Bag. 18

7 2 0
                                    

Jeara memasang wajah datarnya ketika Suga mengatakan ia mesti melukis untuk ayahnya. Jeara jadi teringat kejadian waktu itu lagi. Saat dimana ayahnya melihat ia menggambar dan tanpa bicara apa-apa langsung merenggutnya begitu saja dan merobek kertasnya hingga dibuang ke tong sampah. Jeara melihat hal itu semua dengan kedua matanya sendiri. Tapi, sampai hari ini, ia masih belum mengerti dan tahu, apa sebab ayahnya sebenci itu padanya yang gemar menggambar. Padahal Jerion melihat cukup jelas bagaimana hasil dari gambaran Jeara saat itu.

"Kamu kenapa?" tanya Suga dengan menggoyangkan lengan Jeara membuatnya tersadar dari lamunannya.

"Ayahku tidak suka melihatku menggambar. Ia membencinya." jawab Jeara.

"Tapi kenapa? Karyamu kan sangat bagus."

Jeara tidak menyahut dan menggedikan bahunya saja sambil menghela napas lelah.

"Jadi kamu tidak mau melukis hanya karena ayahmu tidak suka?" tanya Suga lagi.

"Tidak. Aku masih tetap menggambar meski dengan cara diam-diam. Tapi... aku hanya jadi teringat saja pada ayahku."

"Melukis bukan sesuatu yang buruk Jeara. Melukis juga dapat menghilangkan perasaan buruk yang ada dalam dadamu. Semisal seperti kamu menggambar sesuatu selain pantai, senja, dan matahari. Aku yakin kamu pernah menggambar selain tiga hal itu kan?"

"Ya, tapi itu hanya ketika perasaanku sedang kalut saja. Selebihnya aku tetap menggambar hal yang selalu kusukai selama ini."

"Bagaimana kalau kamu jadikan kanvas ini sebagai media untuk melampiaskan perasaan kalutmu itu? Tak apa tak sering digunakan. Setidaknya kamu berencana untuk memakainya nanti."

"Akan aku pikirkan lagi nanti. Terima kasih, Suga. Sudah datang lagi kemari. Aku masih tidak menyangka kita bisa bertemu dan berbicara sealami ini sekarang. Seolah kita memang dua orang yang sudah akrab sebelumnya. Maaf, jika aku sempat memiliki kesan yang buruk padamu." kata Jeara kemudian.

"Tak apa. Aku justru bersyukur bisa bertemu dan berteman denganmu seperti ini. Kamu adalah orang pertama yang tak pernah mempermasalahkan kekuranganku. Sejauh ini, kamu masih menjadi teman terbaik yang pernah kumiliki Jeara." ucap Suga dengan tersenyum menatap Jeara.

"Masih? Apa itu artinya kamu berencana untuk menggeserkan posisiku jadi teman terbaikmu itu menjadi orang lain?" tanya Jeara sedikit bercanda.

"Tidak begitu maksudku. Bagiku kamu selamanya akan tetap jadi teman terbaik untukku." kata Suga seperti menghibur.

"Ceh, mana ada selamanya Suga. Suatu hari nanti, kau dan aku pasti punya kisah hidup masing-masing. Dan kita tidak lagi bisa terus-terusan seperti ini. Katakanlah sekitar satu setengah tahun lagi. Ketika kita sudah tak lagi bersekolah." ucap Jeara dengan pemikirannya yang jauh.

"Kamu kejauhan mikirnya. Setidaknya sekarang kita masih bisa bersama. Itu poin pentingnya."

"Omong-omong, Suga, aku penasaran dengan kerlipan yang ada di sebelah sana. Kamu tahu itu apa?" tanya Jeara dengan menunjuk tempat yang tak jauh dari tempat mereka berada. Lokasinya berada di tengah hutan.

"Itu kunang-kunang. Dan di sana ada danau. Kamu mau pergi ke sana?" ajak Suga.

"Apa tidak berbahaya pergi ke sana di hari yang sudah gelap begini?" tanya Jeara.

"Kamu perhatikan lampu-lampu kecil ini." Jeara menoleh sejenak pada tangan Suga yang menunjuk lilitan lampu kecil di sepanjang tali yang diikatkan ke pohon-pohon dengan menyambung. "Lampu-lampu itu menyala sampai sana. Lihat, kan? Di sana tidak gelap sepenuhnya. Lagipula, om Wisman sudah memerintahkan orang suruhannya untuk berjaga di sekitar hutan ini. Mereka sengaja tak menampakan diri karena tidak ingin membuat kita merasa seperti sedang diawasi. Jadi, kamu tenang saja Jeara." Suga menjelaskan.

Akhirnya, mereka pun turun dari rumah pohon dan mengikuti aliran lampu-lampu kecil yang mengarahkan mereka ke danau.

Sesampainya di danau, cahaya kerlap-kerlip yang tadi dilihat Jeara terlihat begitu sangat jelas. Warnanya cantik.

"Ayo, kita mendekat pada sekumpulan kunang-kunang itu." ajak Suga.

"Bagaimana jika mereka kabur setelah kita dekati? Aku masih ingin melihat mereka berlama-lama."

"Mereka hanya akan menjauh sebentar. Tapi setelahnya akan kembali lagi. Ayo!" Suga mengulurkan tangannya untuk membawa Jeara lebih mendekat.

Dengan langkah hati-hati Jeara mencoba dengan perlahan mendekat pada sekumpulan kunang-kunang yang berterbangan itu. Tidak seperti yang Suga katakan, kunang-kunang itu justru tak terbang menjauh sama sekali. Melainkan terbang mengelilingi tubuh mereka berdua. Jeara takjub melihat hal itu terjadi di depan matanya.

Suga juga menadahkan tangannya yang kemudian datanglah salah satu kunang-kunang yang hinggap di tangannya. Jeara turut memperhatikan hal itu. Ketika ia hendak mencoba menyentuh bagian belakang kunang-kunang, hewan kecil itu justru berpendar dengan terang dan terbangnya masih di atas telapak tangan Suga. Cahaya dari ekornya yang menyala itu membuat biasan cahaya kecil yang menciptakan keindahan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Pokoknya semuanya menakjubkan.

Sebenarnya Suga ingin mengajak Jeara untuk menaiki gondola yang ada di danau. Namun, mengingat jam yang sudah terlalu larut, mereka akhirnya memutuskan untuk lain kali saja menaikinya. Dan sekarang, sudah waktunya mereka untuk pulang.

"Pantai kalau malam gelap sekali, ya." kata Suga di tengah-tengah perjalanan mereka yang tengah menyusuri trotoar jalan di pinggir pantai.

"Iya, menakutkan pula."

"Selamat malam Jeara. Kamu pulang hati-hati, ya." kata Suga begitu ia sudah berada di depan undakan tangga yang menuju rumah Jeara.

"Iya, kamu juga hati-hati. Sampai jumpa besok pagi."

___________

Pagi ini Jeara dikejutkan dengan kemunculan oleh orang yang selama ini tak ingin ia temui lagi. Ia pikir, ucapannya yang sempat mengatakan bahwa ia akan menjadi guru di sekolahnya itu hanyalah omong kosong mengingat setelah berkata seperti itu, seminggu lebih Jeara tak melihat adanya guru baru di sekolahnya. Tapi kali ini berbeda, saat ia dan keempat temannya sedang menyusuri koridor menuju kelas, mereka pun berpapasan dengan orang itu.

"Ini serius ada guru baru dengan model begini?" tanya Venus tak dapat menahan dengan apa yang ada di kepalanya. Sementara Jeara membuang mukanya dengan ditatap heran oleh Suga.

"Apa maksudnya? Saya ini sudah kepala 4 lho." kata Javin tak ingin membuat kesalah pahaman.

Venus, Raka, Yusuf sontak membuka mulut dengan lebar begitu mendengar pernyataan tidak terduga oleh guru baru tersebut. Pasalnya, wajahnya tidak mencerminkan sama sekali bahwa ia adalah seorang pria dewasa.

Detik berikutnya, tak ingin tahu bagaimana reaksi teman-temannya itu bagaimana, Jeara pergi dengan mengucap permisi sebelumnya dengan menarik Suga ikut bersamanya. Suga tak mengerti dengan apa yang terjadi itupun hanya mengikuti saja ketika tangannya digenggam erat oleh Jeara.

Sesampainya di kelas Jeara langsung mengembuskan napas kesalnya.

"Jeara, tadi itu bukannya dia sales yang katamu beromong kosong itu. Apa yang sedang dia lakukan di sekolah kita?" tanya Suga penasaran.

Sebelum menjawab, Jeara kembali menghela napasnya sementara Suga menunggunya bicara dengan sabar.

"Maaf Suga, aku bohong padamu semalam. Sebenarnya dia itu guru baru di sekolah kita."

"Aku masih tidak mengerti dengan semuanya sampai kamu terlihat memiliki tatapan membenci begitu dengannya." kata Suga yang langsung membuat Jeara menoleh padanya sepenuhnya. Jeara tak menyangka Suga bisa menangkap sejelas itu gestur tubuhnya.

Its OK to Not be Okay [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang