Sebuah Akhir

414 50 4
                                    

Jungkook POV

Aku menyaksikan dengan jantung berdebar saat mereka membawa Taehyung ke dalam ruangan dan segera setelah mereka membaringkannya di atas meja, aku berlari ke arahnya dan meneriakkan namanya.

Tidak lagi, tidak lagi.

Tubuhku tiba-tiba ditarik ketika aku mencoba memaksakan diri melewati para perawat di sisinya dan aku mencoba untuk melawan orang yang menahanku.

Aku harus menemui Taehyung!

"Jungkook, tidak apa-apa, dia akan baik-baik saja, biarkan mereka merawatnya," suara itu berbisik di telingaku dan aku langsung berhenti, berbalik menghadapnya, lalu tanpa pikir panjang memeluknya, kepalaku terbenam di bajunya yang bernoda tanah dan merasakan air mata menggenang di mataku.

"Aku hanya ingin semuanya berhenti, Yibo." Aku menangis dan dia memelukku lebih erat.

Dia tidak mengatakan apa-apa, dia hanya memelukku saat aku menangis dan mengusap rambutku sebagai cara untuk menenangkanku.

***

Beberapa menit kemudian kami berdua duduk di seberang ruangan, menyaksikan orang-orang itu menusuk dan memeriksa Taehyung yang akhirnya sadar dan mengatakan sumpah serapah setiap kali perawat menyentuh area lukanya.

Aku hanya bisa tertawa saat melihatnya dan meskipun aku tahu dia kesakitan, kenyataan bahwa dia baik-baik saja membuatku merasa lega.

"Yak! Jangan lakukan itu atau aku akan— AHHHH!" teriak Taehyung saat mereka mencoba membersihkan luka di dadanya. Situasinya lucu dan menyenangkan terlepas dari masalah yang terjadi.

Setelah mendengar tawaku, Taehyung menoleh ke samping dan memelototiku. Aku tidak bisa menahan tawaku lagi.

"Ini berarti dia akan tinggal di sini 'kan?" Aku menoleh ke arah Yibo dan bertanya. Dia mengangguk.

"Syukurlah," aku berkata, suasana hatiku berubah menjadi lebih baik. Dia harus tetap di sini, aku akan menjaganya.

"Senang melihatmu tidak melakukan hal bodoh atas nama membantu Taehyung," ujarnya padaku setelah beberapa saat terdiam dan aku tersenyum.

"Ya, kurasa aku akan menjadi penghalang daripada bantuan dalam situasi ini. Meskipun sesekali aku berpikir untuk terjun ke medan perang," kataku dengan jujur.

"Ya, kau benar; kau harus tetap di sini."

Aku mengangguk. "Aku senang kau datang tepat waktu, Yibo," kataku kepadanya dengan nada serius. "Kenapa tidak menjawab teleponku? Aku meneleponmu berkali-kali."

"Baterainya habis," katanya dengan senyum malu-malu.

Aku seharusnya tahu itu, lagi pula, Yibo telah menepati janjinya dan aku hanya bisa membalas senyumannya, lalu kami berdua mendongak saat Taehyung mengeluarkan serangkaian makian,  mengancam akan mengusir kami semua dari camp jika ada yang menyentuhnya sekali lagi. Dia dibius sampai tak sadarkan diri dan kami berdua saling bertatapan, lalu tertawa.

***

"Hati-hati," kataku pada Yibo saat dia berdiri di ambang pintu. Dia akan kembali ke medan perang untuk bertarung bersama anak buahnya, katanya.

Rasanya berat melepas kepergiannya dan aku sangat ingin menahannya di sini sampai semuanya kembali normal, tapi aku malah berdiri dan melihatnya berlari kembali ke hutan dan menghilang di antara semak-semak.

***

Saat itu sekitar pukul 5 pagi ketika terompet berbunyi dan menyentakku. Aku menatap ke sekeliling ruangan untuk mencari tahu suara apa itu. Taehyung masih tertidur di ranjang tempat mereka memindahkannya.

Dia terbangun dua kali sepanjang dini hari sambil menggumamkan makian karena obat-obatan yang mereka berikan kepadanya dan butuh waktu lama untuk membuatnya kembali tidur. Dia tampak begitu damai saat tidur dan aku membungkuk untuk mengecup keningnya.

Aku menatap sekeliling ketika terompet berbunyi lagi dan sorak-sorai mengikuti. Aku bisa mendengar suara gemuruh orang-orang di luar, bersiul dan berteriak, menangis dan tertawa. Aku melompat dari tempat tidurku dan berlari ke pintu untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Halaman itu penuh sesak dengan wajah-wajah yang familiar; tubuh lelah memasuki camp melalui pepohonan. Orang-orang berteriak sementara beberapa orang tetap diam, mereka menatap cemas ke arah pepohonan.

Aku menoleh ke kanan saat mendengar tawa lega ibuku dan mataku terbelalak melihat apa yang kulihat. Ia memeluk ayahku, wajah dan pakaian ayahku sangat kotor. Lututku terasa lemas karena rasa lega yang luar biasa yang aku rasakan dan aku meraih tiang terdekat untuk penopang.

Seolah ayah tahu aku menatapnya, ia mendongak dan ketika ia melihatku berdiri di sana menatap mereka, senyum lebar menghiasi wajahnya. Ia mengulurkan salah satu tangannya. Aku berjalan ke arah mereka dan kemudian berlari sampai aku berada dalam pelukan mereka. Kedua orang tuaku memelukku dan ayahku mengecup puncak kepalaku.

"Apa semuanya sudah berakhir?" aku bertanya dengan mata terbelalak, menatap wajahnya.

"Ya! Hahaha, kita menang!" Ayah berteriak sambil tertawa dan aku hanya bisa memejamkan mata, memeluknya lagi saat kebahagiaan menyelimutiku.

TBC

Beberapa chapter menuju ending. Akhirnyaaa ... Setelah perjuangan melawan rasa malas selama berabad-abad 🤭

Alpha In LoveWhere stories live. Discover now