Part 24: Should I?

251 35 56
                                    

Vote and comment are really appreciated

.

.

.

"Mas balik bulan depan?" tanya gue lewat sambungan video call.

"Iya, Wan, kan mau bantu kamu urus persiapan pernikahan kita," jawab Mas Dion dengan sumringah. Nampak dia yang sedang menggoda gue. Namun, dari raut wajahnya tidak bisa dipungkiri kalau dia sedang capek karena baru saja pulang kerja. Ditambah kalau dilihat dari pakaiannya, yang masih berupa jas dokter kebanggaannya. Padahal, di sana pasti sudah jam setengah satu pagi, karena di Jakarta masih jam setengah delapan malam.

Gue menutup sambungan video call kami setelah berbincang sedikit dengan Mas Dion mengenai kepulangan dan kesehariannya di sana. Termasuk rencana-rencana kami dalam menyiapkan pernikahan yang akan dilaksanakan sembilan bulan lagi sesampainya Mas Dion di Indonesia bulan depan.

Sesuai rencana, Mas Dion dan gue memang nggak pulang dalam waktu yang sama karena Mas Dion harus menyelesaikan pekerjaannya dulu di Belanda. Jadilah selama 9 bulan ini, gue yang menyicil persiapan pernikahannya sendiri, seperti menyusun konsep dan mulai meriset vendor. Yah, nggak sendiri juga sih, dibantu sama keluarga gue dan keluarga Mas Dion juga.

Kalau boleh jujur, selama tiga bulan sampai di Jakarta, gue bukan hanya mengurus persiapan pernikahan kami, melainkan juga menjalankan misi gue yang lainnya. Yaitu mencari keberadaan Chan. Gue tau gue salah karena masih memikirkan Chan, padahal gue sudah mau menikah dengan Mas Dion. Gue juga kadang merasa semua ini nggak adil untuk Mas Dion. Pun untuk diri gue sendiri. Cuma nggak ada alasan kuat untuk gue bisa memutuskan hubungan gue sama Mas Dion. Apalagi Mas Dion dan keluarganya nampak excited banget sama pernikahan ini.

Upaya gue dalam mencari Chan bukanlah hal mudah. Gue awalnya nggak tahu harus mulai dari mana karena seperti yang udah gue bilang, semua sosial media gue diblok sama dia. Dan pilihan terakhir gue hanya menanyakannya lewat Ben. Tapi itu saja Ben banyak nggak tahu dan nggak mau jawabnya.

Ben hanya bilang Chan tinggal di Jakarta, tepatnya di Jakarta Selatan. Dia hobi jalan-jalan sambil hunting foto waktu SMA. Dan sekarang lagi bantu papanya untuk mengurus perusahaannya, yang mana gue nggak tau perusahaan Papa Chan namanya apa dan bergerak di bidang apa. Sangat membantu bukan informasi dari Ben.

Dia juga nggak memberi tahu gue Jakarta Selatan di daerah mana. Sedangkan, gue juga sekarang tinggal di apartemen dan kerja di daerah Jakarta Selatan. Dan dalam tiga bulan ini, gue juga udah sering jalan-jalan di beberapa lokasi tempat hunting foto yang berbeda di sana setiap minggunya. Tapi hasilnya nihil. Gue nggak ketemu siapa-siapa.

Sampai akhirnya gue merasa sedikit putus asa dan kembali mempertanyakan alasan gue mencari keberadaan Chan. Soalnya kalaupun gue bertemu dengan Chan, apa yang harus gue katakan dan lakukan ke Chan? Sedangkan, gue pun belum tahu apa mau hati gue yang sebenarnya.

Di saat-saat kayak gini, gue merasa seperti cewek serakah, plinplan, dan egois. Di satu sisi, gue nggak berani melepaskan Mas Dion, tapi di sisi lain, gue juga mau ketemu Chan dan menginginkan Chan ada buat gue. Lebih tepatnya, gue sadar mungkin setengah hati dan pikiran gue, udah milik Chan sekarang.

Pertanyaan selanjutnya adalah kalau gue berhasil bertemu dan menyatakan perasaan gue pada Chan, apakah dia masih single dan masih memiliki perasaan yang sama kayak dulu? Dalam suratnya dia bilang sih, kalau dia akan selalu sayang gue. Tapi apakah dengan gue yang udah menyakiti dia segitu banyaknya, dia masih mau nerima gue? Ditambah status gue yang juga masih menjadi calon istri orang. Bukannya kalau kita ketemu malah tambah menyakitkan buat Chan?

Milky WayDonde viven las historias. Descúbrelo ahora