Part 5: Remember Me

345 44 30
                                    

"Kenalin, gue Chandra. Panggil aja Chan. Salam kenal, Wanda."

Baru aja gue mau ulurin tangan buat nyambut tangannya si cowo genit, yang ternyata anak PPI juga dan namanya Chandra alias Chan. Tiba-tiba Bang Dion (tuh kan, gue jadi ikut-ikutan panggil Bang, padahal dulu kan panggilnya Mas) ngasih pengumuman, "Makanannya udah jadi. Tolong ada satu atau dua orang bantuin gue tatain makanannya di meja, ya."

Huft, untung aja. Jadi gue cuma perlu jawab, "Halo, salam kenal juga," sambil salaman bentar. Malas banget gue sama cowok genit, padahal udah punya pacar dan pacarnya ada di depannya dia juga. Mana ternyata lebih muda lagi. Walaupun gue sama sekali nggak menutup kemungkinan sama cowok yang lebih muda, asal cowoknya dewasa aja. Kalau ini sih, udah auto red flag buat gue. Liat aja sekarang dia nyengir nggak jelas setelah gue sambut balik tangannya.

Setelah salaman singkat itu, gue langsung aja volunteer buat bantuin Mas Dion. Emang Mas Dion dari dulu penyelamat di keadaan genting. Inget banget dulu waktu masih SMA, tepatnya setelah rapat panitia dan pengisi acara sekolah, gue pernah nunggu hujan berhenti di depan gerbang sekolah. Kalau nggak salah gue nunggu sekitar satu jam ada kali ya. Waktu itu belum ada ojol atau taksi online, jadi terpaksa gue harus naik angkot. Tapi untuk menuju ke tempat angkot lewat, gue harus jalan dulu beberapa ratus meter dari sekolah. Sedangkan, hujan waktu itu derasnya bukan main, ditambah anginnya juga kencang banget.

Alhasil, gue harus nunggu hujannya berhenti di bangku gerbang sekolah. Kalau ditanya kenapa nggak di dalam aja, karena di dalam sekolah banyak orang, gue agak males untuk basa basi.

Sudah sekitar dua puluh menit, bukannya makin reda, ternyata hujannya malah makin deras. Gue juga semakin pesimis untuk bisa cepat sampai rumah. Sebenarnya ada sih cara lain, yaitu naik taksi. Tapi bagi anak sekolahan kayak gue, ongkos naik taksi termasuk mahal. Kalau bayar di rumah, juga belum tentu ada orang karena Mama dan Papa sama-sama kerja, dan Mbak Silvi juga belum pulang kuliah. Kalaupun ada, Mbak Silvi pasti juga nggak mau bayarin ongkos taksi gue dengan cuma-cuma. Alias gue harus banget jadi babu dia selama beberapa hari tergantung nominal uang yang dia kasih.

Tapi siapa sangka, hari yang gue anggap sial banget ini, ternyata keberuntungan datang ke gue. "Lu yang anak padus juga kan ya?" sapa Mas Dion sedikit dingin.

Gue yang mendengar suara yang menurut gue familiar langsung nengok, "I-iya."

"Gue duduk di sini ya," gue masih bengong sambil anggukin kepala, "Makasih."

Keheningan masih menyelimuti kami berdua sampai Bang Dion akhirnya memulai percakapan, "Kenapa belum pulang?"

"Ujan. Aku pulang naik angkot soalnya," tatapan mat ague masih ke depan, nggak berani natap wajah dia. Dengan ragu-ragu, gue beraniin nanya dia, "Mas Dion sendiri kenapa nggak pulang?"

"Sama, ujan. Gue pulang naik motor. Malas kalau harus basah kuyup sampai rumah," jawab Mas Dion. Btw, nggak usah heran kenapa Mas Dion nggak kaget gue tahu namanya. Karena dia emang sepopuler itu di sekolah, jadi dia sendiri nggak bingung kalau ada orang random yang bisa manggil dia pakai nama.

Setelah hujan mulai reda, Mas Dion pamit pulang, menyisakan gue sendirian di bangku dekat gerbang sekolah dengan keadaan setengah nggak waras karena berhasil ngobrol sama orang ganteng yang udah lama gue kagumi itu. Dari situlah perasaan suka dan kagum gue ke Mas Dion makin bertambah hingga gue harus melihat dia lulus sekolah dan nggak pernah ketemu lagi sampe sekarang ini.

Ya, sekarang. Gue sama Mas Dion hanya lagi berdua di dapur. Menyiapkan makanan buat orang-orang. Dengan kondisi yang lumayan canggung karena Mas Dion pendiam dan gue juga nggak berani mulai obrolan. Hanya instruksi tentang tata letak makanan yang menjadi topik pembicaraan.

"Wan, sebenarnya aku agak familiar sama muka dan nama kamu," kata Mas Dion tiba-tiba. Apa Mas Dion tiba-tiba inget ya gue Wanda, anggota padus waktu SMA dulu. Tapi kayaknya nggak mungkin banget deh. "Dulu kamu SMA nya di SMA Pelita bukan?"

"I-Iya, Mas."

"Yang dulu anggota padus bukan, sih?" Gila, ini beneran nih doi inget gue siapa.

"Iya, Mas. Dulu aku anggota padus."

"Ohhh.. Pantes aja nama kamu familiar. Ternyata kamu Wanda yang suka terlambat datang latihan itu." Mohon maaf, ini gue seneng sih Mas Dion ingat gue siapa, tapi kok yang diingat ternyata hal jeleknya ya. Bikin malu aja Wanda.

"Hehe.. Iya, Mas."

"Kamu udah berapa lama di sini?" Ya ampun... Ini nggak salah nih doi ngajak gue ngobrol dengan topik basa basi kayak gini.

"Kurang lebih udah satu bulan, Mas."

"Oh."

Oke, cuman dijawab satu kata. Selanjutnya suasana kembali hening sampai Mas Dion nyuruh gue cobain masakannya. Setahu gue Mas Dion dari dulu memang pinter banget masak. Pastinya gue tahu bukan karena udah pernah coba sendiri masakannya, tapi nguping dari pembicaraan senior alias kakak kelas gue yang dekat sama dia.

"Oiya Wan, boleh tolong cobain sup yang masih di panci itu nggak. Siapa tahu ada yang kurang rasanya," pinta Mas Dion.

Ya ampun, ini kayaknya hari terbaik gue deh. Gue bakal cobain dan makan masakannya Mas Dion yang selama ini bikin gue penasaran. Gue pun berjalan ke arah panci yang masih terletak di atas kompor yang masih menyala. Selanjutnya gue mengambil sendok dan mencicipi supnya.

"Gimana?"

"Hm... Enak kok, Mas. Tapi kayaknya kurang lada sedikit, terus kayaknya lebih enak lagi kalau jahenya lebih banyak deh. Biar lebih ada sensasi hangatnya. Tapi kalo menurut Mas udah enak, nggak usah ditambahin juga nggak apa kok. Cuma itu preferensi-ku aja," terang gue.

"Oh yaudah kamu coba tambahin aja ladanya. Tempatnya ada di deket kompor. Tapi kalo jahe tadi abis, belum belanja rempah lagi soalnya."

"Oke, Mas."

"Btw, kamu suka masak, Wan? Kamu keliatannya tahu banyak tentang bumbu dan rasa masakan."

Sumpah gue ditanya gitu doang sama Mas Dion kok pipi gue langsung hangat ya. Gue prediksi kayaknya pipi gue udah merah deh sekarang. Semoga aja dia nggak notice. Amin.

Tapi keindahan dan waktu berduaan gue sama Mas Dion tentunya nggak bisa berlangsung lama. Karena belum sempat gue jawab pertanyaan Mas Dion, udah ada pengganggu yang datang nanyain makanan.

"Udah belum sih, makanannya? Udah kelaperan nih gue, Bang, gara-gara lu suruh ngangkat belanjaan tadi."

Dan udah bisa ditebak kan manusia pengganggunya siapa.

Bukan Ben si bawel.

Tapi si cowok tengil dan genit, alias Chan.

Di saat ini, entah kenapa gue punya feeling buruk kalau kayaknya dia bakal jadi pengganggu dan perusuh dalam hidup gue di Belanda. Semoga aja cuma di Belanda.


Notes:

Aku tu sebenernya udah kepikiran endingnya duluan buat cerita ini, tapi malah belum kepikiran cerita menuju endingnya HAHAHAH.

Jujur kadang selain wenyeol, aku juga suka gemes sama wensoo soalnya kyungsoo kayak badannya kecil tapi gercep gitu :'D 

Semoga kalian enjoy ya baca chapter iniii <3

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, thank youuuu<33

Milky WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang