(14) Prasangka

1.3K 228 12
                                    

Tak lama sepeninggal Aldebaran dan Darwin dari Coffeshop tersebut, Andin pun mulai bersiap-siap akan pergi ke kampusnya. Sebab ia masih ada satu mata kuliah untuk sore nanti, sekitar satu jam lagi.

Setelah melepas seragam baristanya, ia berganti dengan setelan kasual seperti biasa untuk ia kuliah. Kali ini dengan atasan blouse lengan ¾ berwarna krim diserta dengan celana kain hitam panjang. Rambutnya sebahunya ia biarkan terurai indah, ditambah dengan sedikit polesan make up yang seadanya.

Penampilannya yang tampak natural itu membuat kecantikannya semakin terpancar nyata. Andin tersenyum simpul di depan kaca ruangan kecilnya, lantas segera mengambil tasnya dan meninggalkan ruangan tersebut.

"Jadi ke kampus, Ndin?" Tanya Daniel saat Andin berpapasan dengannya di dekat bar Coffeshop.

"Jadi. Ini mau berangkat."

"Mau gue antar?" Tawar Daniel.

"Nggak usah. Gue sama Indah kok. Paling sebentar lagi dia datang." Jawab Andin membuat Daniel mengangguk mengerti.

"By the way, tadi gue lihat loe sama Aldebaran lagi dengan seseorang. Kalian ada urusan?" Tanya Daniel yang memang sudah sangat penasaran sejak tadi.

"Oh itu. Tadi gue ketemu sama seorang konsultan interior kenalan Mas Al. Gue kan sudah pernah cerita sama loe, kalau gue ada projek mata kuliah untuk observasi profesi konsultan interior. Jadi kemarin gue sempat nanya-nanya ke Mas Al soal itu, dan ternyata dia punya link. Dan kebetulannya lagi, konsultan itu sahabat lamanya dia sendiri." Andin memberikan penjelasannya.

Mendengar hal itu, entah mengapa perasaan Daniel semakin tidak enak. Bukan apa-apa. Tampaknya Daniel hanya merasa terancam dengan kedekatan Andin dengan pria bernama Aldebaran tersebut.

"Loe sudah dekat banget ya sama Aldebaran?" Tanya Daniel, menyelidik, namun tetap diserta senyum tipisnya. Andin menatap serius Daniel beberapa saat sebelum menjawab.

"Biasa saja, sih." Jawab Andin, ragu.

"Kenapa emangnya?" Andin balik bertanya.

"Ya nggak apa-apa. Gue cuma khawatir saja kalau kalian benar-benar dekat. Secara kan Aldebaran itu pebisnis sukses dan mapan, pasti dia dekat dengan banyak perempuan. Gue nggak mau nanti loe malah dipermainkan sama dia." Ungkap Daniel membuat Andin mengernyit, terheran-heran dengan ucapan sahabatnya itu.

"Loe ngomong apa sih, Niel? Loe itu mikirnya kejauhan tahu nggak." Andin terkekeh.

"Mau dia dekat dengan siapapun, itu bukan urusan gue. Dan lagipula, gue yakin Mas Al itu laki-laki yang baik, nggak mungkin dia punya niat seburuk itu ke perempuan." Lanjut Andin, tampak tak terima.

"Tapi kan loe kenal dia belum lama, Ndin. Waspada nggak ada salahnya kan?" Andin menghela nafasnya dengan berat saat kembali mendengar sahutan pria itu.

"Daniel, please stop." Tutur Andin dengan nada yang mulai terdengar kesal.

"Pertama, loe harus bisa bedakan antara waspada dengan menuduh. Apa yang barusan loe bilang soal Mas Al, itu tidak beralasan sama sekali. Kedua, loe nggak usah khawatir, gue akan menjaga diri gue sendiri dari hal-hal yang loe khawatirkan itu. Dan yang ketiga, apa yang loe ucapkan tadi tidak menggambarkan seorang Daniel yang gue kenal. Loe lagi kenapa, sih?" Andin menuturkan apa yang ingin ia ungkapkan satu-persatu. Penuturan panjang itu membuat Daniel tersadar akan sikapnya yang berlebihan. Pria itu menatap Andin dengan rasa bersalah.

"Sorry. Gue minta maaf dengan ucapan gue yang berlebihan. Gue hanya terlalu khawatir..." Belum lagi Daniel menyelesaikan ucapannya, Andin langsung memotongnya.

Forever AfterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang