(8) Gerimis dan Kita

1.6K 229 8
                                    

Selama Andin menjalankan pekerjaannya, pria itu acap kali melempar senyum manisnya dari jauh, dari tempat dia duduk. Namun kadangkala pria itu juga terfokus pada ponselnya dan sesekali terlihat seperti berbincang dengan seseorang di balik benda pipih nan pintar tersebut.

Andin rasa Aldebaran bukan orang sembarangan. Dia pasti orang sibuk. Ditambah dengan kejadian siang tadi yang menunjukkan kepada Andin bahwa pria itu pasti memiliki lawan-lawan yang cukup mengerikan.

Beberapa jam berlalu, semakin menuju petang dan malam para costumer semakin bertambah. Andin dan beberapa rekannya yang sebelumnya cukup kerepotan, akhirnya dibantu oleh rekan mereka yang lain yang memang bertugas di jadwal sore hingga malam hari. Selepas sholat maghrib, Andin segera bersiap-siap untuk pulang. Seragam baristanya sudah ia tanggalkan, ia pun meraih tas selempangnya dan berpamitan pada salah satu rekannya.

"Gas, gue balik duluan nggak apa-apa ya?"

"Nggak apa-apa, Ndin. Kan memang tugas loe sudah selesai." Sahut seorang pria yang tampak seumuran dengan Andin, yang sedang memasang apron miliknya.

"Loe sendiri nggak pulang? Loe kan sudah selesai juga." Tanya Andin, heran.

"Gue mau stay sampai malem disini. Lagi males pulang gue, hehehe." Jawabnya terkekeh.

"Ih, dasar!" Andin pun ikut tertawa.

"Yaudah deh. See you, ya." Kata Andin, lalu berlalu pergi.

"Hati-hati loe! Dibawa kabur sama pangeran entar!" Goda Gusti pada temannya itu membuat Andin yang sudah melangkah jauh itu tak mau peduli.

"Berisik!" Sahut Andin.

Begitu Andin keluar dari ruangan khusus para barista itu, Andin melayangkan pandangannya pada sudut dimana Aldebaran tadi berada. Akan tetapi, sosok yang disana sudah bukan Aldebaran lagi. Gadis itu mengedarkan pandangannya pada meja-meja lainnya, namun ia tak menemukan keberadaan pria itu.

Andin melirik jam tangannya yang sudah hampir menunjukkan jam 7 petang. Apakah ia terlalu lama, hingga membuat Aldebaran bosan menunggu dan akhirnya memilih untuk pergi? Pikir Andin.

Sesaat, ada rasa kecewa yang terlintas di hatinya. Namun tak lama, Andin sadar ia tidak memiliki hak untuk menahan Aldebaran disana. Mereka baru kenal dan tidak begitu dekat juga, jadi tidak ada keharusan bagi Aldebaran untuk menunggunya, apalagi sampai mengantarkannya pulang. Meskipun pria itu sendiri tadi yang menawarkan diri. Andin terkekeh pelan menertawai dirinya, dan kembali melangkah keluar dari kedai kopi tersebut.

Gemerlap lampu-lampu kota mulai menyilaukan. Cahaya-cahaya itu terpantul pada beberapa genangan air di sudut jalan kota yang sore tadi disiram oleh hujan sedang. Klakson dari berbagai jenis kendaraan saling bersahutan, seolah masing-masing dari mereka memiliki kepentingan yang paling penting di atas semua orang.

Andin masih berdiri di depan kedai kopi sambil memainkan ujung sepatunya pada pijakannya yang sedikit tergenang air. Beberapa kali ia mengedarkan pandangannya pada jalanan berharap ada ojek atau taksi yang bisa ia tumpangi untuk pulang.

Hari itu ia tak membawa sepedanya, sebab ia diantar oleh Baskara, adiknya. Sedangkan menjelang pulang tadi, ia sengaja mengabari Baskara untuk tidak menjemputnya karena ia tak enak hati jika menolak ajakan Aldebaran yang ingin mengantarkannya pulang. Meskipun pada akhirnya, pria itu menghilang.

Andin menengadahkan telapak tangannya ke udara, menyambut butiran-butiran kecil air yang turun dari langit yang berangsur semakin pekat. Ia bergidik merasakan butiran gerimis itu yang berpadu dengan angin yang cukup kencang.

Forever AfterOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz