(15) Melamar ?

1.5K 231 19
                                    

Malam, readers!

Untuk beberapa waktu ke depan, mungkin akan jarang UP ya. Kalau pun lanjut mungkin nggak bisa terlalu panjang. Soalnya lagi sibuk buat persiapan sesuatu, wkwk. Doain semoga lancar ya. Kalau semuanya dah beres, Insyaa Allah bakal update kayak biasa. Dah, mo bilang itu doang sih.

Selamat membaca!

__________________________

Hanya berselang beberapa menit, Aldebaran tiba di depan rumah Andin. Ia melihat pagar rumah berwarna putih itu terbuka tanpa ada orang disana. Pria itu pun masuk dan berdiri di depan pintu utama rumah bergaya klasik-minimalis tersebut. Ia menekan tombol bel yang sudah tersedia di dekat pintu.

Sekali berbunyi, tampak tak ada respon. Aldebaran menekan tombol bel tersebut untuk yang kedua kalinya. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka dan menampakkan wanita berkacamata minus dengan pakaian rumahannya.

"Selamat malam, tante." Sapa Aldebaran ketika wanita itu membuka kacamatanya.

"Malam. Kamu kan...?" Wanita itu terlihat berusaha mengingat-ingat sesuatu.

"Aldebaran, tante."

"Ah iya, Aldebaran. Maaf, tante lupa-lupa ingat nama kamu." Ujar wanita itu, terkekeh pelan.

"Tidak apa-apa, tante. Saya kemari mau jemput Andin, boleh tante?"

"Kalian mau kemana memangnya?"

"Saya hanya mengajak Andin jalan keliling komplek saja sih."

"Ma..." Suara Andin terdengar muncul dari belakang Susan, membuat kedua orang itu menoleh.

"Aku sama Mas Al keluar sebentar nggak apa-apa, ya? Nggak jauh-jauh kok, Ma, sekitaran komplek sini saja." Kali ini giliran Andin yang meminta izin pada sang mama.

"Benar, tante." Sahut Aldebaran. Wanita itu terdiam untuk berpikir beberapa saat, hingga kemudian mengangguk pelan.

"Yasudah. Tapi jangan pulang larut malam." Peringatnya membuat Andin tersenyum, sebab kali ini tampaknya sang mama tidak begitu sentimen padanya.

Itu juga cukup mengherankan. Karena selama ini ia tidak pernah diizinkan sang mama keluar malam dengan laki-laki, kecuali dengan Daniel yang memang sahabat karibnya. Bahkan di awal-awal pun Daniel tidak semudah itu mendapatkan izin untuk bisa membawanya pergi. Tetapi Andin rasa dengan Aldebaran kali ini sikap mamanya agak berbeda.

Selepas mereka berpamitan, pintu rumah itu pun kembali ditutup, sementara dua insan itu mulai berjalan keluar pagar. Andin tertegun tatkala melihat sebuah sepeda yang menangkring tepat di depan pagar rumahnya. Ia melirik Aldebaran, namun pria itu malah tersenyum lebar, kemudian ikut melirik sepeda onthel jenis gazella yang terparkir dengan elegan disana.

"Kamu bawa sepeda?" Andin bertanya, terheran-heran.

"Kita keliling naik sepeda, ya?" Ujar Aldebaran, entah itu menjawab pertanyaan Andin atau tidak.

"Aku pikir jalan kaki."

"Nggak. Biar kamu nggak capek." Aldebaran mulai menaiki sepedanya kembali, lalu menoleh pada Andin yang masih berdiri, bertanya-tanya.

"Ayo naik." Ajak pria itu.

Andin tertawa ringan dan menuruti ajakan Aldebaran untuk naik pada jok penumpang sepeda tersebut. Kedua tangannya berpegangan pada kedua pinggang pria itu dengan sungkan. Namun Aldebaran justru sedikit menarik kedua tangannya, meyakinkan gadis itu untuk berpegangan dengan dirinya.

"Pegangan yang kuat." Kata Aldebaran, meyakinkan. Diam-diam Andin tersipu malu di belakang.

Aldebaran pun mulai mengayuh sepedanya. Senyuman simpul itu tak kunjung menghilang menghiasi bibirnya sejak bertemu gadis itu beberapa saat yang lalu. Oh, tidak. Lebih tepatnya, sejak Andin mengatakan 'iya' terhadap ajakannya. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa sebahagia itu. Bahkan Aldebaran lupa terakhir kali ia senyum-senyum sendiri sperti sekarang.

Forever AfterOnde histórias criam vida. Descubra agora