Kembali Bertemu

733 98 3
                                    

Aku menunggu sampai sebelum matahari terbenam keesokan harinya untuk bergerak. Di kamarku, aku mengosongkan tasku dan mengemasnya dengan senter ayahku, sebotol air, pisau berburu kecil yang diberikan kakekku untuk ulang tahunku yang ke satu tahun, korek api, sandwich yang dibuatkan ibuku untukku dan kantong plastik bening berisi steak mentah yang aku curi dari lemari es.

Aku menutup ritsleting tas, kemudian memakai sepatu bot dan jaketku. Merasa puas, menatap ke sekeliling ruangan lagi untuk melihat apakah aku melupakan sesuatu. Aku melihat ponselku di meja samping tempat tidurku dan bergegas mengambilnya, memasukkannya ke dalam saku celana jeansku sebelum keluar dari kamarku.

Saat aku memasuki hutan, memejamkan mata dan mengendus-endus udara, suasana yang selalu menenangkanku. Itu menenangkanku saat aku tidak tersesat atau takut.

Memperbaiki posisi tas di punggungku, aku berangkat.

Aku mencari medan bekas injakan kaki, untuk menunjukkan jalan yang telah kulalui sehari sebelumnya dan untungnya aku tidak perlu mencari lama-lama, tubuhku cukup berat sehingga aku bisa melihat dengan jelas semak yang terinjak dan mengikutinya, mencoba mengingat jalan yang aku lalui.

Aku tentu tidak ingin mengulang kejadian kemarin.

Aku berjalan sampai hari mulai gelap dan aku harus mematikan senter. Benda itu tidak memberikan penerangan sebanyak yang aku harapkan, tapi itu membantu. Saat aku berjalan, aku melihat hutan tidak sepi seperti kemarin, aku bisa mendengar kicau burung hantu, hewan pengerat yang berlarian dan kepakan sayap burung. Dan ya jangkrik.

Saat aku berjalan selama berjam-jam, aku tiba di daerah di mana jejak kakiku berakhir, aku tidak tahu apakah itu adalah tempat yang sama dengan tempat aku bertemu serigala yang menjilatku, karena seluruh hutan tampak hampir sama bagiku. Aku kemudian menjatuhkan tasku, mulai mencari ranting atau cabang liar yang bisa aku patahkan.

Aku menempatkan semua yang aku kumpulkan ke dalam tumpukan dan menyalakan korek api. Dalam sekejap kayu terbakar.

Sekarang apa?

Mudah-mudahan aku menemukan tempat kemarin, aku sudah membawa semua peralatan yang diperlukan, aku sudah membuat api jadi sekarang bagaimana? Bagaimana aku bisa menemukan serigala itu?

Kurasa aku begitu terjebak dalam perjalanan ke sini sehingga aku tidak berhenti memikirkan apa yang harus dilakukan ketika aku benar-benar sampai di sini.

Yah, aku tidak bisa berdiri saja di sini tanpa melakukan apa-apa sekarang, bukan? Terutama karena orang tuaku menungguku pulang jam sepuluh; mereka mengira aku sedang belajar di rumah Eunha. Aku pembohong, aku tahu. Jangan menghakimiku.

"Serigala? Apa ada serigala di sini?" seruku sambil berjalan ke dalam hutan dengan senter di tangan.

"Serigala!" Tidak ada apa-apa. Mungkin aku tidak melakukannya dengan benar. Mungkin dia butuh waktu.

Aku berjalan kembali ke api unggunku dan mengeluarkan plastik steak mentah. Aku bahkan tidak berhenti berpikir bahwa bau steak mentah dapat menarik predator lain yang tidak diinginkan, atau mungkin serigala yang sudah tidak ada di hutan lagi akan kembali di mana pun asalnya.

Tidak, aku tidak memikirkan hal penting itu. Aku hanya berjalan di sekitar hutan, melambaikan steak mentahku dan memanggil 'serigala'. Ini berlangsung selama sekitar lima belas menit dan aku berbalik untuk kembali ke api saat merasakan rasa lapar menggerogoti perutku.

Baru setelah aku duduk di pohon sambil memakan sandwichku, aku merasakan kehadiran yang familiar di sebelah kiriku. Berbalik perlahan, mataku melebar saat melihatnya, aku sudah lupa seberapa besar dia.

"Hai," sapaku. Aku tahu dia tidak bisa bicara tapi sepertinya aku sudah terbiasa berbicara dengan serigala. Aku melihatnya mendekat, matanya mengamati api sebentar, sebelum ia duduk tepat di sebelahku, menatap sandwichku. Setelah hening sejenak, aku melihat steak di kakiku dan menjepit sandwich dengan mulutku untuk mengeluarkan steak dari bungkusnya.

Alpha In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang