Extra Part #1: It's Not Living If It's Not With You

547 44 19
                                    


Wanda

Pakaian-pakaian, udah.

Passport, udah.

Dokumen-dokumen, udah.

Kayaknya mayoritas barang-barang yang mau gue bawa ke Belanda sudah siap semua. Total tiga koper besar karena kami memang hanya pergi berdua. Itu semua juga sudah termasuk pakaian-pakaian yang kami perlukan saat musim dingin nanti.

Pasalnya, saat sampai di sana, musimnya sudah masuk musim gugur, jadi kami memerlukan jaket yang cukup tebal untuk menghalau angin yang cukup kencang. Dan untuk pakaian musim dingin, tadinya Chan usul untuk beli di sana supaya nggak perlu bawa barang yang terlalu banyak, tetapi gue bersikeras untuk membawanya dari Indonesia karena kami berdua toh sudah punya perlengkapan macam itu. Kalau beli lagi, adanya malah memenuhi lemari kami saat kembali ke tanah air kurang lebih dua tahun dari sekarang.

"Sayang, ayo makan dulu. Makanannya udah siap," ajak Chan, yang baru selesai masak untuk makan malam kami. Dia bahkan masuk menggunakan celemeknya. Hihi, gemes banget sih Chan.

Semenjak menikah, Chan memang jadi rajin memasak. Katanya sih, biar gue nggak kerepotan urusin pekerjaan rumah sendirian. Dan biar gue nggak usah bangun pagi untuk menyiapkan sarapannya nanti kalau dia ada kuliah pagi. Padahal, gue justru senang kalau bisa memasakannya bekal setiap hari.

Tapi yah, seperti biasa. Chan being Chan. Nggak ada gunanya gue menghalang-halangi keinginan dia. Yang ada, semakin ditolak, semakin dia lakuin. Apalagi ini untuk 'kebaikan' gue, udah pasti keputusan Chan nggak bisa diganggu gugat.

"Gimana, enak nggak?" tanya Chan sambil terus menaruh perhatiannya pada setiap gerak-gerik gue dari tadi. Seakan penilaian gue terhadap makanan yang udah dia buat sangatlah berarti.

Menu yang dimasak Chan hari ini adalah nasi putih, sayur asem, tempe mendoan, dan ayam goreng. "Hari ini kan hari terakhir kita di Jakarta sebelum dua tahun lagi. Jadi kita harus puas-puasin makan makanan Indo selagi bahannya mudah didapat," begitu alasan di balik makanan yang dibuat Chan hari ini.

"Enak kok, cuma menurutku ayamnya dimasaknya kelamaan, jadi nggak terlalu juicy lagi. Sama sayur asamnya kurang asam kalau buat aku."

"Oke, noted, Chef!" jawabnya, seiring menampilkan gestur hormat. Membuat gue terkekeh melihat tingkahnya. "Istriku makan yang banyak ya. Nggak boleh sampai sakit pokoknya," tambahnya lagi, sambil menaruh potongan ayam yang kedua di piring gue.

Selama dua minggu pernikahan gue dengan Chan, dia sebisa mungkin memperlakukan gue bak ratu. Apa-apa dimasakin, apa-apa diambilin, apa-apa dilayani. Chan selalu bilang kalau gue adalah wujud dari segala doa dan mimpinya, yang harus dia jaga dan rawat sebaik mungkin. Terkadang gue jadi nggak enak sendiri dengan Chan karena nggak banyak melakukan apa-apa untuknya.

***

Chan

Setelah berpamitan dan bernangis-nangis ria dengan keluarga kami, akhirnya kami masuk juga ke pesawat kami menuju Belanda. Penerbangan yang kami ambil akan terlebih dahulu transit di Hong Kong sebelum mendarat di Belanda. Membayangkannya saja udah membuat gue agak muak karena harus menempuh perjalanan yang jauh dan lama itu setelah bertahun-tahun.

Untung aja ada Wanda, istri gue yang super cantik dan gemesin, jadi gue optimis kalau perjalanan kali ini nggak akan semembosankan biasanya. Paling nggak ada orang yang bisa gue ajak ngobrol dan berbagi keluhan kalau ada yang lagi nggak beres. Bahkan, gue juga cukup excited karena ini perjalanan panjang pertama yang akan gue lalui bareng Wanda. Perjalanan yang mengawali petualangan kehidupan pernikahan kami. Di tempat yang sama waktu gue ketemu sama Wanda lagi, dengan status yang sekarang udah beda.

Milky WayHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin