal itu, namun dengan maksud dan tujuan tertentu seperti suatu hari nanti Jeara akan dipinta untuk menuruti apapun kemauannya begitu Jeara sudah tidak lagi melanjutkan pendidikan alias sudah masuk dalam dunia kerja? Untuk kemungkinan yang terakhir Jeara menepisnya lantaran hal itu sangat mirip dengan cerita dalam drama. Ini dunia nyata. Mana ada orang yang seperti itu. Pada intinya, Jeara tetap harus berhati-hati dengan menggunakan uang itu untuk keperluan yang mendesak saja. Selebihnya, ia masih menggunakan uang dari hasil gambarannya yang ia jual secara daring dan langsung.

Selamat malam ayah. Aku harap dimana pun kau berada saat ini. Kau tetap baik-baik saja. Batin Jeara sebelum ia terlelap.

Its OK to Not be Okay [Completed]Where stories live. Discover now