Emosi Terakhir

163 14 1
                                    

Asahi POV

Terlahir dari keluarga yang bisa dikatakan cukup, nyatanya tak membuat gue bahagia. Bergelimang harta ternyata membawa petaka bagi hidup gue. Gue justru amat menderita bisa terlahir dari keluarga macam ini.

Orang-orang selalu menganggap gue berlian yang sangat berharga. Mereka sangat memuja gue. Eits, tapi tunggu, bukannya gue sok tau. Tapi gue rasa mereka cuma mengagumi kekayaan bokap gue.

Buktinya saja, disaat mendekati ulang tahun gue banyak banget orang yang tiba-tiba deketin gue. Entah untuk alasan apa. Tapi gue berani jamin, mereka pasti mau uang bokap gue. Secara kan bokap gue kalo ngadain pesta itu mewah. Nggak pelit-pelit amat lah.

Secara dia ngasih souvernir berupa benda-benda yang berbaur emas. Contohnya nih, saat gue SD kelas empat bokap gue nyediain gelas emas sebagai souvernir. Nggak pelit, kan ?

*Gue mau satu dong Asahi 🥺

Atas tindakan yang gue nilai berlebihan membuat kepribadian gue perlahan berubah jadi dingin dan cuek. Sederhananya sih gue cuma mau mereka menjauh dari gue. Risih banget kalo harus dekat-dekat orang yang ada maunya doang.

Kepribadian gue yang pendiam juga bukan karena hal itu saja. Kepribadian itu tak lantas terbentuk begitu saja. Ada hal lain, salah satunya semenjak kematian nyokap gue.

Semenjak kejadian itu, gue merasa hal paling berharga dalam hidup gue telah pergi begitu saja. Gue merasa kalau semua orang yang gue sayangi bakal pergi dari hidup gue. Mereka pasti akan meninggalkan gue suatu saat nanti.

Dan satu hal yang selalu menghantui pikiran gue. Apakah mereka tulus nyayangi gue ? Atau cuma karena uang bokap gue aja ?

Entahlah. Gue nggak mau berhadapan dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan lelaki bejad kayak dia. Bahkan lelaki Kep***t itu tak pantas gue panggil sebagai ayah.

Oh ayolah, lelaki mana yang tega bermain dengan seorang wanita seminggu setelah istrinya meninggal. Ralat, bahkan itu belum seminggu setelah kepergian nyokap gue. Gue rasa itu tepat lima hari dan dia udah beraninya makan siang dengan para jalang itu.

Sungguh ironi. Disaat bocah sekecil gue merengek minta permen, gue malah dihadapkan dengan pemandangan tak masuk akal. Dimana gue melihat lelaki yang menyandang sebagai ayah gue tengah bermesraan dengan wanita yang gue kenal sebagai sekertaris pribadinya.

Oh hello ???! Pantaskah gue panggil dia ayah ? Gue bahkan nggak sudi buat pulang ke rumah setelah kejadian itu. Rasanya sesak aja. Tapi gue nggak punya  pilihan lain. Tak ada tempat tujuan selain pulang.

Hari-hari gue di perburuk kala lelaki itu sudah berani membawa para wanita hiburan itu pulang ke rumah. Dan selanjutnya kalian pasti tau apa yang terjadi.

Tak jarang juga gue dijadikan pelayan mereka. Mengantar aneka makanan serta  minuman yang gue sendiri benci melihatnya. Itu produk kebanggaannya. Produk yang mengantarkannya menjadi miliarder.

Lama kelamaan semua terasa amat memuakkan. Tak ada ada kebahagiaan yang gue dapatkan. Hanya ada kata-kata kasar yang gue denger. Lelaki itu selalu marah karena hal sekecil apapun. Rasanya gue mati rasa.

Gue lupa bagaimana rasanya bahagia. Gue lupa bagaimana rasanya sedih. Gue lupa bagaimana rasanya marah. Hampa. Hanya ada kehampaan yang gue dapatkan. Semua emosi itu perlahan hilang.

Gue kembali lagi ke Asahi yang dulu. Pemuda yang tak beremosi. Semuanya hilang sudah. Semua emosi yang sudah nyokap gue ajarkan hilang. Semuanya hilang. Dan rasanya amat memuakkan.

••My Treasure•• √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang