Part 41: Our Wedding Day

405 34 5
                                    


Wanda

Pernikahan bukanlah hal yang masuk dalam daftar hal yang gue ingin lakukan dalam hidup gue. Paling nggak sejak umur 25 gue tahun, ketika teman-teman seumuran gue, termasuk sahabat gue sendiri, Egi, udah pada pacaran serius dan mulai berpikir atau sudah menikah, bahkan gue belum pernah sekalipun berpacaran dengan lelaki manapun. Maka itu, gue seakan menyerah dengan kehidupan percintaan gue hanya fokus kerja sambil mencari beasiswa untuk kuliah di luar negeri.

Paling nggak hingga gue ketemu lagi sama Mas Dion beberapa tahun lalu. Jiwa muda dan optimis gue bangkit kembali. Seperti anak baru puber yang terkagum-kagum sama cowok idamannya sejak SMA.

Tapi siapa sangka, gue bukan berjodoh dengan Mas Dion, melainkan sama cowok tengil yang berusia lebih muda dari gue.

Chan.

Sampai sekarang, gue masih nggak nyangka gue lebih memilihnya dan melepaskan Mas Dion, yang notabenenya adalah 'pangeran impian' gue.

Bagi gue, Chan adalah orang yang menyadarkan gue akan cinta. Dan betapa layaknya gue untuk dicintai. Gue belum pernah ketemu orang (selain keluarga gue) yang mencintai gue seperti Chan mencintai gue.

Dia selalu sabar, tetapi juga gigih dalam memperjuangkan cintanya ke gue. Begitupun dalam memelihara hubungan kami. Meskipun usianya lebih muda, tetapi nggak jarang dia yang lebih bersikap dewasa dibanding gue. Kalau kami lagi bertengkar, seringkali Chan yang mendekati gue lebih dahulu dan mengajak gue menyelesaikan masalah yang lagi kami hadapi. Mungkin karena Chan juga bukan tipe orang yang gampang overthink dan mudah stres, Chan jadi lebih bisa mencari jalan keluar dari masalah kami dengan kepala dingin.

Yah, walaupun kelakuannya kadang kayak bocah, tetapi justru itulah yang membuat hubungan kami nggak terasa hambar dan seru. Hal itu juga membuat gue nggak malu-malu untuk bermanja dengan Chan. Mengeluarkan keluh kesah gue atau menangis di depannya. Menunjukkan sisi lain dari diri gue yang hanya bisa gue tampilkan kalau gue ada di dekat Chan. Begitu pun dengan Chan, dia bilang gue adalah satu-satunya orang yang membuat dia nyaman untuk menunjukkan sisi-sisi rapuhnya.

Makanya, waktu Chan bilang dia ingin kuliah ke luar negeri, dengan mudahnya gue langsung mengajaknya menikah lebih dulu. Gue sudah pernah kehilangan Chan sebelumnya, jadi gue nggak mau hal itu terjadi lagi. Chan itu seperti soulmate gue yang sudah lama didambakan oleh alam bawah sadar gue. Semenjak gue berpacaran dengan Chan, nggak ada satupun hal di dunia ini yang gue mau lakukan tanpa dia.

"Wanda, udah latihan jalan pakai gaun dan heels-nya?" tegur Mama saat pertama kali melihat penampilan gue yang baru saja selesai dirias. Gue paham sih, Mama pasti khawatir banget kalau nanti anak bungsunya ini bakal tersandung waktu jalan menuju altar. Mengingat gue yang ceroboh, ditambah suasana yang membuat jantung gue yang berdegup berkali-kali lebih cepat dari biasanya. Tapi bisa kali waktu pertama kali lihat gue, langsung muji, "Cantik banget anak Mama." Ini mah, malah yang diingat kecerobohan gue aja.

***

Chan

Nggak perlu ditanya lagi gimana perasaan gue sama Wanda. Semua kata-kata di dunia ini kayaknya nggak ada yang mampu untuk mendeskripsikan rasa cinta gue ke Wanda.

Wanda itu segalanya bagi gue. Dia kekasih sekaligus teman gue berbagi di situasi apapun. Wanda selalu mendampingi dan menggenggam tangan gue di saat tersulit sekalipun. Salah satunya waktu gue hampir membuat perusahaan Papi bangkrut karena salah membaca kontrak kerja sama dari perusahaan lain.

Di situ, Papi marah besar dan menyebabkan gue dan Papi nggak berbicara selama satu bulan lebih. Gue pun akhirnya sempat dikeluarkan dari perusahaan Papi. Yang diikuti oleh kondisi kesehatan Papi yang kembali menurun karena banyak pikiran. Mengakibatkan gue yang jadi menyalahkan diri sendiri karena telah membahayakan nyawa Papi.

Milky WayрдЬрд╣рд╛рдБ рдХрд╣рд╛рдирд┐рдпрд╛рдБ рд░рд╣рддреА рд╣реИрдВред рдЕрднреА рдЦреЛрдЬреЗрдВ