Part 14: Let's Go With Me

231 35 45
                                    

Vote and comment are really appreciated

.

.

.

"What?!?! 1975 mau konser?!?!" teriak gue saking excited-nya. Selain jadi fans K-Pop, gue juga suka sama band 1975 dan masuk ke salah satu band dalam daftar band yang pengen banget gue tonton. Pas banget tanggalnya juga waktu gue lagi liburan musim dingin.

Coba ah ajak Mas Dion buat temenin nonton, siapa tau mau. Kalo nggak, sebenarnya gue pergi sendiri aja juga nggak masalah sih. Atau nanti bisa ajak anak PPI lain kalau gue nggak mager kontak.

Gue pun mencari kontak Mas Dion di ponsel, menanyakan kalau dia sibuk atau nggak. Biasa, basa basi dulu.

Setelah mendapatkan jawaban bahwa Mas Dion lagi senggang dan bisa ditelepon, langsung saja gue telepon Mas Dion. Ngomong sama Mas Dion tuh lebih enak kalau secara langsung atau telepon. Kalau di chat dia bawaannya kayak orang lagi marah karena bahasanya baku banget.

"Kamu mau nanya apa, Wan, tadi?"

"Ini, Mas. Jadi akhir bulan Desember, 1975 mau konser di Amsterdam. Kalau Mas aku ajak nonton bareng mau nggak?"

"Akhir Desembernya tanggal berapa, Wan?"

"Hm.. tanggal 28 sama 29, Mas. Gimana? Pilih salah satu aja kok, Mas."

"Aku cek jadwal dulu ya, Wan."

Biasanya kalau Mas Dion nggak memberikan jawaban pasti kayak gini, kemungkinan sih bisa ya. Soalnya dia tuh ingat sampai ke tanggal-tanggal berapa aja yang udah ada jadwal dan belum.

Jadi gue sih optimis aja sampai Mas Dion ngabarin dua minggu sebelum konser kalau dia nggak bisa nemenin gue.

"Wan, maaf ya, aku cuma dikasih libur tanggal 24 sama 25 Desember aja. Kalau yang tanggal itu aja ada nggak?"

Yah, Mas, kalau gue manajernya mereka, gue sesuaiin deh jadwalnya sama jadwal lu.

"Nggak ada, Mas. Paling deket itu minggu depan, tapi itu di Paris dan itu pun tiketnya udah habis."

"Maaf ya, Wan."

Jujur kadang gue juga sedih, Mas Dion sibuk banget. Padahal kan pas banget waktunya libur. Kadang gue merasa waktu Mas Dion buat gue sedikit banget. Gue seringkali pengen banget minta Mas Dion buat cuti, tapi juga nggak enak hati karena gue cuma pacarnya. Dan gue selalu merasa seorang pacar belum bisa ngatur-ngatur pacarnya kayak gitu.

Kadang juga, gue pengen Mas Dion yang inisiatif buat minta izin ke profesornya buat libur lebih lama. Gue rasa pasti akan dikasih, kalau dilihat dari seberapa dedikasinya Mas Dion buat kuliah dan pekerjaannya. Istilahnya, nggak mungkin lah, anak teladan nggak dikasih hak buat ngomong sama sekali.

Cuma ya, balik lagi. Mas Dion kayaknya nyaman dengan jadwalnya yang padat itu. Bikin gue jadi sering merasa gue masih kalah kalau diadu sama pekerjaan dan kuliahnya. Awalnya gampang untuk menerima itu, tapi lama kelamaan capek juga ya harus lapang dada terus.

"Iya, nggak apa, Mas."

Seperti wanita pada umumnya, gue cuma bisa bilang nggak apa ke Mas Dion, di saat hati gue sebenarnya cukup kecewa atas kabar dari Mas Dion.

***

Saking suntuknya, gue yang lebih sering menghabiskan waktu malas-malasan di kamar, memutuskan untuk menjernihkan pikiran di taman dekat flat gue. Taman yang sering gue jadikan tempat merenung dan kadang nangis kalau lagi banyak masalah. Dan gue baru ingat, taman itu juga taman di mana si Tengil confess ke gue waktu itu.

Milky WayWhere stories live. Discover now