Part 32: A Day Before

200 29 26
                                    

Sejak Chan mengajak gue untuk ketemu dengan keluarganya, gue udah mulai putar otak tentang apa yang harus gue pakai, apa yang harus gue bawa, dan apa yang harus gue jawab apabila ditanya macam-macam oleh keluarganya, terutama Mami dan kakaknya.

Kenapa Papinya nggak termasuk? Karena gue biasanya anaknya adalah laki-laki, maka yang sensi dengan pacar anaknya adalah Maminya dan (mungkin) anggota keluarga lain yang juga berjenis kelamin perempuan.

Ada beberapa insecurity di dalam diri gue yang udah muncul sejak hari itu juga. Salah satu contohnya adalah jarak usia kami yang terbilang cukup jauh. Udah gitu, gue, yang adalah ceweknya, lebih tua lagi. Beruntung, gue masih hanya beda satu tahun lebih muda dari kakaknya. Kalau gue ternyata lebih tua? Huft, kayaknya itu bakal jadi alasan kuat kalau Maminya Chan nggak suka gue.

"Tenang aja, Nda. Mami baik kok," ucap Chan menenangkan gue saat gue mengungkapkan kekhawatiran gue tadi. Meskipun begitu, gue tetap aja insecure. Gimana nggak? Chan udah sengaja dijodohin sama cewek muda, cantik, dan seksi, eh malah nolak terus milih gue, si cewek tua dengan spek biasa aja. Chan juga cerita kalau dia sempat berantem dengan maminya karena hal itu. Coba, di sisi mana gue harus nggak khawatir?

Hari demi hari terlewati dan semakin mendekati akhir pekan. Saat di mana gue harus menemui keluarga Chan. Jujur, awalnya gue percaya diri karena gue juga ingin dekat dengan keluarga Chan. Waktu itu, Chan malah yang ragu untuk mengenalkan gue ke keluarganya. Tapi sekarang keadaan berbalik. Chan jadi excited banget bawa gue ke rumah orang tuanya. Katanya, kakak, kakak ipar, dan ponakan-ponakannya juga akan datang. Makin nervous lah gue jadinya. Berasa kayak dibawa ke penghakiman keluarga tau nggak.

"Aku hari Sabtu mending pakai baju apa ya, Chan? Terus aku mending bawa apa ke rumah orang tua kamu nanti?" tanya gue melalui sambungan video call. Meskipun ini masih hari Rabu, tetap aja gue harus mempersiapkan penampilan dan buah tangan gue. Gue nggak mau ada yang fail untuk hari itu. Soalnya kalau nggak dipersiapkan gini, kadang ada aja yang kurang.

"Pakai apa aja, Nda. Kamu kan emang udah cantik dari sananya. Pakai baju kucel aja kamu udah cantik," goda Chan bersama dengan cengirannya itu.

"Ih, kamu mah, nggak membantu deh. Bukannya ngasih solusi, malah ngegombal," dumel gue.

Chan terkekeh, kemudian menyarankan gue memakai baju yang santai tapi masih dalam golongan sopan. Dari tiga pilihan yang gue kasih ke dia, dia akhirnya memilih gue memakai celana kulot hitam tiga perempat dengan atasan blouse santai. Sebenarnya gue agak nggak puas dengan pilihannya, tapi lihat aja nanti gue akhirnya pilih yang mana.

"Kalau untuk bawa apa, kamu bawa diri aja, Sayang. Kehadiran kamu kan yang paling penting," lagi-lagi jawabannya malah ngegombal bukannya ngasih solusi.

"Matiin ajalah teleponnya, percuma aku nanya sama kamu," omel gue.

"Jangan dong, Nda. Aku kan masih kangen, pengen ngobrol sama kamu," protes Chan. Apa coba kangen-kangen, padahal terakhir ketemu juga kemarin malam waktu dia mengantar gue pulang.

"Yaudah, kamu bawa muffin sama brownies bikinan kamu aja. Kamu kan jago baking. Pasti Mami suka deh, dia kan sweet tooth parah," akhirnya berguna juga dia bisa kasih ide. Ide yang langsung gue setujui karena kebetulan gue memang bisa baking dan cukup percaya diri untuk membawa hasilnya.

"Kamu se-nervous itu ya, Nda buat hari Sabtu nanti?" tanya Chan perhatian, "Sebenernya kalau kamu mau batalin nggak apa kok, nanti aku tinggal bilang—"

"Nggak ya, Chan. Aku kalau udah bilang iya ya iya. Masa batal sih, sedangkan Kak Yura aja udah berencana datang kan," tolak gue dengan tegas. Lagian, sepengen-pengennya gue batalin acara itu, gue lebih malu lagi kalau itu terjadi. Gue nggak mau image gue di mata maminya Chan tercoreng sebelum beliau ketemu gue secara langsung.

Milky WayWhere stories live. Discover now