Part 17: Dilemma

207 31 32
                                    

Vote and comment are really appreciated

.

.

.

Kepala gue pusing banget sekarang. Bukan karena urusan kuliah atau apa. Tapi pusing karena pertanyaan atau lebih tepatnya ajakan yang Mas Dion lontarkan di mobil, setelah gue pulang nonton konser yang gue nggak pengen ingat-ingat lagi. Menurut gue, semua pertanyaan itu datang terlalu tiba-tiba.

"Wan, aku rasa kita udah sama-sama dewasa. Pertanyaan yang akan aku bilang ke kamu bahkan nggak pernah ada di pikiranku sebelumnya. Tapi, Wan, aku rasa udah saatnya aku sama kamu melangkap ke tahap yang lebih serius."

"M-Maksud Mas?"

"Aku mau ajak kamu nikah, Wan. Nggak buru-buru sih, paling selesai kita berdua kuliah aja. Aku rasa kamu orang yang paling ngerti aku dan pekerjaanku. Aku rasa kalau bukan kamu orangnya, orang lain nggak bakal bisa ngertiin aku. Kamu mau kan?"

Sial. Percakapan gue sama Mas Dion itu masih terngiang-ngiang, padahal ini udah lewat hampir seminggu setelah itu terjadi. Bikin gue susah tidur dan susah konsentrasi mau ngapa-ngapain.

Semestinya pertanyaan itu adalah pertanyaan yang akan dengan mudahnya gue jawab dengan jawaban, "Iya" atau anggukan kepala. Kalau aja kejadian di konser itu nggak terjadi. Kalau aja gue bisa menghindari ciuman Chan. Kalau aja gue hanya fokus ke Mas Dion seorang.

Namun, entah kenapa gue jadi meragukan perasaan gue ke Mas Dion. Yang sebelumnya menjadi salah satu keinginan gue untuk bisa bareng sama dia sampai ke jenjang yang serius. Bahkan, kehidupan gue sama Mas Dion di masa yang akan datang udah pernah hinggap dalam pikiran gue. Tepatnya saat otak gue lagi aktif-aktifnya berkhayal sebelum tidur.

Gue jadi ragu apakah gue sebenarnya benar-benar mencintai Mas Dion, atau semuanya hanya keinginan gue semata. Apapun itu, gue juga bertanya-tanya pada diri gue sendiri. Dan jawaban dari semua pertanyaan itu belum gue temukan. Atau sudah gue temukan, tapi gue belum berani mengakuinya.

Di sisi lain, gue masih merasa bersalah Mas Dion. Gue merasa gue nggak cukup baik buat dia. Anggapan Mas Dion kalau gue adalah orang yang bisa mengerti dia dan pekerjaannya perlahan menjadi bullshit dan sandiwara semata. Gue nggak sebisa itu mengerti dia. Dan kejadian di konser kemarin buktinya.

Padahal kami berdua masih di tahap pacaran. Itu pun baru beberapa bulan, tapi gue sudah melakukan kesalahan yang menurut gue fatal. Kesalahan yang pasti akan menyakiti Mas Dion kalau dia tahu. Terus gimana kalau gue melakukan hal yang sama setelah menikah nanti?

Pikiran-pikiran itu membuat gue jadi takut sama diri sendiri. Pun gue nggak bisa memperbaikinya karena itu semua udah terjadi. Yang gue lakukan hanya berusaha lebih baik lagi untuk mengerti pekerjaan Mas Dion dan berusaha untuk menghindari Chan dalam bentuk apapun.

Ngomong-ngomong tentang Chan, dia masih rajin mengirimi gue pesan singkat tentang kehidupannya sehari-hari dan menanyakan kabar gue, walaupun tidak pernah kubalas sekalipun dan membiarkannya seperti bermonolog. Contohnya seperti yang sedang gue tatap sekarang ini.

Tengil: Nda, kamu udah makan?

Tengil: Aku hari ini ditraktir sama temenku makan Stamppot di restoran deket kampus.

Tengil: Dia kayak mashed potato gitu. Enak banget rasanya. Apalagi kalau ditambah daging.

Tengil: Tapi aku waktu makan jadi ingat kamu. Soalnya kamu pernah bilang kamu suka mashed potato.

Milky WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang