Emosi

113 17 1
                                    

" Menjadi gila mungkin diperlukan. Namun jangan sampai kita berbuat gila. Kalian tau maksud gue, kan ?
Gila....😏"

Haruto mengucek kedua matanya secara bergantian. Mencoba untuk memperjelas objek yang ada dihadapannya saat ini. Dia kesal, matanya terus saja buram.

Pemuda Watanabe itu mengerutkan keningnya bingung. Rupanya dia tak salah lihat. Bayangan pemukiman warga dari jauh tampak terpampang dengan nyata. Ini bukan mimpi ataupun khayalannya.

Diam. Yang ia lakukan hanyalah memandangi pemandangan didepannya dengan perasaan was-was.

Tunggu. Sepertinya ini bukan tempat yang asing lagi bagi Haruto. Dia mungkin saja mengenali tempat ini. Tapi, dimana dia saat ini ?

Haruto mengedarkan pandangannya menatap ke sekeliling. Dia dikelilingi banyak rumput liar yang menjalar. Keadaan disini sungguh tak terurus. Berbeda jauh dengan gubuk milik Hyunjin.

" Yah..., " lirih Haruto menatap keadaan. " Gue kayak kenal deh tempat ini. Tapi dimana, ya ?"

Haruto kembali ke tugas mengamatinya. Dia mengedarkan pandangannya selebar mungkin. Dan pada suatu titik, dirinya tiba-tiba menangkap sebuah tubuh yang kini tengah berdiri tegap di depan sana.

Bukan berdiri bersembunyi di belakang pohon atau tiang yang bisa melindungi tubuh bongsornya itu. Melainkan berdiri sambil mencekeram gagang pintu rooftop.

Btw, kini Haruto sedang ada di roftoop sebuah bangunan terbengkalai. Entah bangunan apa itu ia tak peduli.

Yang jadi fokusnya saat ini yaitu kehadiran orang bertubuh bongsor itu. Haruto sepertinya mengenali siapa pemilik tubuh itu. Dia rasa ia kenal orang itu.

" Kak Asahi. Itu kakak ?" tanya Haruto bicara lirih dengan nada sedikit ragu.

" Ouh...pangeran kita udah sadar rupanya " saut Jihoon.

Haruto menengok ke arah yang berlawanan, dimana Jihoon yang tengah berdiri di samling sebuah meja lusuh. Dia melirik ke arah Haruto berada dengan tatapan sengit.

" Kenapa ?? Pangeran kaget bangun-bangun udah diikat begini ?" ucapnya dengan nada manis yang dibuat-buat. " Apa pangeran capek ??"

Jihoon mendekat dengan membawa segelas minuman yang entah asalnya dari mana. Dia acungkan gelas tersebut ke arah Haruto. Namun Haruto memalingkan wajahnya. Ia tak mau meminum minuman yang Jihoon beri.

Enak saja mau kasih minuman sembarang pada putra pemilik hotel bintang lima. Hello ?? Tuh minuman belum tentu keamanannya. Ditambah lagi tak sembarang minuman bisa ia teguk. Haruto memiliki selera yang cukup tinggi soal minuman.

Begitulah isi kepala seorang Watanabe Haruto.

Karna Haruto tak juga mendekatkan mulutnya, Jihoon jadi geram. Tangannya lalu menarik pundak pemuda Watanabe itu dan meletakkan gelas ke mulut Haruto secara paksa.

" Ish, dibilang nggak mau. Kok malah maksa !!" protes Haruto meludahkan kembali minuman yang berhasil masuk ke mulutnya. " Berhenti nggak, Park Jihoon !"

Mendengar Haruto memanggil namanya tanpa embel-embel ' kak ' tentu membuatnya tambah jengkel. Jihoon tambah ketat mendekatkan bibir Haruto itu ke salah satu sisi gelas.

" Park Jihoon gue nggak sudi, ya. Cepet menyingkir ! Woi, Park Jihoon !" dongkol Haruto disela aksi berontaknya.

" Kak Jihoon udah. Gue rasa itu udah cukup !" saut Asahi tiba-tiba yang memaksa Jihoon harus mengehentikan aksinya tadi.

Masih diliputi rasa marah yang berkecamuk. Jihoon mulai melepaskan pegangan tangannya pada pundak Haruto namun beralih ke dagu pemuda bongsor itu.

Jihoon mengangkatnya, membuat Haruto menatapnya dengan nyalang. Untung emosinya masih bisa di kontrol.

••My Treasure•• √Where stories live. Discover now