Part 30: His Promise

250 37 20
                                    

Kalau ada yang mikir gue beneran apa-apain Nda, kalian semua salah. Gue batal khilaf karena desahan Nda yang makin lama makin nyaring masuk ke telinga gue. Bikin gue keingat sama janji gue ke Papanya Nda di rumah sakit waktu itu. Janji buat jagain Wanda.

Janji yang gue buat dengan serius walaupun karena semi-semi kepepet juga sih. Gimana nggak, gue keciduk tidur bareng Wanda. Bahkan gue yakin posisinya gue masih meluk Wanda dengan erat dan intim. Terus gue merasa gue ditoel-toel sama jari-jari kasar dan dengan refleknya gue tepis gitu aja.

Ya mohon maap, gue kan lagi tidur, jadi mana tahu itu siapa yang asik noel-noel. Waktu bangun, betapa kagetnya gue saat mendapati dua orang, yang gue yakin banget adalah orang tua Wanda karena wajahnya yang mirip sama Wanda. Saat itu juga, gue sontak langsung bangun dan turun dari tempat tidur, berdiri dengan sikap siap dan kepala menunduk di hadapan mereka.

Bukan hanya takut, tapi malu juga gue rasakan.

Namun, gue harus tetap jadi gentleman yang terlihat berani menghadapi calon mertua dengan gagah dan berani. Biar keliatan bibit-bibit mantu idamannya ya kan. Padahal sih dalam hati gue udah mau kabur aja rasanya.

Setelahnya, Papanya Nda langsung mengajak gue keluar kamar rawat inap. Dengan Mamanya Nda yang sudah memandang gue sinis. Tapi tetap dengan percaya diri, gue mengikuti Papanya Nda keluar dan mengucapkan permisi pada Mamanya Nda.

Gue terus mengikuti langkah tegap Papanya Nda hingga kami sampai di taman rumah sakit. Suasana yang masih dingin karena waktu masih terbilang cukup pagi membuat ketegangan gue lebih menjadi-jadi.

"Kamu siapa, kok bisa tiba-tiba muncul di kamar anak saya?" tanya Papanya Nda tegas. Sumpah gue takut banget padahal Papanya Nda tingginya jauh banget di bawah gue, tapi gue berasa jadi kurcaci banget dihadapi sama beliau.

"Saya Chan, Om. Saya pacarnya Wanda," jawab gue, masih berusaha terlihat gagah.

"Pacar? Sejak kapan Wanda punya pacar?" Papanya Nda nampak bingung. Ya wajar sih, kan kita baru kemarin jadian.

"Iya, Om. Saya pacarnya," gue menghela napas, agak malu ya mengakui kalau kita baru aja pacaran, "Kami baru jadian kemarin, Om."

Papanya Nda menatap gue sinis, sepertinya sambil memperhatikan penampilan gue dari atas hingga bawah. Gue sadar walaupun gue masih dalam posisi menunduk sekarang. Karena tatapannya jujur adalah tatapan tertajam yang pernah diberikan ke gue. Papi aja kalah galak kayaknya sama Papanya Nda.

"Kenapa sih, dari tadi nunduk terus? Emangnya saya sependek itu ya sampai harus nunduk banget kayak gitu? Saya nggak setara sama lantai ya, asal kamu tahu," Anjir lawak nih Papanya Nda. Gue pengen banget ketawa tapi tentu saja gue tahan karena gue nggak mau kena marah lagi.

"Maaf, Om. Saya cuma takut dikira nggak sopan kalau harus natap mata Om."

"Lebih nggak sopan mana sama tidur sama anak saya semalaman? Apalagi kalian baru aja pacaran kemarin? Kalian sadar nggak sih, ini tuh rumah sakit. Kalau yang lihat kalian dokter atau perawat gimana?"

Aduh iya, maaf Om. Abisan anak Om gemesin banget sih. Pengen banget dipeluk-pelukin terus jadinya.

"Maaf Om, saya salah." Siap salah aja dah.

Keheningan kembali menyelimuti pagi itu, dengan Papanya Nda yang berdiri memunggungi gue. Hingga beliau kembali bersuara dengan paraunya, "Saya lihat kamu sepertinya lebih muda dari Wanda. Kamu serius mau sama anak saya? Kan masih banyak perempuan lain yang masih muda dan cantik-cantik."

Milky WayWhere stories live. Discover now