Part 22: Gone

247 39 31
                                    

Vote and comment are really appreciated

.

.

.

"The number you dialed cannot be reached...."

Gue mematikan sambungan telepon di ponsel gue dengan kesal. Udah lebih dari lima kali gue telepon Chan, tapi nggak diangkat juga sampai sekarang. Gue juga udah coba menghubungi dia lewat chat, cuma nggak ada satu pun yang terkirim.

Pasalnya, gue sama sekali nggak menemukan Chan saat gue bangun. Memang sih, gue bangun super siang hari ini. Jadi ada kemungkinan Chan udah pulang ke apartemennya atau dia lagi jalan-jalan di sekitar daerah flat gue.

Cuma mengingat Chan yang biasanya nggak bakal menyia-nyiakan waktunya untuk bersama gue, kondisi kayak saat ini cukup mencurigakan bagi gue. Seperti gue merasa ada yang nggak beres.

Apa Chan semarah itu ya sama gue sampai dia langsung pergi gitu aja tanpa pamit dulu ke gue? Padahal gue pengen minta maaf ke dia karena perlakuan buruk gue selama ini. Gue juga pengen ucapin selamat atas kelulusannya dan masakin dia makan siang sekaligus sebagai bentuk permintaan maaf.

Sampai akhirnya satu ide muncul di kepala gue. Yaitu menghubungi Ben. Siapa tahu Chan memang udah sampai apartemen karena dia buru-buru pulang sebelum gue bangun. Setidaknya itu lebih baik daripada gue harus di ambang kenggakjelasan gini.

Namun, baru aja gue mau menekan tombol call di layer ponsel, gue mendengar suara bel kamar gue berbunyi. Sontak gue tersenyum karena berpikir itu pasti Chan.

Gue pun berlari kecil untuk membukakan pintu untuk orang di balik pintu itu.

"Cha—"

"Wan," sapanya, yang rupanya adalah Mas Dion. Orang yang dulu selalu gue harapkan kedatangannya seperti ini di depan kamar gue.

"Mas? Tumben kok ke sini?" Jujur gue agak kaget dengan kedatangannya yang sangat tiba-tiba.

"Ada yang mau aku omongin, Wan. Kamu nggak sibuk kan?"

Sibuk sih Mas, sedikit. Sibuk nyari Chan. Jawab gue dalam hati.

Tapi apa daya bibir gue hanya bisa menjawab, "Nggak kok, Mas. Mas mau ngomongin apa emangnya?"

"Tentang kita," sontak gue mendongak, menatap wajah Mas Dion bingung, "Kita omongin di dalam aja kamu nggak keberatan, kan?"

***

"Aku minta maaf soal waktu itu. Jujur aku lupa ada janji sama kamu. Aku tau aku salah, aku nggak seharusnya lupa sama janji penting kayak kemarin."

Gue tersenyum kecil, sedikit miris karena dia baru minta maaf secara langsung sekarang.

"Nggak apa, Mas. Seharusnya aku yang paham kalau aku belum bisa jadi prioritasnya Mas."

"Bukan gitu maksud aku, Wan. Kamu prioritas aku, tapi waktu itu aku memang lupa."

"Kalau aku memang prioritas Mas, mestinya Mas nggak lupa," gue menghela nafas berat, merasa capek untuk menjelaskan perkara ini sama Mas Dion, yang ujung-ujungnya gue yakin akan melukai diri gue juga.

"Tapi yaudahlah, Mas, nggak usah dijadiin masalah lagi yang kemarin. Aku udah maafin Mas kok, jadi Mas nggak perlu minta maaf lagi."

"Serius, Wan? Aku terima kok, Wan, kalau kamu masih marah dan kecewa sama aku."

Milky WayWhere stories live. Discover now