Part 39: Sunday (Morning)

354 36 25
                                    

Sial.

Gue kira wajah Wanda di pagi hari yang masih nyenyak tidur itu udah jadi pemandangan paling indah buat gue lihat. Taunya setelah gue melalui peristiwa semalam dan melakukan kegiatan nggak senonoh sama Wanda, pemandangan Wanda tidur dengan keadaan polos dalam arti sebenarnya seribu kali lebih indah.

Persetan janji gue sama Papanya Wanda. Yang penting sekarang gue mau menikmati ada yang di depan mata gue dulu. Paling nggak sampai Wanda bangun nanti.

Dari tadi pagi (ya pagi, karena ini udah jam 11 siang), gue udah kebangun karena nggak bisa tidur lagi. Satu sisi dalam diri gue takut kalau yang udah gue lalui sebelumnya adalah mimpi. Dan begitu gue bangun, semuanya hilang gitu aja. Bahkan, saking takutnya, rasa lelah karena kegiatan semalam nggak terasa sama sekali. Gue lebih memilih untuk memandangi Wanda beserta keindahannya, dan nggak jarang memeriksa jarinya apakah cincin yang gue kasih masih belingkar di sana.

Semakin gue lihat Wanda, gue semakin yakin gue udah memilih pilihan yang tepat. Setiap pagi yang gue lalui bersama Wanda, sudah cukup bagi gue untuk mendapat gambaran kehidupan gue di masa depan dengannya.

Nggak pernah terbayang dalam hidup gue bisa melangkah sejauh ini sama Wanda. Apalagi Wanda akhirnya nerima ajakan gue untuk menikah. Thanks to Papi yang udah nyuruh gue S2 buru-buru, kalau nggak kayaknya gue nggak tahu kapan lagi gue dapat keberanian untuk melamar Wanda setelah penolakannya di rumah sakit waktu itu.

Iya sih, bisa dibilang lamaran di rumah sakit waktu itu sangat mendadak dan buru-buru. Gue pun melakukannya karena takut banget kehilangan Wanda lagi. Tapi melihat jawaban Wanda yang menolak gue mentah-mentah, membuat gue jiper sendiri jadinya. Gue juga nggak enak sama Wanda kalau terlalu sering memaksakan kehendak gue ke dia, apalagi kondisinya Wanda baru aja pulih.

"Chan..," lenguh Wanda yang baru bangun. Seperti biasa, Wanda selalu memeluk gue setiap bangun tidur. Katanya kalau dia menghirup aroma tubuh gue waktu baru bangun tidur, itu buat dia nyaman dan kesadarannya kembali sedikit-sedikit.

"Selamat pagi, Calon Istri-ku," seperti biasa juga, gue selalu memeluknya balik setelah Wanda bangun. Juga mengelus punggung dan rambutnya. Semuanya seperti ritual yang otomatis kami lakukan di pagi hari.

Dalam pelukan gue, gue bisa merasakan Wanda tersenyum karena mendengar panggilan baru yang gue gunakan itu. Benar saja, senyuman itu terbukti saat dia mendongakkan kepalanya untuk menatap wajah gue.

"Kamu bahagia banget ya kayaknya pagi ini?" Harus banget ya Wanda nanya hal yang udah jelas kayak gini.

"Nda, kalau ada kata di atas bahagia, aku bakal gunakan itu untuk mendeskripsikan perasaanku sekarang. Emang kamu nggak bahagia, hm?"

"Bahagialah," jawabnya yakin, "Tapi kamu sumringah banget sampai gigi kamu kering tuh."

"Yah, gimana nggak bahagia kalau akhirnya lamaran aku diterima sama orang yang udah aku tunggu-tunggu dari lama."

Wanda menatap gue bertanya-tanya. Pasti dia bingung karena kami belum pernah ngobrol tentang sejarah gue yang menyukai dan mendoakan dia sejak belasan tahun lalu. Dan gue pun entah kenapa selalu nggak kepikiran untuk membicarakan itu.

Mungkin kali ini adalah saat yang tepat untuk menceritakannya ke Wanda, "Aku nunggu kamu bukan cuma satu tahun, Nda. Tapi udah dari belasan tahun lalu."

Wanda mengernyitkan alisnya, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Kemudian dia memutar badannya mendekati nakas sebelah ranjangnya. Yang membuah tubuh bagian atasnya sedikit tersingkap. Duh Wanda, jangan sampai gue terkam juga nih pagi ini.

Milky WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang