Part 29: In Law

276 36 33
                                    

Gue masih mencerna keadaan di sekitar gue sejak gue bangun. Perasaan kemarin gue nggak tidur sendiri. Seingat gue, gue tidur sama Chan. Tapi kok gue bangun dia udah nggak ada, malah adanya Mama yang saat ini sedang duduk di bangku sebelah ranjang rumah sakit sambil membuat teh melati kesukaannya.

Pandangan gue edarkan ke seluruh penjuru ruangan. Tapi hasilnya nihil. Gue sama sekali nggak menemukan Chan di sana. Mungkin semalam cuma mimpi, saking kangennya gue sama Chan. Tapi kok bisa ya mimpinya terasa nyata banget. Dari sentuhannya, kata-katanya, harum tubuhnya. Gue masih ingat jelas, bahkan gue dan Chan udah pacaran di 'mimpi' gue itu.

"Nda!" ujar Mama sambil menepuk dan menggoyangkan lengan gue, "Nda! Kamu kenapa? Jangan bikin Mama takut!"

Gue menggeleng sebagai balasan, "Kenapa panik sih, Ma? Emang Nda kenapa?"

"Mata kamu jelalatan tapi tatapan kosong kayak orang kesurupan, tau?!"

Aduh, ada-ada aja ibu-ibu satu ini. Orang otak gue cuma lagi loading aja dikira kesurupan. Emang seseram itu ya tampang gue kalo lagi bingung nyariin orang? Pasalnya, Mama bukan orang pertama yang kira gue kesurupan.

"Kamu cari apa sih?"

Gue kembali menggeleng.

"Cari cowo yang tidur bareng kamu semalaman ya?" tebak Mama dengan nada sinis dan menyindir. "Dia di depan lagi diajak ngobrol sama Papa."

Gue sontak membesarkan mata gue saking kagetnya. Bukan hanya kaget karena Mama tau kalau gue tidur sama cowo semalam, tapi juga kaget oleh kenyataan kalau Chan lagi ngobrol sama Papa. Soalnya, arti ngobrol sama Papa bisa berbeda dengan arti ngobrol pada umumnya. Arti ngobrol sama Papa bagi orang lain, terutama cowok, adalah sesi interogasi.

Gue masih ingat suaminya Mbak Silvy, Mas Rinto, diinterogasi abis-abisan setelah mengantar pulang Mbak Silvy setelah kencan pertama mereka. Mas Rinto gentle juga sih sebenarnya, soalnya dia berani mengantar Mbak Silvy sampai di depan rumah dan di saat itu kebetulan Papa udah pulang kantor. Begitu Papa lihat Mas Rinto, Papa dengan wajah seriusnya itu langsung mengajak Mas Rinto untuk pergi ke taman belakang, bilangnya sih ngobrol sambil ngopi-ngopi. Tapi baru selesai dua jam kemudian. Dengan Mas Rinto yang kembali dengan muka pucat dan berkeringat.

Kebiasaan Papa yang kayak gini ini, yang biasanya bikin mantan-mantannya Mbak Silvy pada mundur. Bahkan, ada juga mantan Mbak Silvy yang langsung mutusin dia setelah dia ketemu sama Papa. Semua cowok yang mendekati anaknya diperlakukan sama oleh Papa, kecuali Mas Dion. Mungkin karena waktu gue pacarana sama Mas Dion, Papa nggak lihat secara langsung. Dan begitu ketemu, itu juga waktu di acara lamaran. Jadi Papa sepertinya bisa go easy on him.

Tapi karena itu juga, Papa sampai sekarang masih merasa bersalah karena nggak melakukan proses yang ke Mas Dion. Beliau masih merasa hampir kecolongan memberikan anaknya ke lelaki yang nggak sayang sama dia. Soalnya prinsip Papa dalam merestui anaknya dalam berhubungan adalah dia yang nggak mau lihat anaknya nangis-nangis dan minta balik ke rumah setelah menikah.

Jujur saja, gue mulai mengkhawatirkan kondisi Chan sekarang. Apakah dia bisa baik-baik aja sampai kelar interogasinya? Apakah Papa akan merestui hubungan kami, melihat Chan yang kadang suka nggak serius, ditambah usianya yang jauh lebih muda dari gue pula? Bagaimana kalau Chan mundur setelah diinterogasi sama Papa?

Gue takut Chan memberikan kesan buruk di mata orang tua gue karena mereka udah menciduk Chan tidur sama gue. Dengan posisi mereka bahkan belum kenal Chan itu siapa.

Semua kekhawatiran gue terjawab saat gue melihat Chan membuka pintu kamar rawat gue dengan wajah berkeringat. Hampir mirip seperti ekspresi Mas Rinto dulu. Disusul dengan Papa di belakangnya.

Milky WayDonde viven las historias. Descúbrelo ahora