Part 26: Mentally Exhausted

238 37 37
                                    

"Nda, kenalin, ini Joyce."

"Joyce, kenalin, ini Wanda. Kakak kelas aku waktu di Belanda."

"Halo, Mbak. Kenalin, aku Joyce, pacarnya Chandra."

Potongan-potongan adegan pertemuan gue dan Chan di café masih terekam jelas di otak gue. Nggak jarang gue seperti memutar ulang adegan itu kalau gue bengong sedikit aja. Bahkan, saat gue bangun tidur dan mau tidur, bayangan itu tetap menghantui gue.

Sedih dan sakit rasanya orang yang kita sayang ternyata udah punya orang lain. Tapi gue rasa emang gue yang terlalu lama untuk menemukan Chan dan mengungkapkan perasaan gue yang sebenarnya. Lagian nggak adil untuk Chan buat nerima gue lagi setelah gue udah menyakiti dia sedalam waktu itu.

Sejak hari itu, udah nggak terhitung berapa kali gue nangis. Dan itu semua udah nggak kenal tempat dan waktu. Di kantor pun kalau gue tiba-tiba kepikiran, air mata gue seenaknya aja turun. Meskipun gue udah nangis banyak banget setelah pulang dari cafe, ditemani sama Egi di apartemen gue.

Ya, setelah pertemuan itu dan Chan pulang bersama pacar barunya, nggak lama Egi pun datang. Gue aja nggak sadar kapan dia datang. Gue baru sadar waktu Egi bersama beberapa pelayan menghampiri dan mengguncang-guncang tubuh gue yang lagi bengong sambil nangis bombai.

Kalo kata Egi, "Pas gue datang, gue liat lu udah nangis. Jadi gue panggil aja pelayan café, in case lu kesurupan ya kan. Ogah banget gue berurusan dengan mahluk halus. Urusan dunia nyata gue aja udah ribet."

Emang temen sialan dia.

Meskipun begitu, setelahnya Egi menemani gue seharian di apartemen. Bahkan dia berniat mentraktir gue sushi dan starbucks setelah gue curhat tentang insiden gue dan Chan di café. Yang tentu saja gue tolak karenan udah nggak mood makan dan maag gue juga kambuh. Hal itu menyebabkan gue juga mual-mual dan sedikit demam. Jadilah gue satu hari ini cuma makan bubur, obat maag, dan minum air hangat. Itu juga karena dipaksa sama Egi.

Baik banget ya Egi kalo dipikir-pikir. Padahal, dia juga masih harus mengurus bayinya yang pastinya butuh ASI karena masih berusia beberapa bulan. Tapi untungnya, suaminya Egi, Jason, yang adalah teman gue juga, berinisiatif untuk menjaga anaknya supaya Egi bisa nemenin gue seharian.

Egi sama suaminya emang bertolak belakang. Suaminya kayak malaikat banget, dianya udah kayak jelmaan roh jahat. Hehe, canda, Gi.

Egi pulang sekitar jam 11 malam dari apartemen gue. Itu juga karena gue paksa pulang soalnya nggak enak kalau dia harus pisah sama anaknya demi buat ngerawat gue.

Keesokan harinya, gue hanya tidur-tiduran di kamar sambil nangis kayak anak ABG baru puber. Makan juga seadanya aja karena gue beneran nggak merasa lapar sama sekali. Hanya lemas, tapi untuk buka mulut gue ogah. Perasaan waktu sama Mas Dion, gue nggak se-mellow ini dah.

Tapi saat sama Mas Dion, gue memang nggak berekspektasi apa-apa deh. Kasarnya, dia mau sama gue aja, udah untung. Nah, mungkin yang kali ini memang sakit banget karena gue berekspektasi tinggi kalau Chan bakal nunggu gue. Bakal tetap sayang sama gue. Dan kenyataannya berbanding terbalik.

***

Udah sebulan ini gue menjalani aktivitas kayak mayat hidup. Kerjaan gue hanya ngantor, pulang, ngantor, pulang. Minim banget sosialiasi sama orang di sekitar gue. Pun orang tua gue.

Seringkali gue juga volunteer untuk dapat shift lembur. Kalau gue nggak dapat lembur, gue jarang banget pulang ke rumah. Minimal gue harus ke café atau nyetir muter-muter jalanan dulu biar nggak sedih. Kalaupun langsung pulang, gue biasanya bakal bawa kerjaan ke rumah biar gue bisa tidur secara nggak sengaja alias ketiduran. Gue sama sekali nggak menyediakan diri gue sendiri ruang untuk bengong. Bahkan, makan pun gue akan selalu sambil mengerjakan sesuatu.

Karena yang parah adalah, bukan hanya gue kepikiran sama kejadian itu, tapi juga pikiran-pikiran lain yang selalu menghantui gue. Contohnya, 

"Lu jahat sih, Nda."

"Udah bagus ada yang mau sama lu, Nda. Malah lu sia-siain dua-duanya."

"Lu nggak layak buat Chan, Nda. Dia deserve better."

"Jelaslah dia lebih milih Joyce. Orang masih muda, mana cantik dan badannya bagus. Nggak kayak lu yang udah kepala tiga. Muka juga standar, sifat juga nggak baik-baik amat."

Jadi gue pikir, mending gue sibuk sekalian daripada nggak ada kerjaan terus malah mikir yang aneh-aneh. Gue pikir mungkin mneyibukkan diri adalah coping mechanism yang terbaik buat gue. Toh, udah terbukti kalau gue jadi semakin jarang mikir tentang kejadian itu dan pikiran-pikiran jahat itu.

Tapi lagi-lagi dugaan gue salah, gue nggak sekuat itu untuk kerja nggak kenal jam kayak yang udah gue lakuan selama sebulan ini. Gue limbung dan nggak sadarkan diri karena saking lelahnya.

Untung aja, waktu itu Mama katanya memang lagi mau mengunjungi gue di apartemen untuk mengantarkan makanan. Kata Mama, tadinya beliau mau datang malam, tapi beliau khawatir karena gue nggak bisa dihubungi paginya. Jadilah Mama langsung bergegas ke apartemen gue dan menemukan gue udah terkapar di ruang tengah.

Mama yang panik langsung memanggil satpam dan mereka mengantar gue ke rumah sakit dekat apartemen gue. Kata dokter, gue mengalami dehidrasi, malnutrisi akut, dan kelelahan. Dan gue pun harus dirawat inap di rumah sakit.

Hari ini adalah hari ketiga gue di rumah sakit dan gue udah bosan banget karena kerjaan gue kalau nggak tidur, makan, atau minum obat. Gue nggak diperbolehkan Mama untuk pegang gadget sama sekali. Baca buku juga nggak boleh. Seperti saran dokter juga, gue harus istirahat total minimal lima hari ke depan.

Di saat-saat begini, gue bukannya bisa fokus sama penyembuhan fisik gue, tapi malah tambah stress secara psikis karena malah berpikiran yang aneh-aneh dan makin sering menangis. Dokter yang memeriksa gue bahkan bilang kalau kondisi gue nggak ada perkembangan, dan sudah merujuk gue untuk konsultasi ke psikolog. Yang berulang kali gue tolak karena merasa masih bisa mengatasinya sendiri. Gue merasa gue juga psikolog sehingga gue tahu apa saja yang harus gue lakukan kalau lagi mengalami hal seperti ini.

Tapi pada akhirnya, gue juga menyerah dan memutuskan mengikuti saran dokter untuk berkonsultasi ke psikolog. Semua berkat Mbak Silvy yang maksa dengan air mata buayanya.

"Nda, gue rasa lu butuh bantuan profesional, deh," begitu saran Mbak Silvy setelah mendengar saran dari dokter.

Gue menggeleng.

"Gue nggak tega sama lu, Nda. Ayo, Nda, bangkit lagi. Gue mau liat Wanda yang hobi ajak gue berantem, bukan Wanda yang tukang bengong kayak sekarang. Please, Nda, coba dulu ya?" pinta Mbak Silvy, setengah menangis.

***

Gue ditemani Mbak Silvy untuk kembali ke ruang rawat setelah sesi konsultasi gue selesai. Mbak Silvy akhir-akhir ini baik dan perhatian banget. Udah dua hari ini, dia yang giliran temani gue di rumah sakit. Gue sampai merasa kalau kiamat udah dekat kalau begini caranya.

Sesampainya di ruang rawat, pramusaji pun masuk untuk mengantarkan makanan. Makanan yang seringnya nggak gue makan atau hanya makan beberapa suap. Disusul dengan perawat yang memberikan gue obat dan mengganti kantong cairan infus yang sudah habis.

Tiga aktivitas tersebut sudah membuat gue lelah dan akhirnya tertidur.

Tidur yang beberapa saat kemudian terganggu saat gue merasakan sangat gue sudah basah dan sedang digenggam erat oleh seseorang. Belum sempat gue membuka kelopak mata, suara isakan sudah memasuki gendang telinga gue.

Familiar.

"Maafin aku, Nda. Maaf."


Note:

Wanda kena mental HAHHAHA

Btw, aku tu juga pernah ngerasain kayak Wanda gitu. Nggak persis sih alesannya, tapi lebih ke arah aku pernah nyibukin diri saking stress-nya. Intinya, aku nggak pernah biarin otakku berhenti "kerja" biar aku nggak kepikiran yang aneh-aneh. Bahkan kalau libur aja aku sering belajar saking nggak mau mikirin hal aneh, sampe temenku heran liat aku HAHHAHA

Tapi nggak mempan sih di aku kayak gitu. Adanya malah capek sendiri, walaupun nggak sampe masuk RS sih.

Oiya, seperti biasa, jangan lupa tinggalkan jejak yaaa <333

Happy reading!

Milky WayWhere stories live. Discover now